Jakarta, Prohealth.id – Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) bersama Center for Indonesia’s Strategic Development Indonesia (CISDI) meluncurkan dokumen kajian bertajuk Foresight untuk Menata Masa Depan Layanan Kesehatan Primer Indonesia untuk memberikan rekomendasi dan menata ulang upaya penguatan layanan kesehatan primer Indonesia di masa depan kepada pemangku kebijakan.
“Aktivitas ini dilakukan sebagai bukti kolaborasi multi aktor di sektor kesehatan untuk menentukan terobosan kebijakan berdasarkan bukti,” ujar Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua AIPI dalam peluncuran kajian ini, 14 Maret 2022 lalu.
Berdasarkan kajian itu, kedua lembaga mengantarkan aspirasi untuk menguatkan pelayanan kesehatan primer–atau biasa juga disebut primary health care (PHC)–melalui sebuah perubahan struktural dan transformatif, bukan hanya untuk menyelesaikan pandemi, namun juga memastikan Indonesia memiliki sistem kesehatan nasional lebih kuat setelah wabah berlalu.
Layanan kesehatan primer merupakan sistem yang memenuhi kebutuhan kesehatan individu dan keluarga di tingkat komunitas dan masyarakat dari hulu ke hilir. Pendekatan ini menjadi kontak pertama masyarakat dengan sistem layanan kesehatan dan harus terjangkau baik dari segi akses, biaya, lokasi, ataupun jarak tempuh.
Lebih luas dari sekadar layanan primary care, PHC, yang termasuk puskesmas, juga mencakup aspek fungsi kesehatan masyarakat, pelibatan komunitas, serta kolaborasi dan aksi multipihak. Menurut laporan WHO pada 2019, investasi PHC pada negara berpendapatan rendah dan menengah dapat menjangkau lebih dari 90 persen populasi dunia dan meningkatkan angka harapan hidup sebesar 3,7 tahun pada 2030.
Thailand, yang memasukan penguatan PHC ke dalam konstitusinya, berhasil menurunkan 44 persen kematian anak pada masyarakat pendapatan terendah.
Pengalaman pandemi Covid-19, menurut Prof. Satryo, menunjukkan masih banyak kesenjangan kebijakan pelayanan kesehatan primer yang berujung pada masalah kesehatan populasi. Salah satu masalah kunci adalah kecenderungan beberapa pemangku kepentingan mengacuhkan data dan ilmu pengetahuan dalam membuat kebijakan.
“Di awal pandemi, muncul perdebatan lockdown apa tidak. Lalu ada perdebatan tentang karantina, sampai ke vaksinasi,” katanya.
Itu semua terjadi karena pemerintah tidak memiliki standar atau acuan yang baik dalam mengambil keputusan, baik itu untuk perorangan, kelompok masyarakat, ataupun formula dalam menentukan kebijakan.
“Semuanya terkadang bersifat responsif dan asumsi, di mana ketika kita asyik berdebat, nyawa manusia terus melayang. Padahal Indonesia memiliki lebih dari 10.000 puskesmas dengan lebih dari 67.000 dokter serta perawat yang bisa diandalkan,” ujar Prof. Satryo.
Agar kesalahan yang lalu tidak terulang, negara harus belajar lebih peka terhadap data dan ilmu pengetahuan. “Untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran, realistis, dan dapat dilaksanakan, pembuat kebijakan membutuhkan fakta sebagai elemen utama,” katanya.
Proses pembuatan kebijakan berbasis fakta ini secara konsisten dipakai di banyak negara. “Dan hendaknya digunakan secara sistematis dan menyeluruh oleh para pemangku kepentingan Indonesia untuk mempercepat capaian target pembangunan kesehatan nasional,” ujar Prof. Satryo melanjutkan.
Senada dengan Prof. Satryo, Prof. Akmal Taher, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Anggota Komisi Ilmu Kedokteran AIPI, menyebut pandemi menjadi momentum terbaik memperbaiki layanan kesehatan primer.
“Evidence banyak negara seperti Thailand dan Brazil menunjukkan layanan kesehatan primer yang baik sebelum pandemi membawa dampak positif pada ketahanan sistem kesehatan,” katanya.
Namun hal ini belum tercermin dalam pengeluaran pemerintah Indonesia untuk sektor kesehatan yang baru 3 persen dari GDP dengan hanya 0,05 persen GDP untuk layanan kesehatan primer. “Padahal untuk sektor kesehatan, Thailand dan Brazil sudah mencapai pengeluaran hingga 7 persen dari GDP.” terang Prof. Akmal.
Sejauh ini sudah ada beberapa inisiatif menguatkan layanan kesehatan primer melalui Pencerah Nusantara atau Nusantara Sehat atau Program PUSPA di Jawa Barat. Pemerintah juga melaksanakan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) dan GERMAS.
“Saya yakin ada banyak inovasi kesehatan lain di tingkat pemerintah daerah. Tapi, sepertinya pemerintah sendiri tidak melakukan upaya khusus untuk mengabarkan sekaligus melibatkan publik dalam hal itu,” paparnya.
Pemerintah sebenarnya telah menyampaikan komitmen menguatkan layanan kesehatan primer, tetapi belum banyak langkah konkrit yang dilakukan. “Arah kebijakan untuk menguatkan PHC sebenarnya sudah dicantumkan di RPJMN 2020-2024. Akan tetapi, selama ini sistem kesehatan nasional kita hanya bergantung pada Peraturan Presiden,” jelas Prof. Akmal.
Sudah saatnya, legislatif dan eksekutif menyusun Undang-undang Sistem Kesehatan Nasional yang memprioritaskan PHC. Peraturan lebih tinggi dibutuhkan karena menguatkan PHC memerlukan waktu yang panjang dengan komitmen anggaran berkelanjutan,” ujarnya.
Untuk membuat sebuah rekomendasi penguatan PHC yang berbasis fakta dan tepat sasaran, AIPI dan CISDI memutuskan menggunakan metode Foresight. Diah S. Saminarsih, Penasihat Senior Bidang Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO dan Pendiri CISDI, menjelaskan keunggulannya.
“Metode foresight bersifat strategis, inklusif, dan objektif. AIPI dan CISDI menampung masukan puluhan narasumber ahli di bidang kesehatan maupun non-kesehatan melalui diskusi dengan metode Delphi, dan mensintesakan beragam kondisi aktual layanan kesehatan primer di Indonesia,” ujarnya.
Diah menambahkan, “Kami juga meneliti dimensi sosial, teknologi, ekonomi, lingkungan, politik, dan nilai yang melingkupi layanan kesehatan primer.”
Untuk memperkaya masukan narasumber ahli, CISDI melakukan pemindaian cakrawala dan berhasil mengumpulkan 740 artikel media online, 1,5 juta cuitan tentang puskesmas dan 6,8 juta cuitan tentang rumah sakit di Twitter.
“Semua input kemudian diolah dan disintesiskan menjadi empat opsi skenario yang semuanya punya kemungkinan sama untuk terjadi,” kata Diah menambahkan.
Dari kajian mendalam ini diketahui beragam tantangan untuk menguatkan posisi layanan kesehatan primer dalam sistem kesehatan Indonesia, serta solusinya. “Jika upaya tersebut terlaksana dengan cermat dan memadai, ini akan menjadi salah satu kontribusi dan masukan paling strategis dari AIPI dan CISDI, baik kepada pemerintah saat ini ataupun pemerintah yang akan datang,” terangnya.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, AIPI dan CISDI menyimpulkan ada tiga pergeseran yang perlu terjadi untuk mewujudkan layanan kesehatan yang mudah diakses dan berkualitas, yaitu:
- Pergeseran dari sudut pandang pemenuhan akses menjadi pemenuhan akses dan kualitas. “PHC transformatif idealnya memberikan layanan kesehatan tanpa batasan akses, berkualitas, dengan dilengkapi teknologi kesehatan terkini namun tetap ekonomis,” katanya
- Pergeseran dari fragmentasi menjadi integrasi. PHC masa depan harus mampu mengintegrasikan antara layanan promotif-preventif dengan layanan kuratif, dan tidak membedakan antara layanan di fasilitas pemerintah dengan swasta.
- Pergeseran dari perspektif jangka pendek dan reaktif menjadi perspektif jangka panjang dan berkelanjutan. PHC sebaiknya tak lagi dianggap sebagai beban anggaran, tapi menjadi investasi jangka panjang. “Pergeseran paradigma ini akan memastikan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengobati angka kesakitan masyarakat menjadi jauh lebih rendah,” terang Diah.
Agar ketiga pergeseran di atas bisa direalisasikan, setidaknya ada lima reformasi mendasar yang harus terjadi. Pertama, reformasi kepemimpinan dan tata kelola. “Mengingat reformasi sistem kesehatan nasional dan transformasi PHC butuh waktu yang panjang dan komitmen anggaran, regulasi untuk sistem kesehatan nasional harus lebih tinggi dan bersifat mengikat seperti Undang-Undang,” katanya.
Kedua, reformasi kebijakan publik dinutuhkan reformasi kebijakan, tidak hanya yang berkaitan langsung dengan kesehatan namun juga pada kebijakan sosial, ekonomi, komersial, dan lingkungan yang mempunyai keterkaitan tidak langsung dengan sektor kesehatan.
Ketiga, reformasi kualitas layanan. Reformasi ini dibutuhkan agar publik bisa mendapat layanan berkualitas dari fasilitas kesehatan tingkat primer. “Tingkat kualitas layanan ini bisa dijamin melalui perbaikan sistem akreditasi,” ungkapnya.
Keempat, reformasi jaminan kesehatan. Reformasi dalam aspek keempat ini antara lain mencakup redistribusi kepesertaan agar peserta JKN tidak terpusat di puskesmas saja.
Terakhir, reformasi SDM Kesehatan. Negara yang mempunyai sistem PHC yang kuat tak hanya mengandalkan tenaga kesehatan tetapi juga memiliki banyak kader kesehatan yang berdaya dengan kapasitas tinggi.
“Standar dokter primary care yang bekerja di dalam sistem PHC juga harus setara dokter spesialis,” tutupnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post