Jakarta, Prohealth.id – Petani mengeluhkan sulitnya mengakses Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang sebenarnya punya fungsi memajukan kesejahteraan petani.
Hal ini terbukti Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) akan pemerintah gunakan untuk meningkatkan dukungan pada tenaga kerja sektor tembakau salah satunya petani/buruh tani tembakau pada Senin (13/12/2021).
Hal ini terbukti dengan keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2022 rata-rata sebesar 12 persen, dan memulai menyederhanakan golongan tarif cukai dari 10 menjadi 8 golongan yang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia.
Sri Mulyani meyakini kenaikan tarif cukai berdampak pada kenaikan harga rokok sehingga anak-anak, remaja, dan kaum ekonomi menengah ke bawah akan lebih sulit menjangkau rokok. Selain itu, kenaikan cukai juga berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan para petani dan pekerja industri tembakau melalui alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
Perwakilan petani swadaya Nusa Tenggara Barat Jopi Hendrayani mengaku, jika dana DBH CHT ini diberikan ke petani tembakau dengan porsi yang lebih besar, dia yakin kehidupan petani akan sejahtera.
“Namun kami tidak pernah melihat dana DBH CHT ini. Jadi yang kami butuhkan pemerintah lebih jelas untuk alokasi DBH CHT ini benar-benar tepat sasaran,” tuturnya.
Adapun DBH CHT adalah dana yang diberikan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat yang berasal dari hasil pembayaran cukai tembakau. Oleh sebab itu, semakin tinggi cukai tembakau maka akan semakin banyak pula dana bagi hasil cukai yang diberikan ke daerah-daerah sentra penghasil tembakau dan petani tembakau. Dengan demikian, DBH CHT dialokasikan berfungsi untuk memitigasi dampak pada tenaga kerja sektor tembakau.
Meski begitu di pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, memiliki kewenangan yang cukup besar untuk mengatur penggunaan DBH CHT agar sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan unik petani di daerah masing-masing.
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Suci Puspita Ratih menjelaskan, DBH CHT selama ini memang dirumuskan sebagai bantuan bagi petani diantaranya berbentuk bantuan langsung tunai, pelatihan keterampilan kerja, dan bantuan modal usaha. Selain itu, DBH CHT juga dapat digunakan petani tembakau untuk peningkatan kualitas bahan baku, iuran jaminan produksi, subsidi harga, bantuan bibit/benih/pupuk/sarana dan prasarana produksi.
Pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 206/PMK.07/2020 membuka peluang penggunaan DBH CHT untuk bidang kesejahteraan masyarakat sebesar 50 persen terutama bagi petani tembakau.
Pemanfaatan DBH CHT ini mengakomodasi gagasan exit strategy bagi para petani tembakau yang tidak ingin selamanya bergantung pada industri tembakau. Salah satunya adalah dengan beralih tanam. Hal ini karena di lapangan, kesejahteraan petani tembakau di Indonesia masih belum menunjukkan hasil yang maksimal.
Suci memerinci, studi PKJS-UI tahun 2020 pada Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Pamekasan di Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Kendal di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan kondisi sosial ekonomi di ketiga daerah tersebut masih belum baik.
“Informan menyatakan bahwa tanaman tembakau tidak begitu menguntungkan dan lebih sering merugi. Petani tidak memiliki daya tawar maupun menentukan kategori kualitas dan harga,” jelas Suci, Rabu (15/12/2021).
Sementara itu Gumilang Aryo Sahadewo selaku Asisten Profesor Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada menyampaikan bahwa pendapatan petani tembakau cenderung lebih bergejolak dibandingkan pendapatan petani non-tembakau. Misalnya dengan merugi di tahun yang buruk, dan mendapat keuntungan di tahun yang baik. Kondisi ini bergantung kepada faktor cuaca eksternal serta mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk input pertanian.
“DBH CHT seharusnya menjadi peluang untuk memberikan bantuan kepada petani tembakau,” tegas Gumilang.
Sementara itu Peneliti PKJS UI Kevin Andrean menambahkan realisasi penggunaan DBH CHT untuk meningkatkan kesejahteraan petani baik melalui bantuan alih tanam atau bantuan lain, sebenarnya sangat bergantung kepada kerjasama antara petani sebagai end-user, dengan pemerintah daerah baik di tingkatan provinsi maupun kabupaten sebagai enabler dan fasilitator.
“Namun kenyataannya di lapangan, masih ditemukan kecilnya komunikasi dua arah antara petani swadaya dan pemerintah daerah,” ungkap Kevin.
\
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post