Pada awal 2022, Manik Marganamahendra, Project Officer Komnas Pengendalian Tembakau dalam kegiatan konferensi pers Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau (KNMSPT) menyatakan cukai rokok sebagai bentuk kebijakan fiskal, terbukti tidak efektif sekalipun cukai rokok konsisten naik sejak UU Cukai direvisi pada 2007 lalu. Pasalnya menurut data dari Kementerian Keuangan, produksi batang rokok justru tetap naik 224 miliar batang pada 2007, menjadi 322 miliar batang pada 2020.
“Prevalensi perokok anak naik dari 7,2 persen pada 2013, menjadi 9,1 persen pada 2018. Hal ini terjadi karena ada setidaknya dua faktor mempengaruhi anak merokok yaitu peer group, atau teman sebaya, dan harga rokok yang terlalu murah,” jelas Manik mengutip data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.
Tak hanya itu, data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, ada 71,3 persen prevalensi perokok laki-laki dewasa di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. Sejumlah data itu mengafirmasi bahwa kebijaka fiskal berupa cukai rokok tidak bisa berdiri sendiri.
Kondisi ini menunjukkan urgensi pengesahan revisi PP 109/2012 yang diyakini memiliki kemampuan lebih dalam mengawasi dan mengendalikan perokok anak.
Ada banyak faktor lain yang menurut Manik ikut menjadi pertimbangan agar pemerintah segera merevisi PP 109/2012. Pertama, revisi PP 109/2012 sejatinya adalah amanat yang sebelumnya sudah tertuang pada Keppres No. 9/2018 yang berlaku satu tahun, namun sampai dengan tahun 2022 belum kunjung direalisasikan.
Kedua, pemerintah saat ini terdesak untuk segera menepati janji RPJMN yakni menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen.
Alasan ketiga, kenaikan perokok anak menjadi ancaman bagi terwujudnya bonus demografi sehat membutuhkan sumber daya manusia yang produktif dan tidak penyakitan.
“Proses revisi saja sudah berlangsung selama 3 tahun lebih, dan setelahnya tentu akan butuh proses implementasi yang lebih panjang, baik itu administrasi, sosialisasi, dan baru efektif mungkin pada 2023,” ujar Manik.
Untuk mencapai target menekan angka perokok anak, Manik mengingatkan kepada kembali amanat yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 antara lain; konsisten melakukan peningkatan cukai hasil tembakau, melarang secara total iklan dan promosi rokok, perluasan layanan berhenti merokok, bantuan dari pemerintah tidak digunakan membeli rokok, dan pembesaran gambar peringatan bahaya merokok.
Sementara itu, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) dalam riset berjudul ‘Densitas dan Aksesibilitas Warung Rokok Eceran di DKI Jakarta’ pada 2021 menemukan berdasarkan melalui Google Street View ada 8.371 warung rokok eceran di DKI Jakarta.
Peneliti PKJS UI, Renny Nurhasana menerangkan, setidaknya ada 15 warung rokok eceran setiap 1 kilometer. Bahkan, warung rokok eceran muncul kurang dari 100 meter pada area sekitar sekolah dasar (SD) dengan persentase temuan 21,67 persen, lalu area sekolah menengah pertama (SMP) dengan persentase 26,05 persen, dan untuk wilayah sekolah menengah atas (SMA) persentase 15,63 persen.
“Artinya efektivitas pengendalian konsumsi rokok tidak akan optimal apabila penjualan rokok batangan masih diperbolehkan,” tegas Renny.
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali dalam kegiatan Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2022 mengatakan, sebenarnya pemerintah memang sudah menargetkan revisi PP 109/2012 dilakukan pada 2020-2021. Namun adanya kondisi tak terduga pandemi Covid-19 membuat jadwal dan agenda kerja bergeser untuk melakukan pemulihan Covid-19 sebagai prioritas. “Jadi harapannya tahun 2022 ini sudah bisa selesai,” kata Pungkas.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post