Jakarta, Prohealth.id – Pemerintah Selandia Baru pada Desember 2021 lalu telah mengumumkan larangan merokok bagi warga kelahiran diatas tahun 2008.
Kebijakan ini dianggap cukup radikal diambil oleh pemimpin Selandia Baru saat ini, Perdana Menteri Jacinda Ardern. Berdasarkan informasi yang dihimpun Prohealth.id, kebijakan ini bertujuan menghentikan penjualan rokok demi menjaga generasi muda negara tersebut mulai 2024. Oleh sebab itu, Rancangan Undang-Undang untuk kebijakan ini akan disahkan 2022, dengan aturan penjualan rokok kepada warga usia 14 tahun ke bawah sebagai perbuatan pidana.
Selandia Baru memang memiliki 11,6 persen perokok di atas 15 tahun dengan prevalensi yang cenderung meningkat setiap tahun. Artinya, kebijakan yang diambil tersebut akan memberi dampak besar bagi industri tembakau.
Sejumlah pakar kesehatan di Indonesia memberikan acungan jempol atas kebijakan Selandia Baru. Legacy dari Jacinda Ardern bahkan diharapkan bisa terjadi juga di Indonesia yang pada 2018 lalu masih menorehkan prestasi prevalensi perokok anak 9,1 persen.
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh Komnas Pengendalian Tembakau, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Agus Dwi Susanto, SpP(K) setuju jika konsumsi rokok harus dibatasi sejak dini dilakukan pula di Indonesia.
“Saya juga telah baca peraturan di Selandia Baru. Saya rasa itu bagus sekali. Kalau kami dari PDPI dari awal sudah menyampaikan bahwa pencegahan penyakit itu dimulai dari dini,” tegas dr Agus.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr Ede Surya Darmawan SKM MKM mengatakan, tingginya konsumsi rokok di Indonesia terbukti membuat rumah tangga tidak bisa memberikan asupan nutrisi terbaik terutama bagi anak-anak. Hal ini karena indikasi dan temuan dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa rokok masih menempati posisi kedua konsumsi terbesar masyarakat setelah beras.
APA LEGACY PEMERINTAH INDONESIA?
Mengintip kebijakan di Selandia Baru, kondisi kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia cenderung stagnan. Indikasi berjalan ditempat tercermin dengan sulitnya pemerintah mengintervensi konsumsi rokok terutama dari komponen iklan dan pemasaran kepada anak-anak.
Menurut Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat di Badan Anggaran, Vera Febyanthy upaya pengendalian rokok sudah dilakukan pemerintah melalui kebijakan cukai tembakau. Kebijakan ini diambil secara berkala setiap tahun karena kesadaran rokok memberi dampak rokok bukan hanya kepada anak-anak tetapi juga kepada orang tua. Bahkan, banyak temuan anak perokok terpengaruh awalnya dari orang tua yang perokok.
“Contoh buruk ini dipertontonkan ke anak-anaknya. Sehingga anaknya juga mengikuti gaya hidup orang tuanya. Pemerintah harusnya bagus melindungi karena pemerintah hampir kurang lebih Rp15 triliun BPJS itu klain untuk kesehatan anak dan balita. Jadi, tolong orang tua yang merokok jangan di depan anak-anak. Kasihan, daya tahan tubuh mereka perokok pasif juga terdampak,” tegas Vera saat wawancara dengan tim Prohealth.id, Kamis (23/12/2021) lalu.
Dalam upaya menurunkan prevalensi perokok anak, Vera menyebut pemerintah harus segera melakukan revisi PP 109/2012 tentang Pengendalian Tembakau. Dia menilai jika pemerintah tidak segera melakukan revisi PP tersebut, ada indikasi pemerintahan Jokowi-Mar’uf Amin tidak memiliki legacy dalam melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya rokok.
Anggota DPR dari Dapil Jawa Barat VII itu menyebut, saat zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah tegas membuat legacy pengendalian konsumsi rokok dengan aturan picture health warning (PHW) pada kemasan rokok. Sementara untuk saat ini, belum ada lagi inovasi dalam pengendalian konsumsi rokok dari pemerintahan Jokowi.
“Itu kan legacy SBY, mana legacynya Jokowi? Apakah takut dengan pengusaha rokok? Di luar negeri sudah 20 tahun lalu, Australia, Amerika, di perkantoran saja sudah tak bisa merokok. Di Singapura merokok dendanya besar. Hanya di Indonesia yang aturan konsumsi rokok sangat longgar,” sambung Vera.
Vera juga menyinggung pentingnya pengendalian intervensi rokok melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR). Dia menilai, kerja-kerja CSR seharusnya memberi dampak langsung terhadap kesehatan. Misalnya, perusahaan rokok membangun RS khusus penyakit paru-paru. Kegiatan CSR yang bersifat kuratif ini menurut Vera cukup baik untuk menjaga kesehatan masyarakat tanpa mencederai hak bisnis perusahaan industri tembakau.
“Coba perusahaan rokok bangun banyak RS paru untuk anak. Penghasilan industri rokok juga besar, harus bisa dikeluarkan untuk memberi dampak yang baik. Atau bisa sumbangkan kepada BPJS Kesehatan. Semua cara harus dipikirkan dan pemerintah harus bersama-sama menerapkan itu,” sambungnya lagi.
Sebelumnya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Prastuti Soewondo selaku Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat sudah mengumumkan tingginya beban BPJS Kesehatan akibat konsumsi rokok bisa mencapai lebih dari Rp15 triliun.
Oleh karena itu, dia mengingatkan kembali target pemerintah untuk kesehatan masyarakat yang telah disusun dalam RPJMN 2021-2024. Salah satu fokus penyusunan anggaran pembiayaan kesehatan harus memenuhi tiga tujuan utama. Pertama, cukup dan berkesinambungan. Kedua, anggaran harus teralokasi secara adil. Ketiga, anggaran harus dibelanjakan dengan efektif dan efisien.
Berkaca dari RPJMN dan implementasi saat ini, Vera menilai konsistensi pengendalian tembakau masa pemerintahan Jokowi-JK bahkan Jokowi-Ma’ruf Amin baru tercermin dari konsistensi kenaikan cukai rokok saja. Belum ada aturan pelarangan yang ketat ataupun terobosan untuk melindungi anak.
“Kami dukung kenaikan cukai, sika kita bantu DBH [Dana Bagi Hasil] tembakau untuk petani dan buruh. Tapi untuk pengendalian tembakau bagi anak-anak belum ada yang bersuara. Sementara suara kami [Fraksi Partai Demokrat] termasuk minoritas di DPR,” tutur Vera.
Oleh karena itu, Vera mengusulkan agar pemerintah bisa belajar mengendalikan tembakau seperti halnya mengendalikan pandemi Covid-19 melalui aplikasi PeduliLindungi. Dia memberi ide, pemerintah bisa saja mengendalikan konsumsi rokok di kalangan anak dengan kewajiban membeli rokok dengan syarat memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Harusnya bisa, kalau ada niat dan upaya karena memang rokok itu mematikan dan bisa lebih jahat dari Corona. Sekarang tinggal pemerintah mau, atau tidak,” ungkap Vera.
Penulis: Tim Prohealth.id
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post