Ini kisah nyata yang diceritakan dalam sebuah artikel di Jurnal Perempuan. Seorang ibu dan dua anak perempuannya mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Si ibu menanggung langsung pukulan dan makian dari pelaku, sedangkan kedua anaknya menjadi saksi atas perlakuan tersebut. Atas kejadian itu, ketiganya menderita trauma yang berkepanjangan.
Si ibu menghadapi dampak psikologis yang berat selama berhari-hari. Dia sempat menyalahkan dirinya sendiri meski menjadi korban kekerasan. Si anak sulung yang berusia remaja berubah menjadi pemurung dan pendiam. Dia bahkan harus mengonsumsi obat antidepresan untuk meredakan stresnya. Beruntung, si bungsu yang masih kecil berhasil mengatasi kesedihannya dengan cara bermain.
Setelah beberapa waktu, si ibu mulai menuangkan pengalaman traumatisnya ke dalam tulisan. Pada momen itu, dia menumpahkan segala kemarahan dan kesedihan yang dirasakannya ke dalam sebuah teks. Si sulung pun melakukan hal serupa. Alih-alih mencurahkan cerita kepada orang lain yang berpotensi beroleh penghakiman, si sulung lebih memilih medium tulisan untuk memuntahkan perasaannya.
Cara ini berhasil. Energi negatif yang selama ini mendekam di hati si ibu dan anak sulung perlahan terlepaskan. Ada perasaan lega yang muncul usai melakukan aktivitas menulis. Bagi si ibu, lewat tulisan, seseorang dapat menemukan teman yang selalu menerima tanpa menghakimi.
Rupanya, menulis dapat menjadi terapi bagi mereka yang pernah mengalami kejadian traumatis. Tentu kejadian traumatis itu tidak hanya berupa tindak kekerasan dalam rumah tangga. Ia dapat berupa pengalaman menghadapi bencana atau pengalaman ditinggalkan oleh orang-orang tercinta.
Terapi menuliskan pengalaman traumatis, menurut Abrianto, dkk. (2018:94), dapat menjadi intervensi dalam menangani gangguan psikologis. Terapi itu dapat memberikan pengaruh dalam menurunkan tingkat gangguan stres pada penyintas peristiwa traumatis. Lewat penuangan pengalaman emosional dalam wujud tulisan, seorang penyintas dapat menyalurkan ide, perasaan, dan harapan ke dalam teks sehingga dapat membantunya mengurangi stres.
Sejumlah pakar menamai terapi menulis ini dengan sebutan menulis emosional (emotional writing) atau menulis ekspresif (expressive writing). Pennebaker dan Evans (2014:12) menjelaskan bahwa terapi menuliskan pengalaman traumatis selama dua puluh menit sehari, selama tiga atau empat hari, dapat memberikan pengaruh pada kesehatan fisik dan mental. Menulis ekspresif dapat memperbaiki kebiasaan tidur, meningkatkan efisiensi kerja, dan memperbaiki hubungan dengan orang lain.
Sejak studi mengenai terapi menulis ekspresif ini muncul pada 1980-an, sudah ada 300 lebih kajian bertema serupa yang menyebutkan adanya dampak positif dari aktivitas tersebut (Pennebaker & Evans 2014, hlm. 17). Aktivitas menulis ekspresif tersebut dinilai mampu memberikan tiga dampak bagi penulisnya: dampak biologis, psikologis, dan perubahan perilaku.
Lantas, bagaimana bisa menulis ekspresif dapat menurunkan kecemasan dan menghilangkan trauma?
Dalam sebuah atikel berjudul “Mekanisme Kerja Menulis Ekspresif untuk Perbaikan Mental dan Fisik”, Takariawan Cahyadi menyebutkan dua alasannya.
Pertama, menulis ekspresif dapat membantu penyintas melepaskan tekanan perasaan dan pikiran. Lewat mekanisme katarsis itu, ingatan dan perasaan traumatis tidak lagi dipendam sehingga potensi timbulnya penyakit dapat dikurangi.
Kedua, menulis ekspresif dapat membantu penyintas untuk melihat kembali dan menemukan makna atas peristiwa traumatis yang dialami. Dengan begitu, terdapat mekanisme kognitif untuk melakukan rasionalisasi atas peristiwa traumatis.
Meski begitu, tidak semua orang siap untuk mengingat kembali momen traumatis yang menghantuinya. Untuk mengatasi hal tersebut, Misha Ketchell memberikan alternatif teknik penulisan pengalaman traumatis dalam artikelnya yang berjudul “How to Use Therapeutic Writing for Empowerment without Revisiting Trauma”.
- Tuliskan hal yang ada di sekitar
Teknik ini disebut grounding. Ia dapat digunakan untuk membantu penyintas peristiwa traumatis mengendalikan emosinya dan mengembalikan fokus mentalnya. Topik penulisan hanya diarahkan untuk menyebutkan segala hal yang ada di sekitar penyintas.
Untuk memudahkan proses, penyintas dapat diminta untuk dapat memanfaatkan teknik 5-4-3-2-1: tuliskan lima benda yang terlihat, empat bunyi yang terdengar, tiga emosi yang dirasakan, dua hal yang dicium, dan satu hal yang dirasakan.
- Tuliskan uraian secara mengalir
Penyintas yang belum siap menuliskan pengalaman traumatis tidak perlu dipaksa untuk melakukannya. Ia dapat memulai aktivitas menulis dengan membuat sebuah uraian yang sederhana, seperti kegiatan rutin yang biasa dilakukan di pagi hari atau cerita menyenangkan saat liburan. Tujuan dari teknik ini adalah membantu penyintas agar dapat membuat uraian secara mengalir.
- Jadikan praktik menulis sebagai arena bermain
Seperti halnya anak-anak yang senang saat berlari-lari di arena bermain, penyintas berusia dewasa juga dapat menjadikan aktivitas menulis sebagai arena bermain. Ia dapat menganggap pena, kertas, atau komputer sebagai objek transisi pencipta kebahagiaan laiknya mainan atau boneka yang dimiliki anak-anak. Penyintas dapat diberikan pemahaman bahwa dengan menulis, pengalaman traumatis dapat tercurahkan dan tidak ada satu pun orang yang akan menghakimi.
Berangkat dari penjelasan mengenai menulis ekspresif ini, aktivitas menulis ternyata bukan semata sebuah upaya penuangan ide kreatif, melainkan juga sebuah upaya terapis bagi mereka yang pernah merasakan pengalaman traumatis. Bagi mereka yang tertarik dengan model terapi ini, selamat mencoba menulis dan jangan takut untuk melakukannya. Sebab tulisan adalah teman yang selalu menerima tanpa menghakimi.
Rujukan:
Abrianto, Hario, dkk. 2018. “Terapi Menulis Pengalaman Emosional dalam Penurunan Gangguan Stres Pasca Trauma pada Penyintas Bencana”. Dalam Jurnal Psikologi Perseptual, Volume 3, Nomor 2, hlm. 93—101. Kudus: Universitas Muria Kudus.
Ketchell, Misha (ed). 2021. “How to Use Therapeutic Writing for Empowerment without Revisiting Trauma”. The Conversation. Diakses pada 25 September 2021.
Pennebaker, James W. dan John F. Evans. 2014. Expressive Writing: Words that Heal. Washington: Idyll Arbor.
Rubaidah, Siti. 2014. “Menulis sebagai Terapi”. Jurnal Perempuan. Diakses pada 25 September 2021.
Takariawan, Cahyadi. 2021. “Mekanisme Kerja Menulis Ekspresif untuk Perbaikan Mental dan Fisik”. Ruang Menulis Pak Cah. Diakses pada 25 September 2021.
Penulis: Asep Wijaya
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post