Menurut dr. Bambang Budiono, Sp.JP, FIHA. FAPSIC, FSCAI, Dokter Spesialis Jantung dan pengamat masalah kesehatan dalam sebuah pesan singkat yang diterima Prohealth.id beberapa waktu yang lalu, dalam menguji keampuhan suatu metoda pengobatan ada beberapa cara atau metodologi yang lazim dilakukan dan telah diterima secara luas di dunia medis. Sebut saja diantaranya, bisa menggunakan hasil antara atau “surrogate end point”, misalnya melihat adanya perubahan penanda khusus dari hasil laboratorium, melihat perubahan dari pencitraan khusus contohnya; kardiologi nuklir, ekokardiografi; yang digunakan untuk melihat dampak suatu pengobatan.
Selain itu, bisa juga dengan menggunakan data klinis sebagai hasil akhir, misalnya peningkatan kemampuan fisik, penurunan kekerapan dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung, penurunan kejadian serangan jantung dan kematian, dan lain lain. Artinya, menilai keunggulan suatu metoda pengobatan, bisa dilakukan dengan membandingkan obat atau metoda baru dengan terapi standar (jika sudah ada), atau membandingkan dengan suatu bahan yang tidak aktif yang disebut plasebo.
“Metoda penelitian yang terbaik jika dilakukan randomisasi atau acak, pasien dan dokter tak tahu yang mana obat aktif dan mana plasebo, karena kemasan plasebo dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk obat atau zat aktif, biasanya akan diberi kode dan pada akhir penelitian baru dibuka untuk mengetahui mana yang zat aktif dan mana yang plasebo,” ungkap dr. Bambang.
Perlu diketahui, kata dr. Bambang, plasebo meskipun bukan suatu zat aktif, bisa memiliki dampak seperti zat aktif, baik khasiat maupun efek sampingnya. Jadi jangan heran jika ada pasien yang memperoleh kapsul berisi tepung, bisa terjadi penurunan kadar gula darah, penurunan tensi, penurunan kadar kolesterol, maupun berkurangnya keluhan klinis.
“Jangan heran juga jika pasien yang memperoleh plasebo mengeluhkan efek samping mirip halnya obat aktif, misal batuk, diare, demam, pusing, dan sebagainya. Nah, penelitian dengan desain yang baik akan menjawab apakah obat atau metoda yang diberikan pada pasien benar benar memiliki manfaat klinis atau tidak. Semakin banyak yang terlibat penelitian, semakin kuat kesimpulan yang bisa diambil apakah memang bermanfaat atau tak lebih baik dari plasebo,” sambungnya.
KISAH TONGKAT PERKINS
Menurut dr. Bambang pemahaman tentang plasebo ini penting mengingat sempat viralnya berita pemberhentian seorang dokter ternama dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang juga mantan Menteri Kesehatan, dr. Agus Terawan Putranto. Berita itu pun semakin ramai dengan maraknya para tokoh masyarakat memberi testimoni bahwa Terawan berhasil menyembuhkan ribuan orang dengan metoda terapi yang masih diperdebatkan manfaatnya. Sementara, metode terapi itu juga yang menjadi salah satu penyebab alasan pemberhentian.
Oleh karena itu, dr. Bambang pun merefleksikan kasus tersebut dengan menyitir kisah nyata tentang tongkat Perkins. Adapun Elisha Perkins lahir tahun 1741 di Norwich, Connecticut. Dia dididik oleh ayahnya Joseph Perkins di Plainfield, Connecticut, dan kemudian mengikuti pendidikan kedokteran dengan sukses. Ketika Perang Revolusi Amerika pecah, Elisha Perkins menjabat sebagai ahli bedah untuk Angkatan Darat Kontinental selama Pertempuran Bunker Hill. Pada akhir abad ke-18, perkembangan kedokteran menuntut adanya temuan temuan baru yang bisa lebih menjanjikan kesembuhan. Akibatnya, sekitar tahun 1795–96, Perkins menemukan “Tongkat” ciptaan nya.
Perkins lantas mematenkan alat tersebut selama 14 tahun pada 19 Februari 1796. Tongkat tersebut terdiri dari dua batang logam 3 inci dengan ujung runcing. Meskipun terbuat dari baja dan kuningan, Perkins mengklaim bahwa tongkat ciptaan dia terbuat dari paduan logam yang tidak biasa. Perkins mengklaim tongkat tersebut bisa menyembuhkan berbagai peradangan, rematik dan nyeri kepala dan wajah. Dia menerapkan titik-titik pada bagian tubuh yang sakit dan menggunakan tongkatnya untuk melakukan penyembuhan selama sekitar 20 menit.
Testimoni dari mulut ke mulut membuat metode ini mengalami ‘booming’ pada masa itu. Perkins mengklaim cara ini bisa “mengeluarkan cairan listrik berbahaya yang menjadi penyebab keluhan pasien”.
Ikatan Dokter Connecticut mengutuk metoda ini sebagai “perdukunan delusi”, dan mengeluarkan Perkins dari keanggotaan. Namun Perkins berhasil meyakinkan tiga fakultas kedokteran AS bahwa metodenya berhasil. Di Kopenhagen, Denmark, dua belas ahli bedah di Royal Frederiks Hospital juga mulai mendukung metode ini. Kritik dokter lain disambut dengan tuduhan elitisme dan arogansi profesional. Perkins membanggakan 5.000 kasus yang telah berhasil disembuhkan oleh tongkatnya. Bahkan, metoda penyembuhan tersebut disertifikasi oleh delapan profesor, empat puluh dokter, dan tiga puluh pendeta. Bahkan presiden Washington pun tergiur untuk membelinya. Putra Perkins, Benjamin Perkins, mengatakan bahwa “Presiden Amerika Serikat, yakin akan khasiat tongkat tersebut dan menggunakan nya di keluarganya sendiri, dengan membeli satu set tongkat.
Setelah kematian Perkins, dokter Inggris mulai meragukan kehebatan tongkat Perkins. Pada tahun 1799, Dr. John Haygarth melakukan uji coba. Dia merawat lima pasien rematik dengan tongkat kayu yang dibuat menyerupai logam. Empat dari mereka melaporkan bahwa rasa sakitnya berkurang.
Keesokan harinya pasien dirawat dengan tongkat logam dengan hasil yang sama. Dr. Haygarth melaporkan temuannya dalam publikasi berjudul “On the Imagination as a Cause & as a Cure of the Disorders of the Body”. Upaya menggunakan tongkat tersebut untuk menyembuhkan hewan terbukti sia-sia, mungkin karena efek plasebo tak dikenal di dunia hewan. Pada saat itu, Perkins memiliki banyak pendukung berpengaruh dan penjualan tongkat tersebut masih tetap berlanjut. Putra Perkins meninggal pada tahun 1810. Setelah itu popularitas tongkat Perkins mulai menghilang.
Kisah diatas memperlihatkan betapa besar pengaruh suatu efek plasebo, ketika pasien meyakini bahwa itu bisa menyembuhkan. Tak heran, jika ‘batu Ponari’ pun pernah berhasil menyembuhkan berbagai penyakit pada ratusan orang.
“Perlu dipahami, dunia kedokteran tak memberi tempat untuk testimoni karena tak bisa diuji. Sekalipun diucapkan oleh seorang Menteri atau bahkan presiden pun, testimoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis,” tegas dr. Bambang.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post