Tifany Khalisa Rinaldy
Program Officer for Tobacco Control Advocacy,
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)
Memasuki tahun ketiga pandemi COVID-19 dan ditambah dengan munculnya varian baru Omicron, kini banyak sekolah yang kembali mengadakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas atau belajar dari rumah (BDR), walaupun di awal tahun sempat dilaksanakan PTM 100 persen (Adit, 2022). Keadaan ini menyebabkan anak-anak dan remaja akan kembali menghabiskan lebih banyak waktu mereka di rumah dan menggunakan internet untuk belajar dan hiburan, yang berarti paparan mereka terhadap berbagai iklan di internet akan terus meningkat, termasuk iklan rokok.
Pada bulan November tahun lalu, Deputi Menteri Koordinator Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan, drg. Agus Suprapto, M.Kes, mengutip hasil penelitian London School of Public Relation (LSPR) tahun 2020 yang menyebut bahwa setelah melihat iklan rokok di media online, 100 persen remaja yang merokok akan tetap merokok, dan 10 persen remaja memiliki kecenderungan untuk mulai merokok (Sucahyo, 2011). Fakta ini disampaikan Agus Suprapto untuk menyadarkan masyarakat akan dampak aktivitas daring terhadap kemungkinan anak menjadi perokok, karena data yang dimiliki Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) juga memperlihatkan bahwa konsumsi rokok pada masa pandemi sangat besar, dan tren tersebut terus meningkat sejak diberlakukannya kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat (ibid).
Keadaan memprihatinkan ini mengingatkan kita akan belum adanya peraturan nasional di Indonesia yang melarang secara sepenuhnya iklan rokok. Hal ini telah memberikan kesempatan pada perusahaan-perusahaan rokok untuk memproduksi dan menyebarkan berbagai macam bentuk iklan produk rokok mereka di berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Setiap tahunnya, perusahaan-perusahaan rokok menghabiskan begitu banyak uang untuk membuat dan menyebarkan iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya untuk menarik konsumen-konsumen baru. Pada tahun 2019, Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat mencatat bahwa perusahaan-perusahaan rokok terbesar di negara tersebut menghabiskan sebanyak $8.2 miliar untuk melakukan iklan dan promosi produk rokok (CDCTobaccoFree, 2021).
Di Indonesia, pada tahun 2003, iklan dan promosi rokok diperkirakan bernilai $520 juta, yang kemudian meningkat drastis 10 tahun kemudian menjadi $912 juta (Astuti, 2017). Pada tahun 2017, PT Sigi Kaca Pariwara, media yang memonitor periklanan di televisi, menyatakan bahwa produk atau merek dengan belanja iklan di televisi tertinggi di Indonesia adalah Djarum, yang menghabiskan Rp1,91 triliun dalam satu tahun untuk menayangkan iklan di televisi (Gideon, 2017).
Berbagai iklan dan promosi produk rokok tersebut seringkali disajikan dengan mengaitkan rokok dengan kesuksesan, kesenangan dan kemewahan, sehingga menarik perhatian konsumen dan menjerumuskan mereka ke dalam ketagihan seumur hidup (WHO, 2008). Kenyataan ini tentunya sangat memprihatinkan karena tembakau pada dasarnya merupakan salah satu barang atau produk yang dikenakan pungutan negara (cukai) karena konsumsinya harus dikendalikan, mengingat begitu banyaknya dampak negatif yang dimiliki tembakau terhadap kesehatan manusia. Semakin kreatifnya iklan dan promosi rokok memberikan kesan kepada konsumen bahwa rokok merupakan sesuatu yang biasa atau normal untuk dikonsumsi, yang mana hal ini merupakan distorsi dari kenyataan bahwa rokok sebenarnya berbahaya terhadap kesehatan dan dapat menyebabkan penyakit kanker dan kematian. Inilah mengapa Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diinisiasi WHO mencantumkan larangan terhadap iklan, promosi dan sponsor tembakau (tobacco advertising, promotion and sponsorship/TAPS) sebagai salah satu paket kebijakan utama yang direkomendasikan kepada negara-negara yang meratifikasinya (WHO, 2008).
Lantas bagaimana dampak nyata iklan-iklan produk rokok ini terhadap anak-anak dan remaja?
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa berbagai iklan dan promosi rokok telah mempengaruhi konsumen untuk mulai merokok, terutama kaum muda dan anak-anak. Iklan-iklan yang dibuat sebegitu menarik dan kreatif tersebut membuat anak-anak dan kaum remaja memandang rokok dan aktivitas merokok sebagai sesuatu yang menarik, sehingga meningkatkan keinginan mereka untuk mulai merokok (CDCTobaccoFree, 2021). Industri-industri rokok memang sengaja membuat iklan dan promosi mereka sangat menarik bagi kaum muda, karena kaum muda merupakan ‘kelompok perokok pengganti (replacement smokers)’, yang artinya adalah mereka merupakan calon-calon menjanjikan untuk menjadi konsumen baru di saat banyak orang dewasa yang memutuskan untuk berhenti merokok karena sudah teredukasi, jatuh sakit akibat dampak negatif rokok terhadap kesehatan, atau bahkan kehilangan nyawanya karena direnggut oleh bahayanya racun nikotin (Astuti, 2017). Selain itu, penjualan rokok ‘berperisa’ juga merupakan salah satu strategi perusahaan-perusahaan rokok untuk menarik kaum muda. Rokok ‘berperisa’ ini tersedia dalam berbagai macam rasa, dikemas dengan warna-warna yang menarik, dan diletakkan pada lokasi-lokasi kids-friendly di toko-toko atau supermarket kecil (Brown et al., 2014; Oregon Public Health Division, 2014).
Iklan dan promosi produk-produk tembakau dapat dilakukan secara tradisional, seperti penempatan iklan pada radio atau majalah, dan secara modern atau online, yaitu dengan memanfaatkan internet, telepon genggam, dan media lainnya. Penempatan iklan pada media-media tradisional maupun online tersebut dapat dikatakan sebagai iklan secara langsung, sementara iklan atau promosi secara tidak langsung banyak dilakukan dengan strategi brand stretching (perluasan merek), misalnya dengan cara mendistribusikan produk-produk non-rokok di bawah nama merek perusahaan rokok yang bersangkutan (Campaign for Tobacco-Free Kids, 2018). Oleh karena itu, diperlukan adanya peraturan resmi pemerintah di tingkat nasional yang memberlakukan larangan komprehensif untuk seluruh jenis iklan, promosi atau sponsor yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan rokok. Pihak-pihak yang harus bertanggung jawab bukan hanya industri tembakau, tetapi juga agen-agen periklanan, penerbit, penyiar, penyedia layanan internet, penyedia layanan telepon genggam, dan juga organisasi atau lembaga yang menerima sponsor dari perusahaan-perusahaan tembakau, karena mereka semua memiliki andil di dalam penayangan atau penempatan iklan-iklan rokok tersebut (Campaign for Tobacco-Free Kids, 2018).
Terlebih lagi, dari seluruh negara di Asia Tenggara, Indonesia merupakan satu-satunya yang belum meratifikasi FCTC. Hal ini berdampak terhadap banyak hal dalam pengendalian tembakau di Indonesia, termasuk belum adanya peraturan di tingkat nasional yang melarang secara menyeluruh segala bentuk iklan, promosi dan sponsor produk-produk rokok. Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan di dalam Pasal 26 hanya mengatur berbagai batasan atau persyaratan dalam menampilkan iklan atau promosi tembakau, tetapi tidak melarang sepenuhnya. Industri rokok juga menempatkan diri mereka sebagai bagian integral dari masyarakat melalui pelaksanaan corporate social responsibility (CSR) dan berperan sebagai sponsor, yang banyak ditargetkan kepada kaum muda. Contohnya adalah Sampoerna, yang mengembangkan program edukasinya sendiri yang dinamakan Sampoerna School System untuk memberikan beasiswa, berbagai dukungan untuk sekolah-sekolah, dan program-program pelatihan untuk para guru dan kepala sekolah (Tjandra, 2018).
Maka dari itu, sudah saatnya Indonesia mengambil langkah yang jauh lebih tegas dalam melarang TAPS. Sudah cukup lama Indonesia diberi julukan sebagai ‘tobacco industry’s Disneyland’ karena Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi FCTC dan belum mengeluarkan peraturan tegas untuk melarang segala bentuk iklan dan promosi produk rokok (Webster, 2013). Langkah-langkah secara parsial tidak akan efektif untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak dan remaja, dari maraknya jenis-jenis iklan dan promosi rokok yang dapat ditemui dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Referensi
Adit, A. (2022, February 16). Kembali Sekolah Daring? Ini Pedoman BDR bagi Siswa dan Orangtua Halaman all—Kompas.com. KOMPAS. https://www.kompas.com/edu/read/2022/02/16/081004271/kembali-sekolah-daring-ini-pedoman-bdr-bagi-siswa-dan-orangtua?page=all
Astuti, S. (2017). Educating Youth Against Tobacco Advertising: A Media Literacy Approach for Reducing Indonesia’s Replacement Smokers. MediaTor (Jurnal Komunikasi), 10, 65. https://doi.org/10.29313/mediator.v10i1.2677
Brown, J. E., Luo, W., Isabelle, L. M., & Pankow, J. F. (2014). Candy flavorings in tobacco. The New England Journal of Medicine, 370(23), 2250–2252. https://doi.org/10.1056/NEJMc1403015
Campaign for Tobacco-Free Kids. (2018). Bans on Tobacco Advertising and Promotion: The Essential Facts. Campaign for Tobacco-Free Kids.
CDCTobaccoFree. (2021, May 14). Tobacco Industry Marketing. Centers for Disease Control and Prevention. https://www.cdc.gov/tobacco/data_statistics/fact_sheets/tobacco_industry/marketing/index.htm
Gideon, A. (2017, January 13). Produk Rokok Ini Rogoh Kocek Rp 1,91 Triliun Buat Iklan di TV – Bisnis Liputan6.com. Liputan 6. https://www.liputan6.com/bisnis/read/2825553/produk-rokok-ini-rogoh-kocek-rp-191-triliun-buat-iklan-di-tv
Oregon Public Health Division. (2014). Oregon Health Authority: Tobacco in Oregon: Cheap, sweet, plentiful and sold at kids’ eye level: External Relations Division: State of Oregon. https://www.oregon.gov/oha/ERD/Pages/Report-Tobacco-Oregon-Cheap-Sweet-Appeal-Youth.aspx
Sucahyo, N. (2011, November 28). Aktivitas Daring Naikkan Paparan Iklan Rokok ke Anak dan Remaja. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/aktivitas-daring-naikkan-paparan-iklan-rokok-ke-anak-dan-remaja-/6330736.html
Tjandra, N. (2018, June 1). “Disneyland for Big Tobacco”: How Indonesia’s lax smoking laws are helping next generation to get hooked. The Conversation. http://theconversation.com/disneyland-for-big-tobacco-how-indonesias-lax-smoking-laws-are-helping-next-generation-to-get-hooked-97489
Webster, P. C. (2013). Indonesia: The tobacco industry’s “Disneyland.” CMAJ : Canadian Medical Association Journal, 185(2), E97–E98. https://doi.org/10.1503/cmaj.109-4342
WHO. (2008). Enforcing tobacco advertising, promotion & sponsorship bans. https://www.who.int/activities/improving-treatment-for-snakebite-patients
Discussion about this post