Jakarta, Prohealth.id – Rencana pemerintah dalam menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada tahun anggaran 2022 bukan tidak mungkin akan berdampak negatif pada industri hasil tembakau. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022 target cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2022 adalah kurang lebih Rp 193 triliun atau naik sebesar 11,9 persen (Rp 20 triliun) dari target tahun 2021.
Menurut Anggota Komisi XI DPR RI Willy selain menurunkan produktivitas IHT, kenaikan CHT juga akan menyuburkan pasar rokok ilegal, apalagi dalam situasi pemulihan saat ini.
Willy Aditya, yang berasal dari salah satu kawasan sentral tembakau nasional yakni Madura, menyatakan bahwa ia terus menerus mendapatkan keluhan dan penolakan terhadap kenaikan tarif CHT dari para pekerja di sektor IHT dan para petani atas kelangsungan hidup mereka. Dia juga menyatakan bahwa para petani juga sudah bergerak untuk mengirimkan surat secara langsung kepada Presiden Jokowi.
“Jangan sampai kita harus menanggung konsekuensi atas semakin banyaknya petani dan pekerja SKT yang terdampak di masa sulit ini,” kata Willy melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Selasa (28/12/2021).
Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Triyanto, mengatakan kenaikan tarif CHT yang eksesif akan merusak rantai perdagangan IHT dengan memaksa pabrik untuk terus mengurangi produksinya. “Jika produksi dikurangi, maka serapan bahan baku yang dipasok oleh petani juga berkurang. Tidak hanya petani, pekerja di pabrik juga menghadapi situasi yang berat,” kata Triyanto.
Asal tahu saja, awal Desember 2021, Kementerian Keuangan menyatakan cukai produk IHT untuk tahun depan akan dinaikkan menjadi sebesar 12 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad turut mengatakan kenaikan eksesif tarif CHT di saat seperti ini kurang tepat. Tauhid menilai penularan Covid-19 bisa terkendali, masa pemulihan akibat dampak masif yang ditimbulkan selama dua tahun terakhir membutuhkan periode multiyears.
“Rokok adalah produk konsumsi nomor dua, yang amat penting untuk menyokong ekonomi negara. Dan di sisi lain merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang,” kata Ahmad.
Ahmad mengatakan akan lebih baik jika pemerintah memiliki formula baku dalam setiap kebijakan cukai rokok termasuk dalam kebijakan kenaikan tarif. Formula tersebut merupakan gabungan pertimbangan dan data dari berbagai dimensi terkait seperti aspek kesehatan, tenaga kerja, penerimaan negara, petani, hingga pemantauan rokok ilegal. Menurutnya saat ini, arah kebijakan terkait cukai rokok kurang memenuhi aspek keberadilan bagi seluruh pemangku kepentingan terkait.
BENARKAH CUKAI YANG BIKIN PETANI RUGI?
Ditemui secara terpisah oleh Prohealth.id, Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah yang juga berasal dari Madura menjelaskan persoalan petani tidak sejahtera bukan karena kenaikan cukai. Dia mengakui kenaikan cukai pada dasarnya sudah diatur oleh undang-undang dan perlu konsisten dielaborasi untuk dampak kesehatan dan ekonomi. Said membeberkan, di Sumenep, DBHCHT bisa mencapai Rp17 miliar namun akhirnya tidak memberi dampak kepada petani. Hal ini terjadi karena kewenangan dalam otonomi daerah membuat DBHCHT malah difungsikan oleh pemda untuk pembangunan jalan atau kepentingan lain di luar petani.
“Aturan dari pemerintah pusat itu sudah selesai. Namun di level Pemda sering disiasati. Kami [Banggar] sudah evaluasi itu, namun reaksi para kepala daerahnya mengamul. Padahal petani akhirnya tidak merasakan apa-apa dari cukai tembakau. Mereka [petani] tetap sulit air, bangun irigasi ke sawah, itu semua tidak pernah ada,” ungkap Said.
Dinamika lain yang menarik adalah intervensi industri rokok dalam kebijakan pemda. Said menilai perusahaan besar rokok terlibat dalam mengendalikan pasar tembakau sampai dengan membangun komunikasi yang baik dengan pemda. Kondisi ini membuat profit yang didapatkan dari industri rokok kerap menjadi solusi untuk pemerintah daerah meminta bantuan tanggung jawab sosial.
Dalam dinamika yang belum terkendali, Said menilai kenaikan eksesif cukai rokok sebaiknya dimaksimalkan saja untuk pengembangan kesehatan masyarakat. Target untuk kesehatan masyarakat dipandang lebih realistis dibandingkan untuk mengurus petani.
“Ini lebih realistis, karena semua pabrikan melakukan pembinaan juga ke petani. Pabrikan punya stok untuk 3 sampai 5 tahun. Lalu kalau petani ngeyel, mereka [industri] bisa saja tidak mau beli dari petani. Makanya Banggar merekomendasikan impor tidak boleh lebih dari 28 persen. Akibat impor ini juga bikin harga petani murah,” ujar Said.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post