Pada dasarnya healing tidaklah sama dengan liburan. Berdasarkan temuan Prohealth.id, Psikolog Alva Paramitha pernah mencuit dalam akun Instagram, “Healing bukan seremeh temeh cap passport atau pergi liburan bahkan dengan duduk di First Class sekalipun,” cuit Alva pada 17 Februari 2022 lalu. Dengan tegas, Alva mengatakan bahwa liburan ada kondisi yang membuat seseorang merasa lebih segar, atau lebih baik. Namun, liburan belum menjamin kesembuhan batin dan mental seseorang.
Secara terpisah, Yayasan Swara Indonesia Cemerlang (SIC) menggelar sebuah webinar nasional membahas fenomena healing. Founder Beyond Yourself Indonesia Claudia Rosari Dewi menerangkan healing adalah proses yang dilalui seseorang seumur hidup. “Healing tidak sama dengan refreshing, atau liburan,” sambungnya, Senin, 18 April 2022 lalu.
Claudia menganalogikan, refreshing atau liburan ibarat seseorang mengisi ulang baterainya. Namun healing adalah proses identifikasi atas kondisi kerusakan khusus dalam suatu organ atau tubuh.
“Makanya, jangan sampai healing jadi salah kaprah, seseorang menganggap healing dengan sering liburan. Itu malah berpotensi melarikan diri,” terangnya lagi.
Dosen Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta, Yohana Ratrin Yestianti menjelaskan healing sendiri ada yang bisa melalui proses pribadi seperti self-healing. Ada pula istilah self-care sebagai upaya untuk mengasah kesadaran dengan peduli pada kondisi diri sendiri. Misalnya, sadar bahwa ada bagian dalam diri yang perlu dirawat agar lebih optimal dalam berkarya.
“Self-healing artinya ada kesadaran bahwa ini ada luka yang harus disembuhkan, supaya tidak semakin buruk mengganggu kesehatan mental,” sambungnya.
Yohana menyebut situasi pandemi Covid-19 sangat memicu kondisi depresi. Adanya kondisi perubahan, pembatasan sosial, masalah ekonomi dan pekerjaan, sampai dilema dalam diri sendiri ikut menambah beban dan kerentanan mental.
Ada banyak kalimat yang sangat memicu masalah mental seseorang. Misalnya; kondisi yang saat ini menyebalkan, terjebak dalam orientasi di masa lalu. Implikasinya adalah marah, sedih, dendam, dan lainnya.
Contoh lain pemicu depresi; terlalu banyak memikirkan masa depan. Efeknya adalah; kecemasan, kepanikan, dan ketakutan.
Untuk menepis kondisi-kondisi tersebut, sangat penting bagi seseorang untuk mengubah paradigma berpikir bahwa kondisi yang menantang dan terbatas ini adalah kesempatan untuk belajar. “Sehingga lahir semangat, optimisme, dan siap belajar, menjadi lentur,” tutur Yohana.
Adiska Aisa dari komunitas layanan kesehatan mental Into the Light menambahkan, kebiasaan meratapi nasib juga menjadi salah satu kendala seseorang untuk move on dan berhasil healing. Stagnansi pada satu masalah membuat seseorang juga gagal membuka diri dan mencari solusi.
“Padahal bantuan selalu ada, kita bisa membuka diri dan mencari bantuan. Kalau ada yang curhat begitu kami di Into the Light berusaha mendampingi,” sambung Aisa.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post