Jakarta, Prohealth.id – Salah satu kenaikan cukai untuk tahun 2022 yang menjadi sorotan adalah cukai untuk rokok elektronik atau vape.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) Said Abdullah menjelaskan pemerintah melalui Kementerian Keuangan sudah menetapkan cukai rokok tahun ini naik rata-rata 12 persen.
Adapun salah satu komponen cukai tertinggi adalah cukai untuk roko elektronik seiring dengan tren permintaan atas produk tersebut yang meningkat di kalangan masyarakat. Menurut Said, keputusan pemerintah sudah tepat terutama menjaga kehidupan industri tembakau saat ini khususnya rokok kretek.
Selain untuk mendorong kesejahteraan petani, Said juga menegaskan pentingnya kenaikan cukai berkala untuk mendukung kesehatan masyarakat. Hal ini seturut dengan amanat untuk menjaga kesehatan masyarakat di masa krisis akibat pandemi Covid-19.
“Secara umum tidak hanya cukai, APBN kita 5 persen untuk kesehatan. Celakanya, dananya juga masuk DAK yang dikelola oleh daerah. Tiap kabupaten terima Rp25-30 miliar setiap tahun. Tergantung jumlah penduduk. Lihat rumah sakit kelasnya. Berapa banyak puskesmas,” ujar Said dalam wawancara dengan Prohealth.id, (14/12/2021).
Persentase 5 persen untuk kesehatan saat ini menurut Said memang belum cukup untuk menangani masalah epidemi tembakau di tengah pandemi Covid-19. Oleh karena itu, Said menilai tidak ada masalah untuk menaikkan cukai sampai 200 persen untuk rokok putih supaya daya beli masyarakat berkurang.
“Sebagai ketua Banggar, saya ingin rokok kretek bertahan dengan harga yang tinggi kita bisa lakukan. Kalau di Singapura harga rokok Rp140 ribu, kalau di Indonesia nasik segitu jadi ribut. Yang ribut bukan konsumen rokok, tetapi para pengusaha juga saling berantem,” ujar Said.
Meski demikian, Said menilai tidak mudah di level DPR RI maupun kementerian langsung mendorong kenaikan cukai dua kali lipat. Oleh sebab itu untuk mendorong efektivitas cukai, ruang fiskal yang sehat hanya bisa terwujud dengan membuka keran cukai baru.
MEMBUKA RAGAM KERAN CUKAI
Oleh karena itu, Banggar harus menaikkan cukai dari keran lain seperti bahan baku pemanis dan plastik. Misalnya saja, pajak dosa perlu diberikan pada plastik mengingat plastik sudah terlalu banyak mencemari lautan.
Potensi cukai berikutnya adalah cukai untuk minuman berpemanis. Hal ini tak bisa dipungkiri mengingat potensi penyakit yang disebabkan oleh minuman berpemanis cukup banyak. Adapun yang cukup mematikan dari penyakit tidak menular (PTM) adalah diabetes dan obesitas. Bahkan, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional, konsumsi minuman berpemanis di Indonesia mencapai 780 juta liter pada tahun 2014, meningkat pesat dari 253 juta liter pada tahun 2005.
Asal tahu saja, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), pada 2021 lalu sudah meluncurkan program advokasi penerapan cukai minuman berpemanis. Program advokasi yang akan berjalan hingga September 2022 ini mendorong pemerintah untuk mengekstensifikasi minuman berpemanis sebagai barang kena cukai.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun sudah menyatakan, setidaknya ada tiga alasan Indonesia perlu segera membuka potensi cukai minuman berpemanis. Pertama, Indonesia bisa berkaca dari Inggris, Mexico, dan Chile yang sukses menurunkan sekitar 20 persen konsumsi minuman berpemanis ketika pertama kali menerapkan cukai. Kedua, Indonesia hanya memiliki 3 barang kena cukai (BKC) yakni produk hasil tembakau, etil alkohol, dan minuman mengandung etil alkohol.
Sementara di negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand dan Kamboja memiliki 11 jenis BKC, Laos memiliki 10 jenis BKC, dan Myanmar memiliki 9 jenis BKC. Artinya, jenis cukai Indonesia masih sangat sedikit. Selain itu, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Brunei juga telah menerapkan cukai minuman berpemanis. Ketiga, ekstensifikasi cukai akan menguntungkan negara terutama dalam kondisi defisit anggaran karena penanganan Covid-19. Dibandingkan dengan opsi lain seperti mengenakan pajak pada sembako atau menaikkan nilai PPN, ekstensifikasi cukai menjadi opsi yang lebih dapat diterima.
Potensi keran cukai berikutnya yang perlu segera diagendakan menurut Said adalah cukai karbon. Dia menilai penerapan cukai ini tentu akan membuat para pengusaha mengamuk. Meski demikian, Said tidak peduli dengan alasan pada 2045 komitmen Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan sangat dipertaruhkan.
“Kami ingin ekonomi ke depan memasukkan indeks lingkungan. Tahun depan saya tagih pemerintah. Supaya pemerintah melakukan itu supaya pengusaha juga berubah. Sampai pada green fiscal terlahir. Harus pelan-pelan. Kalau tak melakukan apapun hanya berharap pada janji Amerika dan Eropa. Kita jadi korban. Harus masuk komponen lingkungan,” tegas Said.
Dia sudah merumuskan sebagai Ketua Banggar DPR RI, agar setiap kabupaten punya sekitar Rp1 miliar untuk deforestasi kota. Dengan demikian, setiap kali ada penebangan, pengusaha dan pemerintah bertanggung jawab untuk menanam ulang seiring dengan terikatnya aturan cukai karbon.
Abdillah Ahsan selaku peneliti dari Universitas Indonesia mengatakan, pengenaan cukai non rokok seperti minuman berpemanis akan meningkatkan harga dan diharapkan terjadi perubahan perilaku dari sisi konsumen yaitu penurunan konsumsi dan dari sisi produsen dengan mengurangi kandungan gula.
“Perubahan perilaku tersebut akan mendorong perbaikan kualitas kesehatan masyarakat. Seharusnya tidak terlalu sulit menerapkan cukai ini karena industri masih bisa melakukan penyesuaian kandungan gulanya ke level konsumsi yang diperbolehkan.”
Penulis: Tim Prohealth.id
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post