Prevalensi perokok anak cenderung meningkat berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen. Masifnya inovasi industri rokok dan penambahan jumlah perokok anak baru, membuat pemerintah mau tak mau memasang target baru sampai 2024 minimal angka prevalensi menyentuh 8,7 persen.
Ragam pendapat menyebar di masyarakat terkait upaya mengendalikan perokok anak. Ada pihak yang menegaskan peran keluarga sebagai garda terdepan menekan perokok anak. Pada sisi lain, ada pula yang menilai pemerintah merupakan penanggung jawab utama dalam mengendalikan kenaikan perokok anak.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachjudi melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id mengakui, kenaikan prevalensi perokok anak memang menjadi masalah kesehatan anak. Dia mengklaim, Industri Hasil Tembakau (IHT) secara konsisten sudah mengkampanyekan tentang bahaya merokok pada anak usia 18 tahun kebawah. Akan tetapi, hal tersebut kurang mendapat dukungan dari masyarakat terlihat dengan penjualan rokok kepada anak-anak masih marak terjadi. Padahal edukasi bahaya merokok kepada anak sudah dilakukan sejak tahun 1999.
“Hal ini memperlihatkan bahwa upaya satu atau dua elemen saja tidak cukup untuk mencegah anak untuk tidak merokok, masih sulit dilakukan secara efektif. Inisiatif ini perlu mendapat dukungan Pemerintah sehingga lebih banyak pihak yang terinspirasi dan termotivasi untuk mendukung gerakan cegah perokok anak” katanya.
GAPRINDO sendiri merupakan asosiasi para produsen rokok putih di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1976. Adapun anggota GAPRINDO terdiri dari PT. Bentoel Internasional Investama; PT Philip Morris Indonesia; PT HM Sampoerna; PT Japan Tobacco International Indonesia; PT Korea Tomorrow & Global Indonesia; PT Sumatera Tobacco Trading Company; PT Bentoel Prima; PT Permona; dan PT Putra Stabat. Asal tahu saja, produk dari Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia yang saat ini resmi beredar di pasaran antara lain Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Putih Mesin (SPM).
Para perokok anak di Indonesia, rata-rata membeli rokok secara eceran atau batangan. Misalnya saja, untuk Sigaret Putih Mesin (SPM) dengan kenaikan cukai sampai 12 persen pada 2021 lalu, harga eceran asih berkisar Rp1.135 sampai Rp2.005. Artinya, angka ini masih cukup terjangkau oleh uang jajan anak-anak.
Guna menekan angka perokok usia dini, Benny justru menilai pentingnya langkah preventif dari keluarga, khususnya para orang tua ketimbang menaikkan harga rokok. Dia menyebut, orang tua memiliki peran penting dalam langkah pencegahan anak untuk tidak merokok, seperti aktif menjalin komunikasi dengan anak, memberikan contoh yang baik, memperhatikan pergaulannya, serta memberikan edukasi tentang bahaya merokok.
“Orang tua tidak hanya sekadar menegur sebagai tindakan awal dalam mencegah anak merokok, tetapi juga harus memiliki waktu bersama, berdiskusi, memberikan edukasi, dorongan dan motivasi untuk membangun kepercayaan diri agar anak tidak merokok” kata Benny.
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 70 juta anak di Indonesia, 37 persen atau 25,9 juta anak pernah dan masih merokok. Oleh karena itu, upaya pencegahan harus dimulai sejak dini, dari lingkungan dan orang terdekat anak itu sendiri.
Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari menegaskan bahwa peran orang tua memang vital dalam menurunkan angka prevalensi perokok anak. Oleh karena itu, target bersama pemerintah sebenarnya menjadi tantangan tersendiri bagi semua orang tua.
“Tapi tugas ini harus dilaksanakan dengan berkomunikasi dan memberi contoh buruknya merokok secara terus menerus kepada anak,” kata Lisda.
Lisda pun berharap semua pihak juga terus bahu membahu mengurangi prevalensi perokok anak dengan meningkatkan pengawasan penjualan rokok.
PERAN VITAL PEMERINTAH
Selain keluarga, upaya yang efektif mencegah kenaikan perokok anak adalah dengan mengesahkan Peraturan Daerah tentang Kota Layak Anak maupun Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR). Salah satu pemerintah kota yang sudah menjalankan strategi ini adalah Pemerintah Kota Depok.
Wali Kota Depok Mohammad Idris menerangkan, pengendalian perokok anak tidak bisa dilakukan tanpa landasan hukum. Dia meyakini, aturan memiliki manfaat yang efektif untuk menanamkan kesadaran pada hak sehat anak dan keluarga.
“Kita hidup di dunia tidak sendiri, apa yang kita kerjakan ini berkaitan dengan lingkungan kita,” ujar Idris dalam kegiatan workshop jurnalis yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Februari 2022 lalu.
Oleh karenanya, Pemkot Depok mulai mengesahkan Perda Kota Layak Anak pada tahun 2013, dan disusul Perda KTR pada 2020 lalu. Tak selesai dengan perangkat aturan daerah, Idris juga mengeluarkan Peraturan Wali Kota sebagai petunjuk teknis SKPD khususnya Satpol PP dalam mengawasi dan memberi sanksi atas pelanggaran Kota Layak Anak (KLA) dan KTR.
Dia menjamin, semua upaya pendisplinan ini juga mengacu dari anjuran Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). “Jadi dipantau semua larangan penjualan dan promosi rokok, display di swalayan salah satunya,” sambung Idris.
Tak hanya dengan Perda KTR, Idris juga mengerahkan penugasan untuk sosialisasi pada level anak dan remaja melalui kampanye sehat, pembentukan organisasi anak muda yang bisa melakukan sosialisasi dengan bahasa yang gaul dan kekinian.
“Misalnya ada program Gue KTR, atau Gue Generasi yang Eksis Tanpa Rokok.”
Namun tak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 juga mempersulit SKPD dalam melakukan pengawasan. Oleh karenanya, Pemkot Depok melakukan inovasi dengan pendekatan pada Kota Layak Anak, serta sosialisasi dan kolaborasi dengan OPD.
“Kota Layak Anak tidak bisa lepas dari KTR. Kota layak anak itu berhasil kalau 100 persen sukses KTR. Minimal berjalan efektif 50 persen. Makanya kami [Kota Depok] masih tingkat 4 dalam Kota Layak Anak,” tuturnya.
Sejak penerapan Kota Layak Anak, prevalensi perokok anak di Depok bertahap mengalami penurunan. Pada 2013, perokok anak di Depok mencapai 29,5 persen dan lima tahun setelahnya yakni 2018 menurun tipis menjadi 27,7 persen. Oleh karenanya, Idris yakin penerapan Perda KTR adalah solusi efektif untuk pengendalian perokok anak jangka panjang.
“Ada penutunan yang memang belum signifikan hanya 1,8 persen. Namun ini saja sudah membuat kami lebih semangat,” kata Idris.
Sementara itu, Wali Kota Bogor Bima Arya menerangkan Pemkot Bogor juga sudah memiliki Perda KTR yang terbit lebih awal, yaitu pada tahun 2018. Perda KTR tersebut mengatur bukan hanya tempat merokok, tetapi juga sponsor rokok sampai pelarangan pemasangan reklame rokok.
Tak hanya melalui Perda KTR, Bima Arya sangat sadar pentingnya keterlibatan masyarakat untuk mensosialisasikan aturan ini. Salah satunya adalah dengan menggelar kegiatan anak muda melalui kelompok Smoke Free Generation.
“Ini adalah upaya preventif. Yang penting, kita bangun engagement, kita bangun agar rokok tidak mudah masuk ke Kota Bogor,” ucapnya.
ALASAN PENTINGNYA PERDA KTR
Menurut Bima, setiap strategi penyusunan peraturan daerah memerlukan data. Dia percaya Perda KTR sangat urgen berdasarkan survei dari Pemkot Bogor, rata-rata anak yang mulai merokok berada pada kisaran usia 12-13 tahun. “Ini masih kelas 6 SD, atau 1 SMP. Ini usia yang rawan terpapar rokok,” pungkasnya.
Masih berdasarkan data dari Pemkot Bogor, rata-rata 50 persen remaja responden di kota Bogor sebenarnya sudah sadar dengan Perda KTR. Namun ada 82,3 persen remaja yang melihat iklan atau promosi rokok umumnya berada di warung atau toko. Ada 7,3 persen responden anak yang juga mengaku mendapat promosi dari sales rokok yang menawarkan rokok gratis. Sisanya, ada 6,2 persen anak yang menggunakan barang dengan label nama perusahaan rokok misalnya pada topi, kaos, pulpen, dan tas. Menurut Bima, hal ini terjadi karena industri rokok ingin menyampaikan pesan pada anak dengan mengajak anak-anak ini mencoba produk rokok.
“Jadi ada 32 persen yang mengaku 32 persen pernah merokok konvensional, dan 30,8 persen merokok dengan vape. Mereka umumnya melihat di mal, supermarket. Maka ini membuat kami berpikir bahwa pengetatan harus dilakukan di tempat-tempat ini. Paling banyak di restoran,” tutur Bima. Untung saja, Perda KTR telah mengakomodasi rokok elektronik atau vape, agar tidak mencemari hak udara bersih warga Bogor.
Selain itu, Bima menyebut Pemkot Bogor upaya mendorong efektivitas Perda KTR dengan melakukan kampanye menghindari asap rokok khususnya melalui organisasi yang efektif di tengah warga. Sebut saja; PKK, Posyandu, melalui RT dan RW, juga pelibatan beberapa dinas.
“Kami harus akui ada keterbatasan orang, logistik, untuk menerapkan ini tapi secara konsisten kami menghidupkan pemahaman dan kesadaran bahaya rokok. Kami lakukan terus razia, sosialisasi, dan bahaya asap rokok kami kaitkan dengan penanganan Covid-19.”
Saat ini, untuk mendorong keluarga yang sehat Pemkot Bogor fokus membina masyarakat membangun rumah bebas asap rokok.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post