Jakarta, Prohealth.id – Menurut Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, dr Tonang Dwi Ardyanto menjelaskan masih banyak orang Indonesia yang awalnya tidak mengakui adanya gelombang ketiga Covid-19.
“Dok, kok pakai deklarasi resmi masuk gelombang 3 itu kenapa sih”, ujar dr. Tonang melalui pesan singkat yang dikutip Senin (28/2/2022).
Menanggapi hal itu, dr. Tonang mengakui tidak mudah merumuskan secara sepakat, apa kriteria dan indikator disebut gelombang dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun secara regulasi, di Indonesia sudah pernah merumuskan hal itu terakhir melalui Keputusan Menteri Kesehatan 413/2020. “Saat terbit Kepmenkes 4641/2021, dinyatakan bahwa Kepmenkes 413/2020 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diubah menurut keputusan yang lebih baru,” ujar dr. Tonang.
Salah satunya dalam Kepmenkes itu menyatakan tentang definisi penurunan kasus sebagai bentuk keberhasilan penangannan pandemi.
Beleid tersebut menyatakan, bahwa disebut penurunan bila terjadi penurunan jumlah kasus minimal 50 persen (setengah) dari puncak tertinggi sebelumnya, dalam waktu 3 pekan berturut-turut dan diikuti penurunan pada pekan-pekan selanjutnya. Implikasinya, disebut gelombang berarti terjadi peningkatan jumlah kasus dua kali lipat dari jumlah terendah sebelumnya, berturut-turut selama minimal tiga pekan.
“Mengapa dua kali lipat? Karena kalau baru 100 persen itu berarti baru kembali ke posisi sebelum penurunan. Belum signifikan,” sambungnya.
Rata-rata dalam tujug hari terakhir, lebih dipilih, karena lebih menggambarkan tren atau kecenderungan, daripada angka harian. Posisi terendah terakhir dalam hal rata-rata tujuh hari terakhir adalah 172 kasus pada tanggal 27 Desember 2021. Setelah itu perlahan meningkat. Mencapai dua kali lipatnya pada tanggal 7 Januari 2022 sebesar 352 kasus. Selanjutnya diikuti peningkatan berturut-turut selama 3 pekan hingga mencapai 8.115 pada tanggal 30 Januari 2022.
“Karena itulah kemudian muncul berita “resmi memasuki gelombang ke 3”. Saya lebih menyebut sebagai gelombang ke 4. Sudah sering dibahas mengapa demikian. Tapi fokus kita kali ini soal “deklarasi” tersebut,” tuturnya.
Oleh sebab itu, sebenarnya menurut dr. Tonang, gelombang sudah mulai terasa setidaknya sejak 7 Januari 2022. Kemudian terus bertahan sampai sekarang. Awalnya laporan kasus nasional seolah paralel dengan laporan kasus Jakarta.
“Artinya, pertambahan kasus dominan di Jakarta saja. Sejak 17 Januari 2022, jaraknya melebar. Berarti mulai terjadi perluasan peningkatan kasus ke luar Jakarta. Jarak itu makin melebar saat ini,” ungkap dr. Tonang seiring pergeseran kasus yang kini terjadi di wilayah DKI Jakarta pindah ke Jawa Barat.
“Jadi, deklarasi itu bukan berarti “baru sekarang mulai naik”, tapi lebih ke memenuhi klausul 3 pekan berturut-turut tadi. Tentu saja, tindakan antisipasi terhadap peningkatan, tetap harus diikuti cermat dari hari ke hari. Klausul 3 pekan tersebut, lebih ke soal mensepakati terjadinya gelombang,” tambahnya.
Oleh karena itu dr. Tonang mengingatkan ada masalah penting dalam pengendalian saat ini yaitu adanya kebiasaan kurang konsisten. Dia menilai, sudah jelas dalam regulasi tersebut, tapi masyarakat dan pejabat publik sering tergesa-gesa.
‘Ketika kasus baru mulai menurun 1-2 hari, sudah langsung kita nyatakan kasus sudah menurun. Kemudian tergesa-gesa juga “melonggarkan”. Ketika kasus naik lagi, kita menjadi gagap dan gugup,” tegasnya.
Dia mengingatkan berkaca dari kejadian varian Omicron dalam satu bulan terakhir, pemerintah dan masyarakat harus konsisten untuk menunggu dulu sampai terbukti memang penurunan itu sudah cukup waktu untuk disimpulkan.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post