Dalam temuan International Labour Organization (ILO), dari 160 juta pekerja anak, secara rinci ada 63 juta anak perempuan dan 97 juta anak laki-laki.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2020, diketahui 3.36 juta anak Indonesia bekerja dan 1.17 juta anak di antaranya adalah pekerja anak. Indonesia yang merupakan negara agraris memiliki sektor pertanian dan perkebunan yang kuat. Alhasil, sektor pertanian menghadapi tantangan berat karena menjadi penyumbang pekerja anak terbesar, utamanya bagi masyarakat pedesaan.
Apalagi, kini ada peningkatan kemiskinan akibat Covid-19 yang dapat menambah jumlah pekerja anak. Akibat pandemi diperkirakan akan ada tambahan 9 juta anak yang berisiko menjadi pekerja anak pada 2022.
Tata Sudrajat selaku Deputi Chief of Program impact Creation Save the Children Indonesia menjelaskan, data Sakernas 2021 mengungkapkan bahwa jumlah pekerja anak usia 15-17 tahun memang turun 500.000, tetapi pekerja anak masih marak ditemukan di wilayah pedesaan, dan ini sangat mengkhawatirkan masa depan Indonesia.
“Di mana pun anak tinggal, hak-hak mereka harus dipenuhi, termasuk terbebas dari risiko menjadi pekerja anak atau mengalami bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,” jelas Tata.
Tata menerangkan, meningkatnya kasus eksploitasi dan kekerasan terhadap anak, termasuk di dalamnya BPTA (Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) menjadi indikasi bahwa sistem perlindungan terhadap anak masih perlu diperkuat agar penyadaran, pencegahan, dan penanganan pekerja anak dapat di tingkatkan.
Masalah kekerasan terhadap anak ini juga terjadi pada lapisan masyarakat, sebagian besar dipengaruhi oleh kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan ekosistem layanan pendidikan, kesehatan, perlindungan anak, dan kesejahteraan sosial yang belum memadai.
Sebelumnya, Human Rights Watch juga telah mempublikasikan penelitian lapangan tentang pekerja anak di tiga provinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan penelitian tersebut, banyak anak mengeluh mual, muntah, dan sakit kepala akibat bekerja di perkebunan tembakau. Tak hanya itu, laporan ini juga menemukan terjadi keracunan nikotin secara konsisten yang dapat memengaruhi perkembangan otak anak yang bekerja di industri tembakau.
Dalam webinar daring tentang pekerja anak yang diselenggarakan Rabu, (15/6/2022), Peneliti Anak Forum Anak Lombok Timur, Alpan, juga mengakui dalam pertanian tembakau di wilayah Lombok dan sekitarnya, anak kerap bekerja membantu orang tua di pertanian tembakau.
“Ada Namanya fase begelantang, kegiatan ini mempekerjakan banyak anak, dari siang pulang sekolah sampai sore ke malam,” ujar Alpan.
Berkaca dari contoh tersebut, Alpan membeberkan ada beberapa motif yang membuat anak mau bekerja di perkebunan tembakau. Motivasi ini sangat beragam, dari mulai motivasi untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bahkan sampai dengan dampak dari broken home.
Untuk menanggulangi hal tersebut, Alpan menyusun sejumlah rekomendasi. Pertama, kepada pemerintah daerah dan pemerintah desa agar bisa berkolaborasi memberikan edukasi dan sosialisasi kepada orang tua perihal pola asuh yang baik dan hak anak-anak, terutama hak tumbuh kembang anak dan hak bermain.
Selain itu pemerintah daerah dan level pemerintah desa wajib mengaktifikan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yakni sebuah gerakan dari jaringan atau kelompok warga pada tingkat masyarakat yang bekerja secara terkoordinasi untuk mencapai tujuan perlindungan anak. PATBM yang efektif mampu melindungi anak dari eksploitasi dan mengakhiri praktik pekerja anak.
“Pemerintah desa juga bisa mengambil peran misalnya dengan menyusun program pengembangan minat dan bakat, serta keterampilan anak seperti komunitas olah raga, kesenian daerah, pusat belajar bahasa agar anak punya kegiatan,” ungkap Alpan.
Alpan juga mengingatkan, orang tua dan keluarga juga wajib mendukung anak dalam pendidikan, serta keterampilan mengembangkan minat dan bakat anak. Tak lupa peran teman sebaya (peer group), saling mendukung untuk membantu sesama anak mengembangkan pendidikan.
Atasi Pekerja Anak
Bertepatan dengan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak yang jatuh pada 12 Juni setiap tahunnya, Save the Children bersama Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Kementerian Ketenagakerjaan dan lembaga terkait, melakukan peninjauan kembali implementasi Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak tahun 2022.
Misran Lubis / Direktur Eksekutif JARAK menambahkan, ulasan terhadap Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak menjadi hal yang sangat penting saat ini. Setidaknya ada tiga faktor penting yang harus didiskusikan, yakni; periode waktu, percepatan respons terutama disaat pandemi COVID-19, serta penyelarasan terhadap tujuan pembangunan global.
“Selain itu, langkah penting berikutnya adalah menetapkan prioritas sektor pekerja anak yang akan diintervensi dengan melihat sebaran tertinggi dan penguatan pada upaya pencegahan, pengawasan serta remediasi,” tegas Misran.
Save the Children Indonesia melalui program Perlindungan Anak dan Penanganan Kemiskinan pada Anak di Sulawesi Selatan, Lampung, dan Sumatera Barat, mengimplementasikan pendekatan Child Labour Monitoring and Remediation System (CLMRS) atau Sistem Pemantauan Dan Remediasi Pekerja Anak. Sistem ini diperkuat dengan tujuan agar secara aktif dapat memastikan aktivasi dan koordinasi pemantauan yang tepat dan respons yang efektif terhadap masalah pekerja anak sehingga anak mendapat dukungan untuk kesejahteraannya (well-being) dan terhindar menjadi pekerja anak.
Selain itu, Save the Children juga memberikan pelatihan dan peningkatan kapasitas kepada kader Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan turun langsung untuk meningkatkan kesadaran bagi petani kakao, orang tua, dan masyarakat setempat bahwa anak-anak punya hak yang harus dipenuhi.
Lebih lanjut, Tata menerangkan, berdasarkan pengalaman dan temuan Save The Children dilapangan, sangat terlihat jelas bahwa pencegahan dan penanganan pekerja anak tidak hanya bisa ditangani dari satu sektor saja, tetapi harus menyeluruh pada sektor lainnya yang berkaitan dengan ekosistem pemenuhan hak anak seperti hak pendidikan, kesehatan, perlindungan, dan perlindungan sosial termasuk hak mendapat perlindungan keamanan jika berkaitan dengan perdagangan orang.
“Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak 2022, Save the Children mendorong pemerintah untuk segera melakukan intervensi pada seluruh ekosistem pemenuhan hak anak tersebut,” tegas Tata Sudrajat
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post