Jakarta, Prohealth.id – Peneliti Center for Indonesia’s Strategies Development Initiatives Lara Rizkia mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat perokok tertinggi di dunia dengan lebih dari sepertiga penduduknya yang berusia di atas 15 tahun merupakan perokok.
“Tingkat perokok pria dewasa pada tahun 2016 sebesar 76,1 persen telah diakui sebagai yang tertinggi di dunia,” katanya.
Epidemi merokok akan terus berlanjut ke generasi berikutnya, terlihat dari tingkat merokok kaum muda (berusia 10 – 18 tahun) meningkat dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada tahun 2018.
Bersamaan dengan itu, Indonesia juga menghadapi dampak pandemi Covid-19 terhadap kesehatan dan perekonomian. Sejak deklarasi pertama kasus Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020, tercatat hingga 30 Agustus 2021 telah terjadi 132.491 kematian dan 4.079.267 kasus terkonfirmasi yang disebabkan oleh SARS-CoV-2.
“Itu yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kejangkitan terbesar di Asia Tenggara,” ungkapnya.
Pandemi juga menyebabkan krisis ekonomi, terlihat dari jumlah penduduk miskin yang meningkat menjadi 27,55 juta jiwa, 2,6 juta pekerja kehilangan pekerjaan, dan rata-rata upah bulanan baik untuk pekerja tetap maupun pekerja lepas menurun hingga 7 persen, lebih rendah daripada nilai yang didapat pada Agustus 2019.
Menggunakan data yang representatif terhadap pengguna ponsel secara nasional di Indonesia, Lara bercerita tentang penelitian mereka untuk melihat bagaimana pandemi Covid-19 dan dampak ekonomi mempengaruhi konsumsi rokok di Indonesia.
“Kajian ini bermaksud meneliti arah perubahan status dan perilaku merokok setelah 10 bulan pandemi Covid-19 dan gambaran karakteristik demografis, guncangan pekerjaan dan tekanan finansial selama pandemi, dan indikator terkait Covid-19,” paparnya.
METODE RISET
Lara menjelaskan, survei primer melalui telepon telah dilakukan untuk mengumpulkan data terkait kondisi pra-pandemi (Februari 2020) dan pasca-pandemi melalui wawancara pada Desember 2020 – Januari 2021.
Populasi sasaran survei adalah pengguna ponsel usia produktif di Indonesia, yang mewakili sekitar 76 persen dari total populasi pada tahun 2019. Untuk mendapatkan sampel yang representatif secara nasional, penelitian menggunakan metode stratified random sampling dengan mengikuti metode pengumpulan data berbasis ponsel.
“Kriteria untuk memasukkan responden (inklusi) adalah berusia 15-65 tahun, bekerja pada masa pra-pandemi dan/atau pasca-pandemi, dan mampu berbahasa Indonesia dengan lancar,” katanya.
Kemudian, ukuran sampel distratifikasi dengan menggunakan dua strata, yakni proporsi pelanggan dari lima penyedia layanan seluler terbesar dan proporsi awalan (prefix) berdasarkan merek dari setiap penyedia layanan seluler.
Bermodalkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2019, Lara menerapkan post-stratification weight untuk mencerminkan struktur penduduk berdasarkan jenis kelamin dan usia. “Weight atau penimbang adalah proporsi jenis kelamin-usia di Indonesia dibagi dengan proporsi jenis kelamin-usia dalam sampel,” katanya.
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif untuk menggali perubahan status merokok setelah 10 bulan pandemi Covid-19, perubahan perilaku merokok perokok aktif persisten, dan faktor ekonomi, indikator yang berkaitan dengan pandemi, dan karakteristik demografis dari perubahan status dan perilaku merokok.
Juga ada enam perubahan status merokok dalam penelitian ini, yakni tidak pernah merokok, perokok kambuh, perokok baru, baru berhenti merokok, mantan perokok persisten, dan perokok aktif persisten.
PERUBAHAN STATUS MEROKOK SELAMA PANDEMI
Selama periode sepuluh bulan, sebanyak 29 persen responden menyatakan diri sebagai perokok aktif persisten, sementara 65 persen di antaranya menyatakan tidak pernah merokok.
Jumlah responden yang mengubah perilaku merokok selama pandemi sangat rendah, yakni 0,3 persen perokok baru, 0,4 persen perokok kambuh, dan 1,4 persen responden baru berhenti merokok.
“Secara keseluruhan, angka itu menunjukkan bahwa sebagian besar perokok cenderung tetap merokok selama krisis dan masa pandemi, sedangkan hanya sedikit yang mengubah status merokok mereka,” kata Lara.
Ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia dan negara lain yang menunjukkan sedikit perubahan konsumsi tembakau selama pandemi Covid-19 dibandingkan dengan situasi sebelum pandemi.
“Alasan tidak berubahnya status merokok selama pandemi karena aksesibilitas terhadap penjualan rokok dan ketersediaan rokok dengan harga lebih murah di Indonesia, sehingga konsumsi rokok tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi selama pandemi Covid-19,” terangnya.
PERUBAHAN PERILAKU MEROKOK PADA KELOMPOK AKTIF PERSISTEN
Di satu sisi, status merokok relatif tidak berubah selama pandemi Covid-19, namun penelitian ini menemukan bahwa perokok aktif persisten menyesuaikan perilaku merokok mereka dalam hal intensitas merokok (jumlah batang rokok yang dikonsumsi), pengeluaran rokok, dan harga dari rokok yang paling banyak dikonsumsi.
Ternyata lebih dari sepertiga alias 37 persen perokok aktif persisten melaporkan penurunan intensitas merokok dibandingkan dengan periode pra-pandemi, sementara lebih dari setengahnya atau 60 persen mempertahankan intensitas merokok.
“Hal ini menunjukkan bahwa perokok mungkin mengonsumsi merek rokok yang lebih murah untuk mengimbangi peningkatan dalam konsumsi mereka,” katanya.
Dari segi perubahan pengeluaran untuk rokok, sekitar 42 persen perokok aktif persisten melaporkan penurunan dalam pengeluaran untuk rokok, sedangkan lebih dari setengahnya atau 55 persen mempertahankan pengeluaran untuk rokok.
“Rata-rata, perokok aktif persisten yang mengurangi pengeluaran untuk rokok mengonsumsi dan menghabiskan lebih sedikit uang untuk rokok dibandingkan dengan mereka yang mempertahankan atau meningkatkan pengeluaran untuk rokok,” ungkapnya.
Kajian ini juga menemukan bahwa meskipun hampir tiga perempat perokok aktif persisten tidak beralih ke rokok dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi, ternyata yang memilih produk rokok dengan harga yang lebih rendah sebesar 24 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan rokok dengan harga yang lebih rendah dapat mendorong substitusi ke bawah karena perokok beralih ke merek rokok yang lebih murah untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan intensitas merokok.
“Hal ini terutama terjadi di Indonesia di mana beberapa tingkatan cukai tembakau telah berkontribusi terhadap harga rokok yang relatif terjangkau,” terang Lara.
Sementara itu, perokok aktif yang mengalami pengurangan waktu kerja cenderung mengurangi jumlah batang rokok yang dikonsumsi dan pengeluaran untuk membeli rokok. Guncangan pekerjaan memberikan konsekuensi finansial terhadap perokok sehingga diasumsikan memotivasi pengurangan konsumsi.
“ini cukup bagus untuk public health. Pandemi ada sedikit efek positifnya untuk mendorong perubahan perilaku,” katanya.
Perokok aktif persisten yang mengalami tekanan finansial juga memiliki persentase penurunan intensitas merokok yang lebih tinggi yaitu 43 persen vs 32 persen, dan penurunan pengeluaran untuk rokok sebesar 48 persen vs 38 persen dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami tekanan finansial.
Perokok yang tinggal di area dengan pembatasan sosial di masa 10 bulan pandemi cenderung mengurangi pengeluaran untuk merokok, dan membeli rokok dengan harga yang lebih murah, dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami aturan pembatasan sosial.
Secara keseluruhan, sifat kecanduan membuat sebagian besar perokok yang terkena dampak finansial mempertahankan konsumsi rokok mereka, karena lebih dari setengahnya memiliki intensitas merokok dan pengeluaran rokok yang tidak berubah.
“Temuan tersebut juga menunjukkan bahwa dampak ekonomi yang merugikan selama pandemi ternyata mendorong perokok untuk mengonsumsi rokok,” katanya.
Selain itu, perokok yang meningkatkan atau mempertahankan intensitas merokok selama pandemi didominasi oleh mereka yang memiliki tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi yakni lebih dari Rp3 juta per bulan, dibandingkan dengan mereka yang berasal dari tingkat pendapatan yang lebih rendah yaitu Rp0-3 juta.
Sekitar 66 persen dari perokok yang melaporkan peningkatan konsumsi rokok selama pandemi berasal dari kelompok berpenghasilan tinggi, sedangkan kelompok yang sama hanya menyumbang 51 persen dan 37 persen dari perokok yang tidak berubah dan intensitas merokoknya menurun.
“Temuan ini menunjukkan bahwa perokok dari kelompok yang berpenghasilan rendah cenderung menyesuaikan intensitas merokok mereka selama pandemi,” katanya.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Secara keseluruhan, penelitian untuk melihat bagaimana status dan perilaku merokok selama sepuluh bulan periode pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa status merokok hampir tidak berubah selama pandemi, karena sebagian besar perokok tetap merokok.
Dalam hal intensitas merokok, lebih dari separuh perokok aktif persisten tidak mengubah intensitas merokok dan pengeluaran untuk rokok, termasuk mereka yang mengalami guncangan pekerjaan dan pendapatan.
Terlepas dari itu, hampir empat dari sepuluh perokok mengurangi konsumsi rokok, terutama mereka yang telah mengalami jam kerja yang berkurang dan mengalami tekanan finansial.
Pendapatan perokok juga dikaitkan dengan persentase pengurangan konsumsi rokok. “Perokok secara aktif mengganti pembelian rokok mereka dengan rokok yang lebih murah dan jenis rokok yang berbeda selama pandemi,” ujar Lara.
Temuan-temuan ini memberi bukti untuk mendukung kebijakan pengendalian tembakau dengan beberapa cara.
Pertama, salah satu faktor yang menyebabkan konsumsi rokok cenderung tetap di tengah pandemi adalah tersedianya alternatif rokok yang lebih murah, dan oleh karena itu pemerintah perlu mengurangi variasi harga rokok melalui penyederhanaan tarif cukai.
Kedua, fakta bahwa perokok bersedia menurunkan konsumsi rokoknya karena kesulitan ekonomi, terutama mereka yang berasal dari kelompok berpenghasilan rendah, menjadi bukti untuk mendukung pemerintah menaikkan cukai rokok secara signifikan. “Ini dapat membawa efek serupa ‘guncangan ekonomi’ melalui kenaikan harga rokok,” katanya.
Berdasarkan temuan ini, Lara mendesak pemerintah segera menurunkan variasi harga melalui penyederhanaan golongan cukai dan secara signifikan meningkatkan tarif cukai serta harga rokok di Indonesia untuk mengurangi keterjangkauan rokok.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post