Jakarta, Prohealth.id – Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), dr Tonang Dwi Ardyanto menjelaskan ada beberapa perbedaan dalam penyebaran varian Omicron pada skala Jakarta dan Nasional.
Melalui pesan singkat dalam WhatsApp Group, dr. Tonang menyatakan jika berkaca dari kasus varian Delta tahun lalu, pada awalnya angka kasus harian Nasional berhimpitan dengan angka Jakarta. Setelah berjalan sekitar satu bulan, angka Jakarta mulai melambat, tetapi angka nasional masih bertambah.
Dia menilai, perubahan itu setidaknya terjadi karena dua hal. Pertama, kasus memang sudah meluas ke luar Jakarta. Kedua, karena di jakarta jumlah testingnya relatif mencukupi, bahkan lebih.
“Tapi, tanpa bermaksud “mensyukuri musibah”, saat mulai meluas ke luar Jakarta itu juga ternyata menandakan mulai mendekati puncak gelombang. Setidaknya itu yang tercatat pada laporan resmi pemerintah saat itu,” ungkap dr. Tonang dikutip oleh Prohealth.id, Minggu (30/1/2022).
Pasalnya sekitar tiga pekan sejak jarak kasus harian mulai melebar tersebut, tercapailah puncak gelombang Delta. Saat puncak, kasus harian di Jakarta mencapai sekitar 14 ribu sementara nasional mencapai 57 ribu alias sekitar 4 kali lipat.
Saat itu, jumlah tes PCR rata-rata 120 ribu per hari. Sekitar 40 persen diantaranya di Jakarta. Sebelum puncak gelombang Delta, sekitar 60 persen PCR di Jakarta. Ketika varian Delta mulai meluas, kapasitas tes di daerah meningkat, sehingga proporsi Jakarta ke angka 40 persen.
“Kasus Delta mulai terasa di Jakarta pada awal Juni 2021. Kemudian mencapai puncak pada 12 Juli 2021. Artinya sekitar 40 hari mencapai puncak. Kemudian kembali mencapai kondisi seperti awal Juni dalam waktu total sekitar 80 hari,” terangnya.
Sejak kasus pertama Omicron pada 18 Desember 2021 lalu, angka nasional juga berhimpitan erat dengan angka Jakarta. Sebulan kemudian, per 17 Januari 2022, mulai terlihat selisih kasus melebar.
Hal ini menandakan mulai terjadi perluasan penyebaran kasus konfirmasi positif ke luar Jakarta. Oleh karena itu, dr. Tonang berharap dengan menilik pengalaman gelombang varian Delta, semoga kondisi saat ini juga berarti Indonesia sudah mulai mendekati puncak.
Saat ini, sampai dengan Minggu (30/1/2022), jumlah angka kasus harian di Jakarta dilaporkan sebanyak 6.613 kasus dan angka nasional 12.422 kasus.
“Saya berharap – tentu ada dasarnya – semoga benar ini sudah mendekati puncak Omicron. Semoga pula nanti puncaknya tidak sampai setinggi Delta,” tuturnya.
Dia berasumsi karena kapasitas testing Indonesia saat ini baru sepertiga dari saat varian Delta. Kedua, semoga juga tingkat keterisian Covid-19 di RS jauh lebih rendah.
Lebih lanjut, dr. Tonang juga menilik model skenario di India, diharapkan gelombang Omicron sudah menorehkan tren penurunan pada Maret dan melandai pada April. Hal ini karena Omicron lebih cepat menyebar, maka diperkirakan masa gelombang tersebut lebih pendek daripada Delta. Laporan di Inggris sekitar 35 hari. Estimasi di India sekitar 65 hari.
“Semoga kita juga mengikuti pola tersebut. Selama gelombang Delta, kita juga mengikuti pola di India. Walau secara waktu kita baru mulai sekitar 2 bulan setelah India. Tapi untuk Omicron ini, jaraknya sempit. Kasus pertama di India dilaporkan 3 Desember 2021. Kita melaporkan kasus pertama 2 pekan kemudian,” pungkasnya.
Guna mewujudkan harapan tersebut menjadi rasional, dr. Tonang menilai pentingnya masyarakat harus ikut aturan dengan menahan diri dari keramaian dan kerumunan yang sifatnya tidak esensial. Ekonomi harus berjalan, itu kebutuhan. Tapi kerumunan yang tidak esensial, sebaiknya dihindari.
Selain itu, pemerintah harus mengambil inisiatif, dengan meminimalkan kegiatan yang menghimpun massa. Para pejabat pemerintahan harus memberi keteladanan dengan sangat menghindari membuat kerumunan.
“Sudah banyak pengumpulan orang karena kebutuhan ekonomi. Jangan ditambah lagi dengan yang tidak esensial. Kita bersabar, semoga gelombang Omicron berjalan sesuai harapan. Agar mudik tahun ini, kita tidak lagi terjebak polemik yang melelahkan,” kata dr. Tonang.
TIPS CEGAH PENULARAN OMICRON
Sementara itu, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin meminta masyarakat mengetahui ciri-ciri varian Omicron agar bisa melakukan pencegahan. Hal ini mengingat peningkatan kasus Omicron semakin tinggi dalam beberapa waktu terakhir.
Varian Omicron memicu gejala ringan seperti flu biasa, batuk, dan demam dengan tingkat penularan yang cepat.
“Nanti kita akan melihat dalam waktu yang singkat kenaikan jumlah kasus yang cukup tinggi,” katanya dalam konferensi secara virtual, Kamis (27/1/2022) lalu.
Ciri lain dari varian Omicron adalah tingkat perawatan di rumah sakit lebih rendah, begitupun tingkat keparahannya juga lebih rendah. Sehingga pasien yang masuk ke rumah sakit lebih sedikit daripada pasien yang melaksanakan isolasi mandiri (Isoman).
Mengingat gejalanya yang relatif ringan, strategi pemerintah menghadapi gelombang Omicron ini sedikit berbeda dengan menghadapi gelombang Delta. Gelombang Delta memiliki tingkat keparahan tinggi sehingga pemerintah harus mempersiapkan rumah sakit dengan banyak tempat tidur. Meski demikian hal ini harus diantisipasi seiring dengan kasus yang per 30 Januari 2022 mencapai 12.422 kasus, keterisian tempat tidur (BOR) 140 rumah sakit rujukan Covid-19 di DKI Jakarta saja sudah mencapai 56 persen. Begitu pun dengan BOR untuk ICU sudah naik mencapai 19 persen.
“Sebagian besar kasus Omicron adalah OTG atau asimtomatik atau gejala sakitnya ringan. Jadi hanya gejala pilek, batuk, atau demam yang sebenarnya bisa sembuh tanpa perlu dibawa ke rumah sakit,” ucap Budi.
Pemerintah menyiapkan tempat tidur perawatan di rumah sakit sebanyak 70.641. Kapasitas tempat tidur secara nasional berjumlah 120 ribu hingga 130 ribu.
Total pasien yang sudah terkonfirmasi Omikron sampai tanggal 26 Januari 2022 berjumlah 1.988. Dari jumlah itu yang sudah sembuh atau selesai dirawat berjumlah 765 orang.
Total pasien pernah dirawat sejak awal kasus Omicron pada Desember 2021 sebanyak 854 pasien dengan rincian pasien asimtomatik 461, gejala jaringan 334 pasien, dan gejala sedang dan berat 59 pasien.
“Sebenarnya yang perlu masuk rumah sakit adalah pasien yang 59 itu. Yang perlu dirawat hanya kalau dia perlu di treatment oksigen,” ujar Budi.
Dia berpesan kepada masyarakat untuk tetap waspada dan hati-hati. Yang paling penting selalu pakai masker, hindari kerumunan karena penularan akan semakin tinggi. Kalau bisa kerja di rumah, di rumah saja, tidak usah pergi kemana-mana karena risiko tertularnya sedang tinggi.
“Tapi kalau pun tertular tidak usah panik yang penting disiplin isolasi sendiri dan minum vitamin, jika ada gejala ringan minum obat. Yang perlu ke rumah sakit kalau ada lansia atau komorbidnya banyak, itu ke rumah sakit. Dan cepat-cepatlah divaksin untuk memperkuat daya tahan tubuh dalam menghadapi varian baru,” tegasnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post