Jakarta, Prohealth.id – Indonesia menempati posisi kedua setelah India dengan kasus sebanyak 845.000 dengan kematian sebanyak 98.000 atau setara dengan 11 kematian per jam.
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang paling mematikan yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Di dunia, terdapat lebih dari 4100 orang meninggal dunia dan hampir 30.000 orang tertular penyakit ini pada setiap harinya. TB juga merupakan penyebab utama kematian orang dengan HIV dan kontributor utama resistensi antimikroba. Hanya satu per tiga pasien tuberkulosis Multi Drugs Resistance atau TB MDR atau juga disebut TB Resisten Obat (TB RO) yang dapat mengakses pengobatan.
Dokter Spesialis Paru di RSUI Dr. dr. RR. Diah Handayani, Sp.P(K), mengatakan TB dapat diobati dan dicegah. Dalam webinar bertajuk “Waspada Tuberkulosis Resisten Obat di Masa Pandemi” dia menjelaskan kenaikan kasus TB perlu diwaspadai di masa pandemi Covid-19 saat ini.
Selama pandemi Covid-19, dr. Diah mengaku terjadi penurunan jumlah kasus terdeteksi yang berbanding terbalik dengan data kasus kematian akibat TB. Kasus pandemi Covid-19 menghambat proses tracing dan pemeriksaan TB. Tes Cepat Molekuler (TCM) yang biasanya digunakan untuk pemeriksaan TB, digunakan untuk pemeriksaan Covid-19. Kasus TB yang tidak diobati dapat meningkatkan ancaman kematian dan kejadian TB Resisten Obat (TB-RO).
Selain itu, dokter Diah juga menjelaskan terkait TB Resisten Obat (TB-RO) bahwa dalam sebuah penelitian yang beliau lakukan terhadap 6 pasien TB-RO, hanya 1 pasien yang tidak ada anggota keluarga di rumah yang terinfeksi, hal ini mungkin disebabkan adanya pemisahan ruangan pasien di rumah tersebut. Sementara 5 pasien lainnya, ada lebih dari 50 persen anggota keluarganya yang terinfeksi TB, karena tidak ada pemisahan ruangan dengan pasien-pasien tersebut, dan bisa menderita penyakit TB-RO jika imunitasnya saat itu sedang turun. Sehingga, risiko penularan TB pada kontak erat meningkat.
Berdasarkan data di tahun 2020, faktor risiko TB di Indonesia didominasi oleh kejadian malnutrisi dan kemudian menyusul perilaku merokok. Angka kematian TB di Indonesia yaitu mencapai 200 orang per hari.
Oleh karena itu, dr. Diah membagikan beberapa tips pencegahan dan pengendalian infeksi TB dan Covid-19 yakni; menerapkan kebersihan tangan, menerapkan etika batuk, memakai masker, menjaga jarak dengan orang yang sehat, serta membatasi aktivitas di luar ruangan.
Untuk pasien baru yang mempunyai gejala infeksi saluran napas, dokter Diah mengatakan perlu dilakukan evaluasi ke arah TB maupun Covid-19. Pasien TB yang terdiagnosis Covid-19 dirawat di ruang isolasi Covid-19 tetap mengonsumsi obat TB bersama dengan obat untuk Covid-19. Pasien juga tetap melakukan pengobatan dan kontrol melalui telemedicine.
Terutama juga jika pasien dengan komorbid, harus dikendalikan dengan baik. Terakhir, investigasi kontak serumah untuk PCR SARS CoV-2 dan gejala TB dengan TCM juga tak kalah penting agar penyebaran infeksi dapat diminimalisir.
Dia menambahkan, RSUI terus berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik sehingga dapat mempermudah masyarakat mengakses layanan kesehatan yang lengkap dan terpadu.
Bagi masyarakat yang ingin menggunakan BPJS Kesehatan, RSUI juga melayani pasien rujukan dengan jaminan BPJS Kesehatan. Dalam hal ini, penerimaan pasien sesuai dengan sistem rujukan berjenjang berdasarkan ketentuan dari BPJS Kesehatan.
Sementara itu menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes RI, Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes mengatakan dari estimasi 824 ribu pasien TBC di Indonesia Baru 49 persen yang ditemukan dan diobati sehingga terdapat sebanyak 500 ribuan orang yang belum diobati dan berisiko menjadi sumber penularan.
“Untuk itu upaya penemuan kasus sedini mungkin, pengobatan secara tuntas sampai sembuh merupakan salah satu upaya yang terpenting dalam memutuskan penularan TBC di masyarakat,” katanya.
Didik melanjutkan pihaknya akan menskrining TBC terhadap 500 ribu kasus yang belum ditemukan. Skrining dilakukan dengan peralatan X-Ray Artificial Intelligence untuk memberikan hasil diagnosis TBC yang lebih cepat dan lebih efisien.
“Kami merencanakan skrining besar-besaran yang transformasional dengan memanfaatkan peralatan X-Ray Artificial Intelligence untuk memberikan hasil diagnosis TBC yang lebih cepat dan lebih efisien, termasuk bi-directional testing bagi penderita diabetes agar mereka mendapatkan pengobatan TBC sedini mungkin,” ucapnya.
Saat ini tengah diupayakan melakukan pengadaan alat-alat yang dibutuhkan. Direncanakan skrining besar-besaran itu akan dilakukan tahun ini.
“Pelaksanaannya diutamakan tahun ini karena proses masih tetap berjalan. Dengan ditemukannya 500 ribu kasus ini nantinya akan mempercepat kita eliminasi TBC di tahun 2030,” kata Didik.
Sebanyak 91 persen kasus TBC di Indonesia adalah TBC paru yang berpotensi menularkan kepada orang yang sehat di sekitarnya. Saat ini, penemuan kasus dan pengobatan TBC yang tinggi telah dilakukan di beberapa daerah di antaranya Banten, Gorontalo, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat.
Sementara daerah dengan kasus TBC paling banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
“Sebenarnya TBC itu biasanya ada di daerah yang padat, daerah kumuh, dan daerah yang PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) nya kurang, di situ potensi penularan TBC nya tinggi,” ucap Didik.
Perlu diketahui, gejala-gejala awal muncul TBC pada seseorang dapat berupa batuk karena menyerang saluran pernapasan dan juga organ pernapasan, batuk berdahak terus-menerus selama 2 sampai 3 minggu atau lebih, kemudian sesak napas, nyeri pada dada, badan lemas dan rasa kurang enak badan, nafsu makan menurun, berat badan menurun, dan biasanya yang muncul adalah berkeringat pada waktu malam hari meskipun tidak melakukan kegiatan apapun.
Penulis: Irsyan Hasyim
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post