Jakarta, Prohealth.id — Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Netty Prasetiyani setuju jika PP 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif direvisi jika dianggap diperlukan.
Sebelumnya PP 109 tahun 2012 itu sudah disahkan dan berlaku sejak 24 Desember 2012, sebagai peraturan pelaksana Pasal 116 UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Hanya saja, Netty mengingatkan bahwa revisi PP haruslah memikirkan nasib petani tembakau, sehingga mereka tetap bisa bertahan hidup.
“Pemberdayaan masyarakat khususnya petani yang tetap membudidayakan tembakau jangan dilupakan,” kata Netty dalam lokakarya daring untuk jurnalis yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Selasa (15/6/2021).
Sejauh ini, Netty melihat tujuan PP 109 tahun 2012 sangat baik, karena melindungi kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan diri dari bahaya bahan yang mengandung karsinogen.
“Termasuk juga meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat, agar melindungi penduduk usia produktif,” kata Netty.
Hanya saja, ketika berbicara tentang tembakau, Netty mengingatkan bahwa hari ini perokok anak prevalensinya justru meningkat.
“Itu sebabnya, anak, remaja dan perempuan hamil harus dilindungi dari pengaruh iklan dan asap rokok,” tegasnya.
Selain itu, Netty mengingatkan jika udara tidak hanya menjadi milik sekelompok orang, namun untuk setiap orang.
“Kalau bicara hak azasi, maka orang lain juga berhak mendapatkan udara bersih, sehingga jangan paksa setiap orang menjadi perokok pasif,” katanya.
Saat ini, sejumlah regulasi telah mengatur hal-hal tentang produk termbakau yang tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun juga masyarakat, disamping perlunya pembinaan dan pengawasan.
“Hanya jika kita lihat ditetapkannya PP tersebut sebagai pelaksana dari UU Kesehatan no 36 tahun 2009, memang kelihatannya tumpul. Buktinya UU tersebut tidak mampu menurunkan angka perokok anak,” ungkap Netty.
TINGGINYA PREVALENSI PEROKOK ANAK
Ketika prevalensi perokok anak meningkat menjadi 9,1 persen pada 2018 dibandingkan 2013 sebesar 7,1 persen sesuai data Riskedas, maka seperti apa dampaknya terhadap bonus demografi?
“Ternyata perokok pada umur 10-18 tahun yang disebut sebagai bonus demografi jumlahnya mencapai 40.6 juta. Artinya ada 3.9 juta anak yang sudah merokok”, kata Netty.
Netty pun menyebutnya sebagai kabar buruk, khususnya bagi kaum perempuan, yang juga sebagai ibu, dimana anak-anak mereka akan memiliki gaya hidup yang menjadi sinyal bahaya bagi peradaban manusia di masa depan.
Secara global, kecenderungan merokok telah turun dari 27 persen pada tahun 2000 menjadi 20 persen pada tahun 2016. Hanya saja, jumlah pengguna tembakau di seluruh dunia tetap stabil pada 1.1 miliar seiring pertumbuhan populasi, merujuk data WHO.
Kondisi itu sangat mengkhawatirkan, karena sedikitnya 3.3 juta perokok akan meninggal akibat penyakit paru-paru. Termasuk mereka yang terpapar asap rokok orang lain.
“Dari jumlah itu, 60 ribu diantaranya merupakan anak dibawah 5 tahun yang akan meninggal akibat infeksi saluran bawah pernafasan karena merokok pasif,” ujar Netty menambahkan.
Kerugian ekonomi global akibat penggunaan tembakau juga cukup besar, yakni US$1.4 triliun. Menurut Netty, hal itu disebabkan oleh biaya kesehatan, hilangnya produktivitas dan biaya lain yang disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan tembakau.
Ini juga ada kaitannya dengan produksi rokok pada 2020 sebanyak 298.4 miliar batang, dimana produksi rokok tertinggi ada pada jenis rokok Sigaret Kretek mesin (SKM) sebanyak 163.4 miliar. Berikutnya SKIM IIB sebanyak 40.2 miliar batang, lalu Sigaret Kretek Tangan (SKT) III 27.7 miliar batang dan terakhir SKT IIB sebanyak 26.9 miliar batang.
“Hari ini kita melihat potret kesehatan kita. Karena itu, saya di Komisi IX selalu meminta agar upaya kuratif dan rehabilitatif tetap diutamakan, disertai upaya promotif dan preventif,” katanya.
Di sisi lain, produk tembakau ada kaitannya dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang masih menyisakan segudang persoalan, mulai dari fasilitas layanan dasar, dan lain sebagainya. Termasuk juga dengan gizi, penyakit menular, penyakit tidak menular dan juga gangguan psikiatric atau penyakit mental.
“Kalau kemudian dalam bait Indonesia raya ada kata-kata, bangunlah badannya, bangunlah jiwanya untuk Indonesia raya, sepertinya “PR” di bidang kesehatan ini luar biasa banyak,” tutur Netty.
BENCANA BONUS DEMOGRAFI
Bagi Netty, potret kependudukan yang dikaitkan dengan bonus demografi perlu disikapi dengan bijak. Pasalnya, prevalensi perokok anak ternyata meningkat, sementara RPJMN 2020-2024 bertujuan untuk menurunkan perokok anak menjadi 8,7 persen.
“Ini seperti akan sulit tercapai,” kata Netty.
Menurut Netty, jika berbicara struktur demografi, maka kita jangan lupa bahwa ada 40.6 juta anak usia 10-18 tahun yang terpapar tembakau. “Angka itu tidak bisa kita pandang sebelah mata,” katanya.
Pasalnya, merekalah yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan, termasuk yang akan melanjutkan program pembangunan. Juga yang akan mengisi ruang-ruang kepemimpinan, baik formal maupun non formal. “Tentu ini menjadi alarm bagi kita semua,” tegas Netty.
Lebih dari itu, bicara struktur demografi, menurut Netty, adalah bicara soal Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Ketika IPM meningkat beberapa poin, angka itu patut diapresiasi. Hanya saja, kenaikan IPM ternyata menyisakan Indeks Daya Saing yang belum menggembirakan.
Sementara terkait dengan Human Development Index, posisi Indonesia di tahun 2020 pada zona Asean, rupa-rupanya berada jauh di bawah Singapura, Burnei Darussalam, Malaysia dan Thailand.
“Ini artinya, kita masuh harus berbenah,” kata Netty.
Belum lagi jika dikaitkan dengan fenomena masuknya tenaga kerja asing dengan dalih alih teknologi, menurut Netty, hal itu perlu menjadi perhatian.
“Bahwa SDM kita harus terus ditingkatkan dan didorong competitive indexnya agar menjadi tuan di negeri sendiri, bukan dengan melihat orang lain mengangkuti, mengolah, menikmati hasil-hasil alam kita,” katanya.
Netty pun menganjurkan skema kolaborasi. Termasuk jika bicara soal peringkat daya saing negara Asean. Menyedihkan ketika mengetahui, sejak 2018 – 2019, Indonesia terus mengalami penurunan indeks dari 45 ke 50.
“Kita masih jauh di bawah negara Singapura, Malaysia, dan Thailand,” katanya.
KEMISKINAN
Hal lain yang juga menarik, menurut Netty, ketika mengetahui angka kemiskinan dan kesenjangan pada September 2020 menurut Berita Resmi Statistik, ternyata meningkat menjadi 27.55 persen.
Belum lagi, angka pengangguran yang diklaim pemerintah sebesar 8.7 juta, ternyata menurut lembaga ekonomi, angkanya jauh lebih besar mencapai 9.7 juta.
“Ini juga patut kita kaitkan dengan kebiasaan merokok yang dilakukan masyarakat,” kata Netty.
Sejalan dengan itu, jumlah keluarga prasejahtera di Indonesia juga masih tinggi, yakni 16.95 persen atau 10.600.653. Sementara keluarga sejahtera 1 sebesar 50.52 persen, atau 31.602.468 dan sejahtera 2 sebesar 32.51 persen, atau 20.335.484.
“Dari potret ini kita bisa menyaksikan bahwa sebesar 51.5 persen kepala keluarga di Indonesia pendidikannya hanya sampai Sekolah Dasar atau malah kebanyakan tidak sekolah. Yang berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan cuma 7 persen,” ungkap Netty.
Oleh karena itu Netty menyarankan, persoalan akibat produk tembakau sangat kompleks, mulai dari kebiasaan merokok, dampak rokok pada penyakit katastropik, hingga merugikan JKN. Oleh karena itu, wacana revisi peraturan PP 109 tahun 2012 menjadi relevan.
“Ya, karena kedepannya, kita ingin memiliki SDM yang sehat dan terdidik, unggul dan berdaya saing. Dan yang akan berkolaborasi dan berkontribusi pada upaya tersebut adalah implementasi dari UU Kesehatan dan aturan yang mengikutinya,” pungkas Netty.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post