Jakarta, Prohealth.id – Kegiatan UI International Conference on G20 dengan tema “Boosting Indonesia’s Role in G20 Presidency 2022”, merupakan forum pertukaran ide dan konferensi guna mempertemukan para ilmuwan dan pemangku kebijakan untuk bersama-sama merumuskan policy brief mendukung Presidensi G20 Indonesia 2022.
Kegiatan ini terselenggara mengingat Presidensi G20 Indonesia 2022 menetapkan tiga isu prioritas, yaitu Arsitektur Kesehatan Global, Transisi Energi Berkelanjutan, serta Transformasi Digital dan Ekonomi.
Oleh karena itu, kegiatan ini bertujuan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis evidence sebagai bentuk kontribusi para ilmuwan dalam menerjemahkan hasil penelitian sehingga memiliki implikasi praktis bagi para pemangku kebijakan dan masyarakat. Apalagi saat ini ada tantangan yang dihadapi Indonesia dan dunia yaitu membuka kesempatan bagi para ilmuwan untuk berkolaborasi multi dan lintas disiplin, juga membuka ruang dialog untuk memperkuat Presidensi G20 Indonesia.
Menjawab Tantangan Global
Dalam isu Arsitektur Kesehatan Global, Indonesia memiliki tiga tantangan utama, meliputi pemerataan fasilitas kesehatan serta akses terhadap vaksin dan alat-alat kesehatan; standardisasi protokol kesehatan global untuk seluruh negara di dunia; serta pengembangan pusat manufaktur dan pengetahuan global untuk Pandemic Prevention, Preparedness, dan Response (Pandemic PPR).
Adapun tantangan utama dalam isu Arsitektur Kesehatan Global tersebut dijawab oleh para peneliti UI melalui berbagai temuan yang nantinya dijadikan policy brief bagi pemerintah.
Tim peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, Prof. Fatma Lestari, S.Si., M.Si., Ph.D., melalui kajian “Harmonisasi Protokol Standar Kesehatan Global untuk Covid-19”, menyampaikan perlunya standardisasi protokol kesehatan dunia untuk mengatasi pandemi global.
Menurut Prof. Fatma, perlu adanya harmonisasi pada tes Covid-19, vaksin Covid-19, pengoperasian tes Covid-19, dan infrastruktur data Covid-19 untuk memudahkan masyarakat melakukan perjalanan ke berbagai negara, terutama ke negara anggota G20. Selain itu, harmonisasi ini juga membantu penanganan untuk potensi pandemi di masa depan.
Ide harmonisasi standardisasi protokol kesehatan dunia diamini oleh peneliti dari Fakultas Kedokteran (FK) UI, Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, Sp.OG. Menurut Prof. Budi untuk menyusun standardisasi ini, ada hal yang perlu diperhatikan, antara lain menyusun road map implementasi harmonisasi protokol kesehatan global; mengondisikan konsekuensi bagi negara anggota yang gagal mematuhi harmonisasi rencana protokol kesehatan global; membentuk dewan khusus untuk menindaklanjuti proses adopsi dan implementasi; membangun program literasi digital yang tepat melalui konten promosi; serta membuat aplikasi yang “mudah digunakan dengan sistem yang mudah diadopsi”.
Inovasi Kesehatan
Policy brief lain yang ditawarkan peneliti UI kepada pemerintah adalah dikembangkannya inovasi di bidang kesehatan bersama negara-negara G20.
Dr. dr. Irma Bernadette Tiorita Simbolon, Sp.KK.; dr. Diantha Soemantri, M.Med.Ed., Ph.D.; Prof. Dr. dr. Soehartati Argadikoesoema, Sp.Rad., Sp.Rad(K), ketiganya merupakan peneliti dari FK UI menawarkan inovasi di bidang pencegahan dan pengobatan penyakit.
Pada bagian pencegahan, dr. Diantha menawarkan adanya literasi hidup sehat bagi anak-anak untuk menciptakan pola hidup sehat pada masyarakat. Dr. Diantha menilai literasi kesehatan pada anak di sekolah berimbas pada keluarga dan masyarakat karena anak akan berperan sebagai agen pengingat, misalnya terkait kebiasaan merokok atau membuang sampah sembarangan.
Sementara itu, pada bagian pengobatan, Dr. Irma melalui penelitiannya “Pola Kerja Sama Lintas Negara Anggota G20 dalam Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pelayanan Dermatologi dan Venereologi (DV)” melihat belum adanya bentuk atau pola kerja sama antara dokter spesialis DV di Indonesia dan dokter spesialis DV di negara anggota G20.
Menurut Dr. Irma, kerja sama ini dapat mengembangkan ilmu DV dalam hal pemahaman penyakit serta tatalaksananya yang akan meningkatkan pelayanan terhadap pasien DV.
Sejalan dengan hal tersebut, melalui penelitian yang berjudul “Roadmap Strategis Pemenuhan Kebutuhan Akses Radioterapi di Negara Berkembang: Indonesia sebagai Model”, Prof. Soehartati menyoroti kebutuhan radioterapi yang tinggi bagi penderita kanker. Namun, alokasi dana kesehatan untuk pengobatan kanker sangat kecil. Oleh karena itu, dipelukan kolaborasi antara pemerintah dengan negara-negara G20 yang lebih baik dalam penanganan kanker.
Selain dari kalangan dokter, policy brief dari penelitian kesehatan juga ditawarkan oleh peneliti dari rumpun sosial. Broto Wardoyo, S.Sos., M.A., Ph.D. dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; Muhammad Syaroni Rofii, S.H.I., M.Si., Ph.D. dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global; Dr. Abdillah Ahsan, S.E., M.S.E. dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis mengkaji permasalahan kesehatan dari sisi diplomatik, sosial, dan bisnis.
Menurut Broto, penguatan diplomasi kesehatan dengan negara G20 dapat dilakukan melalui aksesibilitas terhadap bahan baku melalui pengamanan rantai pasokan, serta penguatan blocking regional di WHO, sedangkan untuk internal, diperlukan penyederhanaan regulasi dan kordinasi.
Sementara itu, dari segi ekonomi dan sosial, pemerintah Indonesia perlu menjadikan G-20 sebagai forum untuk menyampaikan aspirasi agar negara-negara dengan pasokan vaksin suplus tidak menahan ekspor vaksin atau obat ketika stok di negara-negara berkembang dan miskin sangat kurang.
Diskusi yang dibagi dalam dua sesi ini juga diisi oleh Prof. Achir Yani S. Hamid, MN., DN.Sc. dari Fakultas Ilmu Keperawatan dengan penelitiannya yang berjudul “Memperkuat Kompetensi dan Ketahanan Perawat di Antara Negara-Negara G20 dalam Arsitektur Kesehatan Global: Tinjauan Pustaka dan Makalah Kebijakan Berbasis Penelitian”.
Prof. Achir Yani menyoroti peluang kerja sama dengan negara-negara G20 yang didasarkan pada kualitas dan kompetensi yang dimiliki perawat Indonesia. Menurutnya, perlu ada kebijakan yang jelas untuk melindungi para perawat Indonesia yang berkarier di kancah internasional.
Kolaborasi dengan negara G20 tentu tidak terlepas dari keterlibatan sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut dr. Kemal Nazaruddin Siregar, S.K.M., M.A., Ph.D. dari Fakultas Kesehatan Masyarakat mengajukan Agile Health Ecosystem 5.0 sebagai upaya demokratisasi sistem kesehatan menyongsong era pasca pandemi. Agile Health Ecosystem 5.0 mengusulkan ekosistem yang memfasilitasi berbagai pihak untuk menciptakan solusi bersama.
Pendekatan ini mendorong pengembangan kebijakan kesehatan yang human-centered, inklusif, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, serta menjadikan masyarakat jantung pengambilan kebijakan.
Melalui inovasi ini diharapkan adanya demokratisasi kesehatan di era pasca pandemi Covid-19 yang melibatkan banyak pihak, terutama masyarakat itu sendiri.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post