Jakarta, Prohealth — Ketua Forum Petani Multikultur Indonesia Istanto tidak menampik jika warga desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang mulai beralih dari tanaman tembakau ke ubi jalar, karena harga yang lebih kompetitif dan tata niaga yang efisien.
“Masyarakat beralih ke ubi jalar, karena alasan lebih menguntungkan, jika dibandingkan dengan tanaman yang lain,” ungkap Istanto saat menjadi pembicara pada lokakarya daring, Selasa, (15/6/2021).
Dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0,1 hektare atau 1/10 hektare menurut Istanto, warga menghasilkan ubi jalar sebanyak 2-3 ton. Dari jumlah itu, petani mampu menjualnya dengan harga beravariasi, antara Rp2.300 – Rp2.500 per kilogram kepada pedagang pengumpul.
“Seperti harga tadi malam itu Rp2.300 per kilogram, naik di truk, dibeli dari petani oleh pengepul dusun. Jadi bersihnya untuk petani Rp2.000 dikali 2 ton, maka mendapatkan uang Rp4.5juta,” terang Istanto.
Ketika ubi jalar telah berpindah ke atas truk, petani langsung mendapatkan bayaran. Jika dihitung-hitung, pendapatan yang diterima petani sebanyak 2,5 kali lipat dari biaya yang telah dikeluarkan.
“Karena biaya olah tanah untuk luas 1/10 ha seharga Rp1.5 juta dengan produksi normal sebanyak 2-3 ton, akan mendapatkan uang Rp4.5 juta,”ungkap Istanto
“Nah, kalau hasil 3 ton mendapatkan Rp4.5juta, berarti untungnya kan 2,5 kali dari modal awal,” lanjut Istanto.
Keuntungan segitu merupakan perkiraan normal di desa Candisari. Namun jika menggunakan pendekatan organik, pendapatan bisa jauh lebih banyak, meskipun dilakukan pada ukuran lahan yang sama.
“Jika perlakuannya seperti milik saya yang diolah dengan sistem organik, untuk 1/10 hektare bisa dapat hasil 6 ton. Caranya, tanah dinaikkan dulu pH-nya kemudian kita tanami. Hasilnya beda dengan standar umum yang hanya 2-3 ton,” ungkap Istanto yang juga masih bertani tembakau.
Saat ini, warga tertarik menanam ubi jalar karena lebih mudah dan perawatannya tidak rumit. Begitu tanah disiapkan, dalam waktu 10-12 hari kemudian diberi pupuk. Setelah itu didiamkan saja setelah bibit ditanam.
“Pada hari ke 45 tanahnya kembali diolah dengan cara dibolak balik. Dan setelah umur 4 bulan, ubi bisa langsung panen,” papar Istanto
Dari sisi tata niaga, penjualan ubi jalar tidak serumit tembakau. Jalurnya cukup pendek dan berdampak langsung terhadap petani. “Begitu panen, dibeli pengepul langsung dibayar. Jadi tidak begitu banyak perjalanan tata niaganya,” katanya.
Sementara untuk tembakau yang merupakan tanaman nenek moyang dan diusahakan secara turun temurun, ternyata membutuhkan perlakuan khusus dan kehati-hatian.
“Pertama tanam tembakau, 10 hari kemudian harus dipupuk. Lalu diketrik atau didangir yang juga membutuhkan tenaga dan waktu yang cermat. Baru nanti panen berkali-kali,” ujar Istanto.
Meskipun bisa dipanen berkali-kali, hasil penjualan tembakau tidak segera bisa diuangkan. Ada serangkaian proses yang harus dilalui sejak tembakau berada di tangan pedagang pengumpul yang berlanjut ke tukang rajang, dimana tembakau dirajang terlebih dahulu sebelum dikemas, untuk selanjutnya dibawa ke gudang.
“Dari gudang kemudian dibawa ke pengepul besar, baru ke pabrik. Setelah itu, petani baru akan mendapatkan uangnya,” papar Istanto.
Hal demikian jamak terjadi di desa Istanto. Namun ada juga peristiwa, dimana tembakau langsung dibeli pengepul secara cash dari petani.
“Umumnya terjadi jika pengepulnya bermodal besar,” katanya.
TEMBAKAU MULAI DITINGGALKAN
Pada tahun 2008 sampai 2010, masyarakat Kecamatan Windusari masih menanam tembakau yang dianggap sebagai peninggalan nenek moyang. Bagi Istanto, menanam tembakau tak ubahnya bentuk penghormatan kepada leluhur. Jika tidak menguntungkan, sangat mungkin warga akan beralih ke komoditas lain.
Sepanjang ingatan Istanto, pernah ada peristiwa, dimana harga tembakau cukup baik, ditandai dengan banyaknya warga yang mendaftar calon haji.
“Kejadiannya di tahun 2010 dan 2011, harga tembakau sangat bagus, sehingga kesejahteraan petani sangat lumayan,” katanya.
Sayangnya, kejadian itu tidak berlangsung lama. Pada tahun 2012 – 2013, pertumbuhan tembakau terganggu oleh anomali cuaca, sehingga musim yang seharusnya kemarau, yang terjadi malah sebaliknya.
“Akhirnya para petani kacau balau. Akibat kekacauan itu, di bulan Oktober 2013, kami mencoba menanam ubi jalar,” ujar Istanto
PENGEMBANGAN UBI JALAR
Menurut Istanto, wilayah Kecamatan Windusari dengan ketinggian 300-700 mdpl cocok dikembangkan tanaman ubi jalar. Meskipun biaya produksinya relatif sama dengan tembakau, namun hasil yang didapat bisa 3 kali lebih banyak ketimbang tembakau.
“Karena tataniaga tembakau tidak menguntungkan, sehingga jika dihitung-hitung, petani lebih memilih menanam ubi jalar sampai sekarang,” katanya.
Secara umum, ubi jalar yang ditanam berasal dari bibit ubi Cilembu yang dibagikan oleh dinas pertanian setempat. Namun kini, melalui budidaya, mereka telah mampu mengembangkan varian terbaru yang menjadi ikon daerah tersebut.
“Namanya ubi jalar Madusari. Itu ubi jalar madu dari Kecamatan Windusari,” ujar Istanto bangga.
Selain itu, masyarakat juga mampu mengembangkan varietas baru lainnya. “Sekarang kita punya ubi jalar Manohara, kemudian Ambarawa, dan Ace. Ini banyak varietasnya, namun yang paling berkembang adalah ubi jalar Madusari, terang Istanto.
Seiring waktu, masyarakat Windusari menjadikan budidaya ubi jalar sebagai kegiatan utama. Penataan juga dilakukan, mulai dari perbaikan skema penjualan hingga pembuatan unit pengembangan hasil.
Khusus penjualan ubi jalar, kebanyakan dilakukan dengan sistem borongan, dimana pembeli langsung bertemu petani di sawah. Istanto menilai, sistem itu terkadang membuat petani rugi dan kadang sebaliknya.
Untuk meningkatkan posisi tawar, petani kemudian berembug dan bermufakat. Diputuskan untuk melibatkan pedagang pengepul lokal dengan harga yang sudah ditentukan. “Misalnya Rp2.500 per kilogram, pedagangnya harus mengambil sendiri,” kata Istanto.
“Alhamdullilah tidak pernah ada yang merasa dirugikan,” ujar Istanto kemudian.
Metode terbaru ini sangat diperlukan, bila sewaktu-waktu produksi melimpah yang perpotensi merugikan petani. Sementara kehadiran pedagang pengepul lokal menjadi penghubung dengan pembeli dari luar, dimana transaksi tidak langsung dengan petani.
Menurut Istanto, cara tersebut membuat mereka mampu menjaga kemerosotan harga, sehingga harga tetap stabil sepanjang tahun. Perbedaan yang mencolok jika dibandingkan pada masa-masa sebelum ini, dimana warga berlomba-lomba untuk panen raya.
“Dulu warga bangga dengan sistem panen raya. Sekarang di wilayah kami, kita ubah. Panen raya ada, tapi panennya juga setiap hari, supaya harga tetap stabil, sehingga usaha taninya tetap untung,” katanya.
PEMBAGIAN TIGA ZONA
Untuk meningkatkan pendapatan, petani di wilayah Windusari melakukan diversifikasi komoditas. Selain itu, mereka membagi wilayah menjadi 3 zona, yakni wilayah dengan ketinggian 300-700 meter diatas permukaan laut, ketinggain 700 – 1000 m dan terakhir 1000 hingga 1500 meter diatas permukaan laut.
Sementara di wilayah 800-1000 mdpl, fokusnya pada kegiatan sayur-sayuran yang bisa menghasilkan sepanjang tahun. “Kondisinya berbeda dengan tembakau yang bertahan hanya satu musim tanam dalah setahun. Setelah itu tanah menjadi bero,” katanya.
Bero adalah kondisi tanah yang tidak ditanami untuk periode waktu tertentu, dimana sebelumnya telah ditanami, dan akan ditanam kembali pada waktu yang akan datang.
“Karena itu, masyarakat memilih mengembangkan sayur-sayuran, seperti: cabe, kubis, tomat, brokoli, sawi dan tanaman yang lain,” terang Istanto.
Khusus untuk wilayah diatas 1000 mdpl, Istano menyebutnya cocok bagi pengembangan tanaman kopi berjenis Arabica. Terbukti, pertumbuhan kopi di wilayah tersebut sangat baik dan sejauh ini telah panen sebanyak 3 kali.
“Kopi disini beda dengan di tempat lain. Jika secara teori, kopi akan berbunga setelah 24 bulan, tetapi di tempat kami pertumbuhan generatif terjadi di umur 14 bulan,” katanya.
Selain kopi, tanaman hortikultura seperti cabe, kacang-kacangan snerek, brokoli dan sawi juga cocok diketinggian tersebut. Panennya juga bergantian dalam rentang waktu singkat sepanjang tahun.
“Sekarang boleh dikata, setiap minggu pasti panen. Pertama bisa panen sawi yang hanya berumur 25 hari, setelahnya snerek yang umur 45 hari sudah bisa dipetik,” tutur Istanto.
Kemudian berganti dengan panen kubis, lalu sawi caisim, berlanjut ke sayur kol dan brokoli. “Terakhir biasanya kita panen tomat,” terang Istanto.
Ketika sayur-sayuran mulai panen, petani akan beralih menanam kopi sebagai tanam sela bagi tembakau. Kini, Istanot menyebut, waktu panen kopi arabica tengah berlangsung.
Dengan hadirnya kopi, kelembaban tanah di wilayah tersebut meningkat. Pasalnya, akar kopi yang berbentuk serabut mampu menjaga kelembaban tanah, sekaligus menahan erosi akibat tetesan air hujan.
“Istilah dari bapak-bapak lingkungan hidup adalah digunakan untuk konservasi lahan dan air,” kata Istanto.
Sewaktu panen kopi pertama kali, ada cerita unik yang tidak bisa dilupakan Istanto. Saat itu, mereka bingung, mau dibawa kemana hasil kopi tersebut.
“Diapakan? Sementara di daerah kami belum ada orang yang mau membeli kopi,” kata Istanto.
Akhirnya kopi tersebut dikumpulkan lalu dibawa ke Jember, sesuai usulan dinas pertanian setempat. Jember memang dikenal sebagai pusat penelitian kopi asal Indonesia.
“Dan syukurnya kopi yang bibitnya dari pemda itu termasuk kopi berkualitas dan rasanya enak, bahkan mempunyai ciri khas yaitu kopi arabica bercitarasa gula aren, padahal disitu tidak ada gula arennya,” terang Istanto.
Kini produksi kopi asal Windusari ramai diburu pembeli yang kebanyakan berasal dari Purworejo dan Wonosobo. Belakangan, produksi kopi mereka juga mulai mencuri perhatian sejumlah pengusaha besar.
“Kopi kita juga mendapat pengakuan para pengekspor yang sudah mulai melirik, namun petani kita sudah diajak untuk mengolah sendiri,” kata Istanto.
Sehingga tak heran, sejumlah varian kopi mulai bermunculan di Windusari. Ada yang bercita rasa madu, hingga wine. “Ini bisa menambah daya tarik pembeli,” katanya.
Istanto sengaja memilih untuk mengolah kopi secara mandiri sebelum dijual demi alasan kemandirian. Ia ingin para petani mampu mengolah dan menjual kopinya dengan harga yang ditentukan sendiri.
“Istilahnya petani berdaulat. Jadi bisa menentukan nasibnya sendiri. Bisa menjadi direktur atau menjadi bos di rumahnya sendiri,” kata Istanto sumringah.
DUKUNGAN PEMERINTAH SETEMPAT
Bagi Istanto, dukungan pemerintah setempat sangat nyata dan tidak bisa dilupakan begitu saja. Pemerintah Kabupaten Magelang melalui dinas pertanian sangat aktif membantu dalam penyediaan bibit, pupuk dan penyuluhan terhadap petani.
“Pemerintah daerah sangat mendukung dengan bukti bahwa apa yang kita minta bibit ubi jalar yang baik, mereka selalu berikan,” kata Istanto.
Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah dengan ketinggian 800-100 mdpl. Dinas pertanian membantu penyediaan bibit bawang merah, bawang putih, dan cabe.
Sementara untuk wilayah 1000-1500 meter, Istanto menyebutnya sebagai cerita unik. Pasalnya, ketika bupati menghadiri pengajian di wilayah mereka di tahun 2016, Istanto berseloroh meminta bantuan bibit kopi. “Alhamdullilah, melalui dinas pertanian dan dinas lingkungan hidup langsung diberikan,” katanya.
Tak berhenti sampai disitu, pemerintah juga menyediakan sejumlah alat pengolahan kopi, mulai dari pulper, cooler, hingga roasting.
Terakhir, pemerintah juga memberikan 1 Unit Pengolahan Hasil (UPH) untuk pengembangan produk pertanian, tidak hanya terbatas kopi.
“Itu kemarin, Senin (14 Juni 2021) merupakan peletakan batu pertama untuk UPH telah dimulai. UPH akan digunakan untuk hasil pertanian apa saja,” terang Istanto.
Dengan semua dukungan itu, Istanto mengatakan pendapatan masyarakat di wilayahnya semakin membaik. “Jika pendapatan sudah baik dan tercukupi, maka masyarakat menjadi tenang dan dalam menjalankan ibadahnya juga menjadi tenang,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post