“Kami melakukan demo dan pameran mural pada Hari Kesehatan Nasional, 12 November 2021 untuk mendesak pengesahan revisi PP 109/2012. Saat itu memang kami gak langsung diterima Presiden, tapi akhirnya kami diterima Kantor Staf Presiden (KSP) langsung dengan Pak Moeldoko,” ungkap Program Manager Yayasan Lentera Anak, Nahla Jovial Nisa kepada Prohealth.id.
Hari Senin, 22 November 2021 adalah kesempatan langka bagi Nahla dan para perwakilan yang tergabung Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK). Mereka akhirnya bisa memberikan langsung mural ‘Tak Ada Perlindungan Tanpa Regulasi’ kepada Moeldoko, Kepala KSP. “Kami sudah menganalogikan dengan mural anak yang berada dibawah payung yang bolong. Tidak ada yang melindungi anak tersebut,” ujar Nahla.
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Nahla dan tim KOMPAK pun melakukan audiensi tentang urgensi pengesahan revisi PP 109/2012 yang sudah usang. Nyaris 10 tahun, UU ini dipandang belum sukses mengakomodasi kebutuhan anak, terutama agar menurunkan prevalensi perokok anak. Buktinya angka perokok anak sudah menyentuh 9,1 persen pada 2018.
Ada banyak catatan kenapa PP tersebut selayaknya harus direvisi. Sebut saja salah satunya adalah kehadiran rokok elektrik yang menjadi tren namun belum diregulasi. Contoh lain, adalah aturan iklan rokok yang menjadi pemicu ketertarik anak dan remaja mencicipi zat adiktif tersebut.
Nahla menyebut dalam proses mendorong revisi PP 109/2012 dalam tiga tahun terakhir, koalisi masyarakat sipil yang peduli kesehaan kerap terbentur dengan pernyataan pemerintah yang ingin mengakomodasi suara semua pihak termasuk suara industri dan petani. Dengan tegas, Nahla mengatakan kepada Moeldoko dan tim KSP Kedeputian II dan IV, “Pak, kami perlu perlindungan kuat dari zat adiktif rokok,” ujar Nahla.
Dia berasumsi dalam proses revisi PP 109/2012, pemerintah belum seutuhnya mendengar pertimbangan dari suara anak. Pertimbangan yang melulu muncul adalah tentang kepentingan ekonomi petani dan stabilitas industri. Lagi-lagi, Nahla menegaskan PP 109/2012 tidak mengganggu petani.
“Kami cuma minta; larangan iklan rokok di semua wilayah. Kalau tidak ada kebijakan nasional sangat susah. Kedua, akses rokok pada anak dipersulit. Ketiga, pengaturan rokok elektronik, dan keempat peningkatan peringatan kesehatan bergambar bahaya rokok,” jelas Nahla.
“Hanya dengan empat pengajuan itu tidak mungkin orang tidak melihat iklan rokok maka akan berhenti merokok,” sambungnya.
Empat pengajuan dari KOMPAK tersebut berdasarkan sejumlah riset kesehatan dan ekonomi terhadap perokok anak. Peneliti Muda Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) Devi Utami menyatakan, iklan rokok masih banyak berkeliaran tak mengikuti aturan. Devi menyebut, iklan rokok di luar media ruang mencantumkan harga yang tidak sesuai dengan harga jual eceran (HJE).
Secara terpisah, Kepala Subdit Advokasi dan Kemitraan, Direktorat Promosi Kesehatan, Ditjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Sakri Sab’atmaja menjelaskan kenaikan prevalensi perokok menjadi 9,1 persen pada 2018 jelas menjadi ancaman untuk bisa mencapai target RPJMN 2020-2024 dimana perokok anak harus turun hingga 8,7 persen.
Selama 2007 sampai 2018, perokok pemula usia 10-14 tahun meningkat 2,5 kali. Sementara usia 15-19 tahun, perokoknya meningkat 1,5 kali.
“Konsumsi rokok elektronik bagi usia 10-18 tahun meningkat drastis dari 1,2 persen pada 2016 menjadi 10,9 persen pada 2018,” tutur Sakri.
Secara umum sekalipun perokok prevalensinya menurun dari tahun 2013 sampai 2018, namun jumlah absolut perokok sebenarnya naik dari 36,3 persen menjadi 52,1 persen.
Dengan fenonema ini Sakri menegaskan bahaya yang menanti masa depan Indonesia sebagai negara dengan bonus demografi. Ada 65 juta anak Indonesia yang akibat rokok berpotensi mengalami kemunduran kualitas dan produktivitas. Hal ini akibat zat adiktif dalam rokok yang mempengaruhi perkembangan otak remaja.
“Remaja itu fase perkembangan, maka adiksi terhadap nikotin bisa menyebabkan remaja Indonesia rentan dalam pengambilan keputusan,” tutur Sakri.
Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, namun belum membuahkan hasil optimal. Layanan konseling hingga fasilitas kesehatan dan perawatan rehabilitasi pecandu rokok. Namun itu semua diakui Sakri belum tuntas tanpa bantuan penguatan regulasi revisi PP 109/2012.
FIGUR DAN LEGACY
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Prohealth.id, audiensi kelompok peduli kesehatan anak sampai ke pintu istana terakhir kali terjadi pada 2016. Nahla menceritakan saat itu, pintu istana terbuka melalui KSP dan audiensi dilakukan dengan Jaleswari Pramodhawardhani.
Proses yang cukup panjang dalam menyerukan aspirasi membawa refleksi lebih jauh tentang kekosongan figur pendukung suara anak. Nahla berkisah, pada 2016 tersebut salah satu figur yang cukup berkomitmen mendorong penurunan prevalensi perokok anak adalah mantan Menteri Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan Anak 2014-2019, Yohana Yembise.
Setelah melalui waktu yang cukup panjang, Nahla berkesimpulan pengesahan revisi PP 109/2012 sebenarnya hanya bergantung dari satu figur yaitu Presiden Joko Widodo. “Ini semua tinggal menunggu ketegasan presiden itu satu-satunya cara,” tuturnya.
Pada waktu yang semakin sempit, Nahla mencontohkan ketegasan serupa pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada saat PP tersebut belum ada, SBY mengambil kebijakan peringatan bergambar alias pictorial health warning (PHW) 40 persen. Oleh karena itu, KOMPAK menunggu sikap Presiden Jokowi karena di sisa kepemimpinan, ini akan menjadi cerminan siapa yang dilindungi oleh presiden.
“Melindungi petani pun tidak terlindungi dengan PP, karena PP tidak ada kaitannya dengan petani. Kami berharap KSP seimbang menyampaikan informasi tidak hanya dari industri tetapi juga dari kami, anak dan remaja,” ungkap Nahla.
Jika dihitung secara realistis waktu yang tersisa untuk merampungkan dan meresmikan revisi PP 109/2012 ini kurang dari satu tahun. Hal ini dihitung dengan momentum 2022 sampai 2024 yang akan ramai dengan persiapan Pilkada hingga Pemilu. Sementara proses pengesahan hingga implementasi memakan waktu yang panjang dan tidak mungkin hanya dalam satu tahun.
Alhasil pada penghujung tahun 2021 ini, jika sampai awal tahun 2022 Presiden Jokowi tidak mengesahkan revisi PP 109/2021 maka dia menyimpulkan Presiden Jokowi tidak memiliki peninggalan atau legacy terhadap komitmen perlindungan anak dari zat adiktif. Kondisi tersebut bisa disimpulan, Presiden Jokowi tidak serius menuntaskan janji dalam RPJMN 2020-2024.
“Karena RPJMN yang tanda tangan Pak Presiden. Kami sebenarnya mendukung pak Presiden menyelesaikan janjinya. Kami bukan menuntut, hanya menuntaskan janjinya,” terang Nahla.
Jika tidak ada pengesahan PP 109/2012 yang sudah direvisi hal ini bisa mengancam Jokowi, karena dia bisa menjadi satu-satunya presiden yang tidak memiliki legacy dalam perlindungan anak terhadap tembakau dan zat adiktif.
Penulis: Tim Prohealth.id
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post