Jakarta, Prohealth.id – Menurut Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Beka Ulung Hapsara kelompok rentan harus mendapatkan perlakuan khusus sesuai dengan hukum HAM.
Dalam Pasal 5 ayat 3 UU HAM dinyatakan, perlindungan lebih diberikan kepada kelompok rentan berkenaan dengan kekhususannya Pasal 4 Huruf J, dan Pasal 29 UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik menjamin pemenuhan fasilitas dan pelayanan khusus kepada kelompok rentan.
“Tindakan afirmatif atau perlindungan lebih terkait potensi diskriminasi yang bisa diakibatkan karena kerentanan tersebut,” ujar Beka Ulung Hapsara pada webinar PopTB Indonesia.
Lebih lanjut, Beka Ulung juga menyatakan penyandang penyakit menular kronis (PMK) adalah kelompok pasien yang terdeteksi positif tuberkulosis, HIV, kusta, dan hepatitis. Oleh karena itu, hak kesehatan PMK adalah hak dasar yang wajib diberikan dan didapatkan oleh para penyandang PMK dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dan bersandar pada prinsip non diskriminasi, toleransi, dan empati.
Dia menegaskan, pemerintah wajib melakukan upaya-upaya kesehatan untuk menurunkan jumlah PMK, deteksi dini, dan merujuk kasus yang memerlukan rujukan, meniadakan diskriminasi, dan stigma terhadap penyandang PMK, meningkatkan kualitas hidup PMK dan mengurangi dampak sosial ekonomi.
“Perawatan dan pengobatan bagi penyandang PMK yang miskin dan kurang mampu ditanggung negara,” sambung Beka.
Menurut Daniel Marguari dari Yayasan Spiritia menjelaskan jaminan hak PMK bisa terwujud dengan peran komunitas dari kelompok rentan tersebut. Dia menyebut, keberhasilan program komunitas kelompok rentan ini ditentukan oleh besarnya kolaborasi dari beragam komponen.
“Dengan kerja sama, mereka menghasilkan dinamika pengaturan pengambilan keputusan, yang memperkuat penyiapan lingkungan yang mendukung serta efektivitas pemberian manfaat kepada penerima manfaat,” terang Daniel.
Daniel menegaskan dengan tujuan komunitas mengoptimalkan efektivitas pemberian manfaat program bagi penerima manfaat dengan beberapa syarat. Pertama, komunitas berkapasitas dan berpartisipasi aktif.
Kedua, komunitas mendapatkan haknya sebagai warga negara yang dilindungi oleh aturan perundangan.
Ketiga, komunitas menerima layanan tanpa stigma dan diskriminasi tanpa ada yang tertinggal, khususnya gender.
“Konsep Community, Rights, Gender (CRG), digunakan untuk memastikan hambatan mengoptimalkan peran komunitas dalam proses pelaksanaan program,” tutur Daniel.
TANTANGAN KONSEP CRG
Konsep CRG yang disebutkan oleh Daniel ternyata belum sempurna karena menghadapi beragam tantangan. Alasan paling utama, konsep ini sudah ramai dibicarakan namun tak juga diimplementasikan.
Padahal, menurut Daniel, proses advokasi untuk peningkatan peran komunitas dirasakan semakin baik di tingkat kabupaten/kota prioritas. Begitu juga proses pemantauan dari sisi komunitas terhadap berjalannya program. “Tetapi, isu terkait keberlangsungan masih membutuhkan perhatian lebih jauh,” ujar Daniel.
Berikutnya, dukungan untuk pemenuhan hak individu dari komunitas yang terlibat kekerasan dan tindakan pelanggaran hak asasi manusia sudah banyak diterima, khususnya di 23 KK prioritas dan terus memperluas wilayah. “Tetapi dukungan masih perlu ditingkatkan dari proses dokumentasi ke dukungan lain yang lebih khusus,” ungkapnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post