Jakarta, Prohealth.id – Pengendalian zat adiktif menjadi urgensi seiring dengan semakin tingginya angka perokok anak serta kebutuhan negara untuk memaksimalisasi penerimaan dari cukai.
Rama Prima Syahti Fauzi selaku Analis Kebijakan Ahli Madya, Koordinator Pengendalian Penyakit, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan memaparkan, nikotin hasil tembakau termasuk zat adiktif yang dikendalikan jika merujuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, aturan hukum tentang cukai.
“Di dalam Undang-Undang itu jelas tertulis cukai pungutan negara yang dikenakan pada barang tertentu,” kata Rama saat lokakarya daring bertema Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif: Prioritas Kesehatan Vs Dalih Ekonomi, Selasa (15/6/2021).
Barang tertentu yang dimaksud mempunyai karakteristik sesuai dengan Undang-Undang terkait penerimaan negara. Rama menjelaskan, diksi penerimaan negara suatu perspektif yang menjadi dasar dari hasil cukai yang diatur penggunaannya.
“Sampai sekarang hanya dua jenis barang yang dikenakan cukai, yaitu minuman beralkohol dan hasil tembakau,” ucapnya.
Dia menambahkan, dua barang itu memiliki karakteristik pengendalian, pengawasan, timbulan dampak negatif, dan pembebanan pungutan negara.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, dua persen penghasilan dialokasikan sebagai Dana Bagi Hasil Cukai dan Hasil Tembakau (DBHCHT). Selanjutnya DBHCHT itu 30 persen diberikan untuk provinsi penghasil. Adapun 30 persen untuk kabupaten atau kota penghasil. Kemudian, 30 persen untuk kabupaten dan kota sekitarnya.
“Kalau berdasarkan kontribusi penerimaan cukai hasil tembakau, maka yang dapat daerah ada industri atau pabriknya lebih banyak,” katanya.
Padahal, menurut dia, salah satu amanat dalam DBHCHT itu meningkatkan mutu. “Manfaat DBHCHT untuk meningkatan mutu dari produksi mereka (petani),” ucapnya. Dia menjabarkan, jika menimbang dari rumusan tersebut, maka akan diketahui mana daerah penerima cukai paling besar.
“Itu pasti bukan dibayarkan lebih dulu oleh petani. Tapi dibayarkan lebih dahulu oleh pabrik rokok.”
Pengendalian tembakau sangat terkait dalam rumusan Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012. Rama membagi beberapa poin ihwal pengendalian tersebut. Adapun soal harga merujuk Undang-Undang 39 Tahun 2007, yakni tentang cukai.
“Kalau ini evaluasi berdasarkan Sigaret Putih Mesin (SPM), bahwa 34 persen dari harga rokok di toko. Anggaplah dari Rp 10 ribu, harga rokok sebenarnya itu Rp 3.500,” katanya. Sedangkan, Rp 6.500 kembali ke negara yang dipungut dari cukai dan pajak rokok. “Pajak rokok ada dua. Pajak daerah dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai),” ucapnya.
Rama menjelaskan, soal pengendalian dari aksesnya, larangan diberikan untuk di bawah usia 18 tahun dan ibu hamil. Adapun terkait perilaku tentang pengendalian, antara lain peringatan kesehatan.
“Tertulis dan bergambar,” katanya.
Kemudian, penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). “Kalau mau merokok harus disiplin, tidak boleh di tempat terlarang,” ujarnya.
Adapun yang bertaut iklan promosi dan sponsor dibatasi untuk media penyiaran yang menggunakan frekuensi radio.
“Ruang lingkupnya (frekuensi radio) ada di Undang-Undang Penyiaran. Sekarang di televisi (iklan rokok) pukul 21.30 sampai 05.00,” katanya.
Sementara iklan di media cetak juga dibatasi ukuran, letak, dan sasaran pembacanya. Iklan yang dipasang di luar ruangan dibatasi letak dan ukurannya. Tak boleh pula iklan dipasang di Kawasan Tanpa Rokok.
“Tidak boleh memberikan rokok gratis, hadiah produk tembakau atau ditempeli yang dikenali brand image (gambaran merek) rokok,” ucapnya.
Merujuk data yang dihimpun Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 2021, Rama memandang urgensi revisi Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012, berkaitan dengan peningkatan perokok pemula. “Anak usia 10 tahun sampai 18 tahun,” katanya. Ada pula pertimbangan terkait dampak kesehatan akibat rokok.
Pertimbangan lainnya, terkait pengaruh iklan, promosi, dan sponsor dari industri rokok. “Tidak adanya pengawasan terhadap larangan akses rokok terhadap anak dan ibu hamil,” ujarnya.
Selain itu, terkait pula dengan kekosongan regulasi terhadap konsumsi rokok non-konvensional.
“Vape dan rokok dengan pemanasan,” ucapnya.
Rama menambahkan, faktor lain yang mendesak urgensi revisi Peraturan Pemerintah tersebut juga penayangan iklan melalui internet yang kerap muncul selama 7×24 jam.
Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan, pengendalian tembakau bisa berkaitan langsung dengan kondisi penduduk rentan (insecure). Walaupun menurut dia tetap perlu riset mendalam untuk membuktikan konsumsi rokok bisa memengaruhi keadaan yang rentan secara ekonomi.
“Insecure (rentan) itu ukurannya kira-kira pengeluaran per-hari di bawah Rp 25 ribu sudah disesuaikan dengan daya beli,” katanya.
Merujuk data Bank Dunia, Faisal menjelaskan 52,8 persen penduduk rentan kala mencapai aras Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2019.
“Saya tidak menyangka sedemikian besar penduduk Indonesia jauh dari sejahtera. Tidak miskin, namun kalau ada guncangan itu tiba-tiba menjadi serba kekurangan,” tuturnya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post