Jakarta, Prohealth.id – Pada tanggal 24 Maret 2022, masyarakat dunia memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia yang tahun ini mengambil tema “Invest to End TB. Save Lives.”
Menurut Dr. dr Nina Kemala Sari, Sp.PD-KGer selaku Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan dan Penunjang RSUP Persahabatan, Jakarta, tantangan pengendalian tuberkulosis makin berat seiring dengan hantaman pandemi Covid-19 di Indonesia dan seluruh dunia. Meski demikian, dia menyebut ada hikmah besar yang bisa diambil dari pandemi yaitu pelajaran menggunakan masker dan solidaritas sosial mengendalikan Covid-19.
“Pelajaran serupa seharusnya bisa kita pakai untuk mengendalikan tuberkulosis di masyarakat,” tutur Nina dalam webinar Hari Tuberkulosis Sedunia, Kamis (24/3/2022).
Dia menyebut ada banyak hal yang harus diperbaiki dalam pengendalian tuberkulosis, salah satunya adalah perbaikan layanan kesehatan untuk tuberkulosis. Pelayanan ini harus secara masif diperbaiki pada level fasilitas kesehatan dasar guna merespon angka kematian TB yang tinggi.
“Angka kematian TB ini tinggi, sementara pembiayaan kesehatannya tidak semahal kanker atau jantung. TB ini menimbulkan disabilitas jika komplikasi terjadi,” tuturnya lagi.
Ketua Pokja Bidang Infeksi Paru PP Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Erlina Burhan, MSc Sp.P(K) mengatakan, pada tahun 2020 Indonesia masih duduk di peringkat ketiga setelah India dan China sebagai negara dengan insiden TB yang tinggi di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat Indonesia masih menyumbang 8,4 persen dari insiden TB global.
“Buruknya, dari 8,4 persen ini seharusnya ada yang diobati. Transmisi selama pandemi terjadi dan kita gagal menyetop transmisi TB ini,” ungkap dr. Erlina.
Dia menilai secara perbandingan dari sisi dampak, kisaran insiden kasus TB sebenarnya lebih besar ketimbang Covid-19. Namun, selama ini pemerintah dan segenap elemen masyarakat belum serius menanggulangi tuberkulosis. Hal ini terbukti dengan semakin banyak pasien TB yang tidak datang ke rumah sakit. Selama pandemi, kondisi ini memperburuk pasien TB yang hanya di rumah saja dan kondisi penyakit makin berat.
“Penurunan notifikasi kejadian TB ini akibat penyebaran Covid-19 juga. Padahal setiap 1 jam, diperkirakan ada 11 pasien TB meninggal dunia,” terangnya.
Adapun notifikasi kasus TB pada 2020 terdata sebesar 5,8 juta kasus. Padahal, pada 2019, notifikasi TB cukup tinggi yaitu 7,1 juta kasus. Penurunan notifikasi ini mencapai 18 persen. Menurut dr. Erlina ada beberapa faktor penurunan notifikasi ini yaitu; sistem layanan kesehatan yang terbebani, masyarakat enggan mengunjungi faskes, masyarakat dan pasien cemas tertular Covid-19, dan adanya stigma yang menyelimuti pasien Covid-19 juga pasien TB.
Sementara itu, kematian akibat TB pada 2020 meningkat 100 ribu jiwa dari 1,2 juta jiwa pada 2019 lalu. WHO menilai kenaikan kasus kematian di Indonesia sangat diakibatkan oleh Covid-19. Padahal secara global, sebelum 2020 tren kematian akibat TB sudah mengalami penurunan. Begitu memasuki tahun 2020, tren kematian tingkat global akibat TB meningkat 5,6 persen (year-on-year) dari tahun 2019.
Dapat disimpulkan, pandemi Covid-19 ini sangat berdampak terhadap indikator eliminasi TB yakni; notifikasi berkurang, kematian meningkat, dan penurunan insiden melambat.
Oleh karena itu, dr. Erlina mengingatkan jika tidak ada intervensi serius dari pemerintah maka Indonesia akan semakin jauh dari target EndTB pada 2030. Hal ini mengingat kapasitas sistem kesehatan sangat terbatas. Apalagi, kenaikan angka kematian juga menambah beban berat penurunan kasus TB.
Dia menyebut masyarakat tidak boleh malu dan ragu konsultasi ke dokter ketika mengalami batuk lebih dari dua minggu, mengalami sesak napas, batuk berdarah, dan gejala sistemik seperti demam lama, lemas, penurunan berat badan, keringat malam, dan penurunan nafsu makan.
“Jangan ragu lagi, dan stigma ini harus diselesaikan. Orang saja sekarang tidak malu mengaku sudah S2 dan S3 Covid-19 artinya sudah lebih dari sekali kena Covid-19. Sementara pasien TB masih belum begitu, ini yang perlu diatasi,” tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, Ully Ulwiyah selaku Ketua Pengurus Pejuang Tangguh (PETA) yakni komunitas para penyintas TB mengakui pentingnya stop diskriminasi dan stigma terhadap pasien TB. Ully menyebut banyak kasus TB mengalami hambatan dalam proses pengobatan akibat tekanan psikis dan sosial terhadap pasien TB.
Ully pun mengaku yang sempat drop akibat TB dengan penurunan berat badan sampai 37 kilogram ikut merasakan penderitaan para pasien. Kini, Ully pun sudah sembuh dan secara bertahap berat badannya kembali normal sekitar 57 kilogram.
“Solidaritas sesama pasien dan penyintas ini berdampak sekali untuk saling menguatkan, melawan stigma, dan terutama sharing pengalaman sebab pengobatan TB memang sulit dan efek sampingnya besar,” ujar Ully.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post