Tak bisa dipungkiri, Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan tak mampu membendung jumlah perokok anak yang terus meningkat. Merujuk Riset Dasar Kesehatan Dasar (Riskesda), prevalensi perokok anak naik menjadi 9,1 persen pada 2018 ketimbang tahun 2013 di angka 7,1 persen.
Desakan kelompok masyarakat sipil untuk merevisi regulasi ini sudah mengalir deras ke Kementerian Kesehatan. Banyak rapat telah dilakukan, hasilnya mengerucut pada pentingnya revisi regulasi yang sudah ketinggalan dan tak sesuai konteks dan perubahan saat ini. Aturan yang bertujuan untuk melindungi kesehatan itu ternyata tak lagi ampuh, khususnya melindungi anak-anak dari rokok.
Kesadaran atas lemahnya regulasi ini sejatinya sudah diketahui banyak pihak terutama dari instansi kesehatan. Namun sayang, proses finalisasi revisi regulasi tak kunjung ditetapkan Kementerian Kesehatan. Disisi lain, desakan merevisi aturan untuk melindungi kesehatan publik ini berhadapan dengan narasi dampak ekonomi dari proses revisi.
Ada narasi yang berkembang, proses revisi PP 109/2012 akan memiskinkan petani tembakau. Padahal revisi PP 109 tidak mengatur sektor hulu atau pertanian tembakau yang harganya kerap ditentukan oleh industri tembakaunya. Maka itulah, penting bagi jurnalis memahami konteks dan urgensi revisi PP 109 Tahun 2012.
Jurnalis juga perlu memahami, kenapa petani tembakau banyak yang miskin sementara industri rokok dan tembakau kaya raya. Fakta kemiskinan dan kesulitan ekonomi akibat kesenjangan aset dan profit yang dialami petani tembakau mesti diungkap. Apalagi perdagangan tembakau terkesan tidak adil. Pengusaha bebas impor tembakau dengan nilai besar, di sisi lain harga tembakau lokal tak berpihak ke petani.
Fakta petani inilah yang kerap disembunyikan ke publik. Kerap kali, kesulitan ekonomi pada petani dialamatkan ke regulasi kesehatan, bukan ke pelaku industri yang sudah kaya raya. Adanya kebijakan melindungi kesehatan publik seringkali ditafsirkan sebagai kebijakan untuk mengekang petani tembakau.
Penafsiran kondisi kesehatan publik dan kondisi petani perlu dijernihkan kembali. Upaya membangun kesehatan publik sejatinya tak harus berbenturan dengan kondisi petani. Kebijakan
penyederhanaan kemasan rokok agar tak menarik bagi anak-anak bukan berarti mengebiri panen tembakau petani.
Setali tiga uang, penguatan regulasi PP 109/2012 justru bisa melindungi petani tembakau karena belum mengatur soal rokok elektrik. Telah umum diketahui banyak orang, untuk mencari pelanggan, pemasaran rokok elektrik yang memakai nikotin impor kerap berkedok sebagai solusi berhenti merokok. Inilah sejatinya musuh petani tembakau, namun cerita ini juga luput diangkat ke publik.
Peredaran rokok elektrik yang meluas tentu mendisrupsi tembakau konvensional. Selain petani, kesehatan publik juga terancam karena terpapar racun rokok elektrik. Mengingat kondisi inilah, perlu untuk berdiskusi soal urgensi revisi PP 109/2012 agar sesuai dengan kebutuhan kesehatan publik.
Atas dasar itulah, jurnalis perlu mengetahui regulasi yang ideal untuk kesehatan publik dan juga untuk melindungi petani. Untuk itu, dalam rangka Hari Peringatan Tanpa tembakau Sedunia, AJI Jakarta menggelar pelatihan jurnalis dengan tema “Dinamika Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif: Prioritas Kesehatan vs Dalih Ekonomi” yang akan dilaksanakan pada;
Hari/Tanggal : Selasa, 15 Juni 2021
Waktu : 13.00 – 18.00 WIB
Tempat : Zoom Meeting
Registrasi : bit.ky/TCJun2021AJIJak
Pembicara
1. Istanto, Perwakilan Petani Tembakau asal Magelang
2. Netty Prasetiyani, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
3. Faisal H. Basri, S.E., M.A, Pengamat Ekonomi Senior
4. Analis Kebijakan Ahli Madya, Koordinator Pengendalian Penyakit Kemenko PMK, Rama Prima Syahti Fauzi
Moderator
Gloria Fransisca Katharina, AJI Jakarta
Silakan isi form registrasi di https://bit.ly/TCJun2021AJIJak untuk mendapatkan link zoom meeting.
Raih kesempatan berupa beasiswa peliputan Rp36 juta untuk 6 peserta workshop terpilih.
Informasi lebih lanjut bisa melalui narahubung AJI Jakarta – 0819 3500 7007.
Discussion about this post