Ketika melahirkan anak pertama, Gemala -bukan nama sebenarnya- seorang perempuan berusia 30 tahun sempat mengalami masalah kesehatan fisik dan mental. Sejumlah pengalaman post-partum, atau depresi pasca melahirkan dia alami dan menguras energi yang cukup besar.
Sementara itu, Gemala dan suami harus mulai belajar beradaptasi pada program tumbuh kembang anak, salah satunya, imunisasi. Mau tak mau, pada semester pertama pasca melahirkan, sembari mencoba keluar dari jerat post-partum, Gemala mulai bertandang ke Puskesmas Sehat Sejahtera di wilayah Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Berdinamika di Posyandu ternyata membawa kesan tersendiri bagi Gemala. Sebagai contoh, dia masih kerap menjumpai bidan dan petugas Posyandu yang cuek.
“Banyak bidan dan petugas Posyandu lain yang hanya periksa tumbuh kembang anak hanya tinggi badan. Seharusnya juga berat badan, lingkar kepala. Kan harus cek misal ada hydrocephalus, atau apapun. Yang seperti itu luput di Posyandu,” ungkap Gemala kepada Prohealth.id medio Mei 2022.
Tak heran, hal ini membuat Gemala ragu apakah petugas medis di Posyandu memiliki ilmu yang mumpuni untuk memeriksa dan mengawal tumbuh kembang anak.
Belum selesai kontrol rutin Posyandu yang masih buruk, Gemala juga terganggu ketika melihat pada masa pandemi 2021 lalu, dia menemukan ada sejumlah tenaga kesehatan (nakes) di Posyandu yang saat menyuntik tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap.
“Ada nakes di Posyandu yang kecolongan. Dia menyuntik, tidak pakai sarung tangan,” tuturnya. “Kan jadinya ibu-ibu concern, melihat itu terganggu banget. Seharusnya kan tidak begitu, karena ini tugas dia. Kalau dilihat orang awam dia saja tidak taat prokes, bagaimana orang lain mau taat?” ungkapnya.
Tak hanya itu, Gemala juga mengeluhkan minimnya edukasi dan saran kesehatan yang ideal dari nakes di posyandu kepada para ibu dan suami. Ambil saja contoh, kata Gemala, dia masih mendapati kader maupun bidan posyandu yang mengusulkan para ibu menggunakan susu formula ketika mengalami kendala air susu ibu (ASI) untuk bayi.
“Susu formula lho yang diusulkan, bukan ASI.”
Menyoal kelengkapan program imunisasi, Gemala tak menampik sulitnya mengakses vaksin untuk anak-anaknya. Dia mengaku sering mendapati sial karena kosongnya stok vaksin. Kondisi ini memaksa Gemala dan suami harus keliling posyandu dan rumah sakit untuk mencari vaksin.
Meski demikian, Gemala masih mengapresiasi ketersediaan stok dasar obat-obatan dan vitamin untuk anak dan bayi. Menurut Gemala, sekalipun stok vaksin kerap tak menentu, namun pemberian vitamin tidak pernah bolong diberikan dari posyandu.
Fabian Praska (32) dan Blessia Elmena (31), pasangan suami istri yang tengah mengasuh anak sulung mereka Raynar (13 bulan) mengaku tidak pernah membawa anak konsultasi medis di posyandu. Sebaliknya, Fabian dan Blessia memilih untuk kontrol rutin tumbuh kembang sampai imunisasi untuk Raynar di rumah sakit swasta, rumah sakit yang sama dengan tempat Blessia melakukan persalinan.
Kepada Prohealth.id, Fabian membeberkan sejumlah alasan untuk tidak pergi mengakses layanan kesehatan anak di posyandu. Pertama, pandemi Covid-19 membuat orang tua cenderung mencari jalan aman dengan memilih rumah sakit ketimbang posyandu. “Kami mau yang safety. Logisnya tentu ke RS,” kata Fabian.
Alasan kedua, pasangan ini sedang masa transisi dari rumah kontrakan ke rumah milik mereka. Artinya, akan sulit mengurus administrasi layanan posyandu akibat pemindahan dari rumah kontrakan ke rumah baru.
Alasan ketiga, terbangunnya kepercayaan dan jaminan menyerahkan pemantauan tumbuh kembang Raynar kepada dokter yang sudah mengontrol sejak dalam kandungan. Apalagi, pihak rumah sakit menurut Fabian memiliki standard operational procedure (SOP)
“Sejak lahiran semua dihandle dokter yang sama lahiran aman dan nyaman di situasi pandemi,” ungkap Fabian.
Rasa aman, adalah prasyarat utama bagi orang tua untuk mengakses layanan kesehatan bagi anak. Hal ini terbukti ketika Fabian dan Blessia pun akhirnya terjangkit Covid-19 varian Omicron. Gelombang Omicron yang tinggi pada Februari-Maret 2022 juga ikut menjangkiti Raynar. Padahal Raynar sudah mengakses semua vaksinasi lengkap untuk imunitas organ pernapasan. Sebut saja, vaksin PCV untuk menangkal pneumonia yang sudah lengkap, begitu pun vaksin influenza dosis pertama dan kedua.
“Untung saja Raynar itu hari ketiga demamnya sudah turun, jadi kami tidak jadi memeriksakan lebih lanjut. Selain itu, Raynar sehat tanpa komorbid (penyakit penyerta),” tuturnya.
Berangkat dari pengalaman sakit akibat Omicron, Blessia yang bekerja di salah satu perusahaan bank swasta ini mengakui cukup beruntung karena tidak banyak kendala dalam mengakses layanan kesehatan. Meski demikian, dia tak menampik bahwa masih banyak orang tua yang masih kesulitan mengakses vaksinasi untuk anak-anak mereka, baik melalui rumah sakit ataupun posyandu.
Oleh karena itu, Blessia mengusulkan agar pemerintah selaku regulator dan pengambil kebijakan untuk masyarakat agar lebih proaktif dalam melakukan sosialisasi, peninjauan, dan jemput bola agar lebih banyak masyarakat yang bisa menjangkau layanan kesehatan dengan aman dan nyaman. Khususnya dalam rangka menuntaskan hak anak mengakses imunisasi.
“Kemenkes itu harus bisa membantu masyarakat mengakses, jadi harus bisa jemput bola. Tentu orang tua juga perlu aktif mencari informasi si posyandu dan dari pemerintah,” sambung Fabian.
Bahaya Imunisasi Terlambat
Menurut Dr. Mei Neni Sitaresmi, PhD, Sp.A(K), Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dalam sebuah webinar medio April 2022 lalu, saat ini penyebab utama kematian bayi dan balita adalah pneumonia atau radang paru-paru, diare (rotavirus), infeksi otak, dan campak. Padahal, keempat penyakit ini termasuk penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
“Maka penting sekali untuk melindungi orang lain dengan memenuhi hak imunitas dan kekebalan kelompok. Kalau kekebalan tidak tercapai akan terjadi wabah,” ungkap Dr. Neni.
Untuk mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB), Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, dr. Imran Agus Nurali, SpKO mengatakan imunisasi rutin dasar dan lengkap merupakan solusi untuk mencegah KLB.
“2-3 juta kematian anak bisa dicegah dengan imunisasi, dan imunisasi juga mencegah infeksi 26 penyakit, serta mengurangi resistensi antibiotik. Maka imunisasi lengkap itu wajib, juga BCG dan penambahan terakhir adalah untuk pencegahan pneumonia,” ungkap dr. Imran.
Dia tak menampik, pada 2021 saja target capaian imunisasi nasional hanya sanggup 76,3 persen, masih jauh dari target awal sebesar 93,6 persen. Faktor pembatasan sosial masih menjadi penyebab utama rendahnya capaian imunisasi.
“Oleh karena itu, apabila anak tidak mengalami imunisasi lengkap dia bisa sakit, cacat, bahkan meninggal dunia. Maka harus tetap imunisasi, sekalipun Posyandu tidak aktif,” tegas dr. Imran.
Mengingat urgensi imunisasi, dr. Imran menegaskan semua anak harus bisa mendapat imunisasi sekalipun posyandu tidak aktif. Guna meningkatkan akses dan kesadaran orang tua pada hak anak, dr. Imran juga mengimbau para tenaga kesehatan di layanan kesehatan dasar untuk berperan bersama tokoh masyarakat. Tujuannya agar para tokoh masyarakat setempat bisa memotivasi masyarakat melakukan imunisasi untuk anak-anak mereka. Peran tokoh masyarakat juga sangat penting untuk menangkal berita-berita bohong, misinformasi, dan disinformasi terkait imunisasi yang akan menjebak orang tua juga anak-anak.
“Maka itu, kami melakukan pendekatan dengan tiga pilar promosi kesehatan. Harus dibuat masyarakat menjadi; aku tahu, aku mau, dan aku mampu,” tuturnya. Berkaca dari upaya kerja sama lintas instansi, dr. Imran cukup optimis sampai 2024 nanti pencapaian imunisasi untuk anak usia 12-23 bulan adalah 90 persen, dan usia 0-11 bulan minimal sudah 80 persen di seluruh Indonesia.
Utamakan Hak Anak
Sementara itu, Health Specialist UNICEF Indonesia, dr. Kenny Peetosutan mengatakan, imunisasi harus dipahami semua orang tua sebagai hak anak.
“Hak ini sangat penting karena Indonesia pun masih masuk 5 besar negara dengan peningkatan zero dose tertinggi pada 2020,” kata dr. Kenny.
Kesadaran imunisasi sebagai hak anak memang belum optimal, tercermin dari survei UNICEF terkait Covid-19 yang menemukan adanya keraguan orang tua melakukan imunisasi. Pasalnya, ada 22 persen responden yang menolak imunisasi, dan sisanya saja yang masih ingin menerima imunisasi dan 13 persen yang bahkan tidak mempunyai pendapat. Artinya, sekitar 65 persen saja orang tua yang mau melakukan imunisasi untuk anaknya.
“Hal ini menemukan, bahwa mereka (orang tua) ingin ada pemberitahuan dari pengasuh atau orang tua terkait imunisasi berikutnya. Perlu ada langkah perlindungan untuk pengasuh dan anak,” kata dr. Kenny.
UNICEF Indonesia juga menemukan dari penilaian cepat, tahun lalu saat Covid-19 masih merajalela, ada 84 persen dari 5.300 jawaban tenaga kesehatan puskesmas dan posyandu yang mengaku masih takut saat itu melakukan imunisasi. Namun di lain pihak, tenaga kesehatan juga mencemaskan nasib anak-anak yang belum mendapat imunisasi.
“Nakes khawatir terhadap penularan Covid-19 di fasilitas kesehatan akibat terbatasnya alat pelindung diri (APD) yang diperlukan pada saat memberikan layanan imunisasi yang aman.
Tak hanya itu, survei ini berhasil menyimpulkan pentingnya konseling tentang manfaat imunisasi bagi anak, terutama memanfaatkan layanan kesehatan primer yaitu posyandu dan puskesmas.
Sementara itu Troy Pantouw selaku Chief Advokasi, Kampanye, Komunikasi dan Media – Save the Children Indonesia menambahkan, 1 Juni yang diperingati sebagai Hari Anak Sedunia harus menjadi momentum refleksi penanggulangan zero dose, khususnya di Indonesia. Dia memerinci, pada tahun 2022 Save The Children menyoroti dan melaporkan tergerusnya hak-hak anak dari kelompok minoritas agama, serta hak kesehatan yang berimplikasi pada ancaman zero dose.
Pasalnya dalam penulisan laporan, Save the Children Indonesia bekerja sama dengan NGO Koalisi untuk Pemantauan Hak Anak dan Human Rights Working Groups. Laporan ini melibatkan lebih dari 20 lembaga, dan sudah diserahkan kepada the Human Rights Council secara daring pada 31 Maret 2022 lalu.
“Kami ingin seluruh pihak memberikan perhatian lebih terhadap ancaman kesehatan pada balita dan juga trauma serta diskriminasi yang dialami oleh anak-anak kelompok minoritas agama di Indonesia,” tutur Troy.
Lebih lanjut, Troy kembali mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 memberikan dampak terhadap kesehatan anak di Indonesia. Terdapat setidaknya 3 isu, yaitu ancaman zero dose yakni balita yang tidak melakukan atau terlewat imunisasi dasar, pelanggaran Kode Etik Internasional Pemasaran Produk Pengganti ASI dan stunting.
Perlu diingat, lanjut Troy, ada potensi Kejadian Luar Biasa (KLB) dari sejumlah penyakit yang sangat menular dan dapat mengakibatkan kesakitan, kecacatan, bahkan kematian.
Berkaca dari situasi tersebut, Save the Children Indonesia mendorong pemerintah segera mengejar ketertinggalan cakupan imunisasi dasar lengkap akibat dari Covid-19 termasuk komitmen para pemimpin daerah. Tak lupa pentingnya memperkuat program peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi dasar lengkap.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post