Jakarta, Prohealth.id – Epidemiolog sekaligus Juru Bicara Satgas Covid-19 RS UNS, dr. Tonang Dwi Ardyanto mengatakan ujaran bahwa efektivitas vaksinasi menurun tidaklah tepat.
Dia juga menegaskan informasi hoaks bahwa setiap bulan orang akan menerima suntikan vaksinasi juga tidak benar. Dia tak menampik bahwa ada eberapa penelitian memang menyebut bahwa antibodi di dalam tubuh yang dihasilkan vaksin Covid-19, menurun setelah enam bulan menerima dosis kedua.
“Kendati demikian, temuan ini tidak bisa menjadi dasar pemberian vaksin COVID-19 setiap enam bulan sekali,” ungkap dr. Tonang melalui siaran pers, Rabu (26/1/2022).
Adapun kebijakan booster vaksin Covid-19 dari pemerintah saat ini diperuntukkan bagi usia 18 tahun ke atas, minimal 6 bulan setelah dosis kedua dan di daerah dengan cakupan vaksinasi 70 persen penduduk untuk 1 dosis dan 60 persen untuk dosis lengkap.
Lebih lanjut, dr. Tonang pun mencoba mengambil contoh kasus di New York, Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam tersebut, memang jumlah kasusnya lebih banyak pada yang sudah tervaksinasi. Hal itu terjadi karena sebagian besar masyarakat sudah tervaksin.
“Namun bila dilihat persentase per 100 ribu orang beda ceritanya. Kita melihat data pada periode 3-9 Januari 2022, Dari setiap 100 ribu orang yang sudah divaksin, rata-rata per hari terjadi 219,4 kasus. Proporsi yang tervaksinasi sudah 72 persen. Berarti katakanlah dari 10 juta penduduk di sana, sekilas terlihat banyak orang sudah divaksinasi tapi tetap terinfeksi,” ungkap dr. Tonang.
Sementara dari 100 ribu orang yang belum tervaksinasi, terjadi 1.706,3 kasus per hari. Oleh karena proporsinya kecil, seolah angkanya kecil, tetapi persentasenya jauh lebih tinggi yakni hampir 7,78 kali lipat dibandingkan yang sudah tervaksinasi. “Kondisinya lebih terlihat bedanya pada berapa yang harus dirawat di RS,” sambungnya.
Dari 100 ribu orang yang sudah tervaksinasi dr. Tonang menyebut pasien yang harus dirawat di RS adalah 5,79 kasus/hari. Dibandingkan 74,61 kasus/hari dari setiap 100 ribu orang yang belum tervaksinasi. “Ini artinya ada 13 kali lipat atau tepatnya sekitar 12,89 lipat.
Bagaimana efek Omicon dibandingkan sebelumnya?
Lebih lanjut dia menilai, sampai periode 6-12 Desember 2021, dari setiap 100 ribu orang yang sudah tervaksinasi, terjadi 29,6 kasus per hari dibandingkan 239,7 kasus pada kelompok belum tervaksinasi. Artinya ada 8 kali lipat.
Jika dibandingkan 1 bulan lalu, pada periode 3-9 Januari 2022, terjadi peningkatan persentase 7 kali lipat pada kelompok tervaksinasi dan 7 kali lipat juga pada kelompok belum tervaksinasi. “Artinya, secara persentase, varian Omicron tidak mengubah perbedaan kerentanan terhadap infeksi dibandingkan delta antara sudah divaksinasi dan belum divaksinasi, hanya penyebarannya jauh lebih cepat,” tuturnya.
Begitu juga dalam hal persentase pasien yang dirawat di RS, dr. Tonang memerinci terjadi peningkatan persentase akibat gelombang Omicron dengan risiko pada kelompok belum tervaksinasi 13 kali lipat daripada yang sudah tervaksinasi.
“Di periode satu bulan sebelumnya, risiko orang belum divaksinasi untuk harus dirawat di RS karena covid, adalah 15 kali lipat daripada yang sudah divaksinasi. Pada periode 3-9 Januari 2022, perbandingkan risikonya 13 kali lipat.”
Jika begitu, mengapa setelah Omicron risikonya terlihat hanya13 kali lipat?
“Karena jumlah total kasus covid di gelombang Omicron sangat meninggi. Jumlah kasus per hari saat ini, sudah 20 kali lipat daripada saat puncak gelombang delta,” ungkapnya.
Jumlah kasus varian Omicron sekilas lebih tinggi pada kelompok tervaksinasi. Namun perlahan keterisian di RS makin tinggi. Risikonya, kesempatan mendapatkan perawata di RS menurun. “Maka sekilas risiko bagi kelompok belum tervaksinasi “menurun”. Padahal justru dikhawatirkan terjadi karena tingginya kebutuhan pelayanan di RS yang menjadi faktor penyulit dalam penanganan pasien Covid-19,” pungkas dr. Tonang.
Melalui pesan singkat dr. Tonang juga menjelaskan bahwa dalam hal mencegah infeksi, efektivitas vaksin mencapai 93,2 persen yang mana ini tertinggi, pada awal Mei 2021. Kemudian menurun selama gelombang varian delta pada pertengahan Juli 2021 lalu ke angka 75-78 persen. Namun, saat ini efektivitas vaksinasi pun masih bertahan pada 78 persen, artinya tidak ada penurunan.
Lebih lanjut dia menyatakan dalam hal mencegah perawatan di RS, penurunan efektivitas vaksin jauh lebih kecil. Mencapai puncak 95,5 persen di pertengahan Mei, kemudian menurun menjadi sekitar 92-93 persen selama gelombang delta, dan sekarang tetap bertahan pada 92,3 persen.
“Hal ini tentu merupakan informasi yang menggembirakan. Tetapi tetap harus diperhatikan bahwa itu dicapai dengan cakupan vaksinasi yang relatif sudah tinggi,” ungkapnya pada pertengahan Januari 2022.
Memang cakupan vaksinasi lengkap mulai melampaui 40 persen sejak 11 Mei 2021, yang kemudian sudah mencapai sekitar 55 persen selama gelombang delta, dan sekarang sudah mencapai 72,9 persen.
Meski demikian, dia mengingatkan ada catatan lain yang menyebabkan varian Omicron lebih cepat menular yaotu soal protokol kesehatan. Dia membandingkan di Amerika Serikat, terutama soal masker, maka di US relatif longgar. Maka evektivitas vaksin tersebut sekali lagi adalah kabar menggembirakan.
PROKES HARUS DIPERKETAT
“Efektivitas vaksin tetap tinggi. Vaksin tetap mampu mencegah infeksi lebih baik daripada yang belum divaksinasi. Lebih efektif lagi dalam hal mencegah keharusan dirawat di RS,” terang dr. Tonang.
Kendati begitu dia mengakui bahwa cakupan vaksinasi di Indonesia memang belum setinggi di New York sana. Namun Indonesia masih memiliki senjata protokol kesehatan. “Maka menyadari soal cakupan vaksinasi, tidak ada pilihan lain, protokol kesehatan harus tetap diperketat,” tuturnya.
Pada sisi lain, persentase kasus karena Omicron yang perlu dirawat di RS, lebih rendah daripada periode sebelumnya. Namun apabila jumlah kasusnya melonjak tinggi sekali, maka terjadi risiko karena bisa melampaui kemampuan RS menampungnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post