Jakarta, Prohealth.id – Ganja medis menjadi salah satu perbincangan hangat masyarakat secara luring maupun daring. Berdasarkan pantauan Prohealth.id, berbagai unggahan menyebar di media sosial khususnya melalui WhatsApp Group tentang pro dan kontra ganja sebagai obat.
Namun pemahaman yang banyak beredar tersebut masih belum sepenuhnya tepat tentang ganja medis. Ada kesan seolah-olah asal itu ganja, jika dipakai dengan alasan terapi, maka dapat disebut sebagai ganja medis. Hal ini menimbulkan pemahaman yang keliru di masyarakat.
Dikutip dari siaran pers Ikatan Dokter Indonesia, Senin (11/7/2022), istilah ‘ganja medis’ adalah terjemahan dari bahasa Inggris “medical cannabis“, dan itu digunakan dalam banyak literatur ilmiah. Satu definisi dari salah satu sumber resmi yang mudah dipahami adalah: Medicinal cannabis is a medicine that comes from the cannabis sativa plant (misal dari https://www.healthdirect.gov.au/medicinal-cannabis), yang berarti obat yang berasal dari ganja. Artinya, karena itu adalah obat, tentu harus memenuhi sifat sebagai obat yaitu senyawanya terstandar, terukur dosisnya dan digunakan sesuai indikasi dengan cara yang tepat. Selain itu, yang perlu diluruskan tentang ganja medis ini juga adalah bukan keseluruhan tanaman ganjanya, tetapi komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi atau terapi.
Menurut Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gajah Mada, ganja memiliki beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Komponen utama pada ganja (Cannabis) adalah golongan cannabinoids. Cannabinoids sendiri terdiri dari berbagai komponen, dimana yang utama adalah Tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif, dan Cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. Adapun komponen yang menyebabkan efek terhadap mental, termasuk menyebabkan memabukkan dan ketergantungan adalah THC-nya, sedangkan CBD memiliki efek farmakologi sebagai anti kejang. CBD bahkan sudah dikembangkan menjadi obat, dan sudah mendapat persetujuan oleh FDA, misalnya dengan nama Epidiolex, yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespon terhadap obat lain.
Lebih lanjut kata Prof Zullies, pada kasus yang viral untuk penyakit cerebral palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja. Tentu saja yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja, karena kalau dalam bentuk tanaman, dia masih bercampur dengan THC yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental dan memabukkan. Kandungan dalam ganja medis bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni, seperti CBD, terukur dosisinya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten.
Dengan demikian, urgensi ganja medis pada dunia kesehatan sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan. Meski demikian, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya, dengan melakukan pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat.
“Posisi ganja medis ini sebenarnya justru merupakan alternatif dari obat lain, jika memang tidak memberikan respon yang baik. Ganja medis baru bisa digunakan jika obat lain sudah tidak mempan, itupun dengan catatan bahwa ganja medis yang digunakan berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas,” terang Prof. Zullies.
Obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex ini bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM, dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi. Oleh karena itu, menurut Prof. Zullies, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja mengingat masih ada potensi penyalahgunaan yang akan membesar.
“Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lain-lain walaupun alasannya adalah untuk terapi? Dikuatirkan akan banyak ‘penumpang gelap’ yang akan menumpang pada legalisasi ganja. Berapa persen sih pengguna ganja yang benar-benar butuh untuk terapi dibandingkan dengan yang untuk rekreasi?” sambungnya.
Oleh karena itu, yang dapat dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan yang sudah teruji klinis, yaitu Cannabidiol.
Sampai saat ini, ganja masuk dalam narkotika golongan 1, demikian juga dengan THC dan delta-9 THC, sedangkan Cannabidiol sama sekali belum masuk daftar obat narkotika golongan manapun.
Untuk Cannabidiol, dengan bukti-bukti klinis yang sudah ada, dan tidak adanya sifat psikoaktif, bahkan mungkin dimasukkan kedalam narkotika Golongan 2 atau 3 dalam lampiran daftar obat golongan narkotika yang dibuat oleh Kemenkes dan dapat diupdate.
Untuk bisa melegalkan Cannabidiol Prof. Zullies mengingatkan pentingnya koordinasi semua pihak terkait, yakni DPR, Kemenkes, BPOM, BNN, dan MUI untuk membuat regulasi untuk pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari Cannabis, seperti Cannabidiol, dengan mempertimbangkan semua risiko dan manfaatnya. Riset-riset terkait ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, dengan tetap membatasi aksesnya untuk menghindarkan penyalahgunaannya. Misalnya, obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.
“Jadi, perkembangannya mungkin bisa sama seperti “kakaknya” yaitu morfin yang juga berasal dari tanaman opium/candu,” tuturnya.
Morfin adalah obat yang legal digunakan, selama diresepkan dokter dan digunakan sesuai indikasi seperti pada nyeri kanker yang memang sudah tidak mempan lagi dengan analgesik lain dengan regulasi dan pengawasan distribusinya yang ketat. Meski demikian tanaman sumber obat yaitu Opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena memiliki potensi penyalahgunaan yang besar.
Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati juga menyebut soal Legalisasi ganja untuk kepentingan medis, pandangan pakar kesehatan dan hasil penelitian medis yang harus menjadi dasar utama.
Sebuah bahan harus benar-benar diteliti dari sisi khasiat terhadap sebuah penyakit dan sisi keamanan obat jika dikonsumsi. Selain itu, sisi pengawasan amat vital sebab dalam berbagai hal dan kebijakan publik, lemahnya pengawasan masih menjadi persoalan serius.
“Dalam berbagai kebijakan, PR besar kita kan selalu di pengawasan. Ingat ya kalaupun sedang tahap riset, ini hanya untuk kepentingan riset kesehatan bukan untuk yang lain. Jangan sampai ini digiring menjadi gerakan untuk legalisasi ganja secara keseluruhan,” ungkap Kurniasih.
Jika kemudian hari ditetapkan sebagai obat, maka semua proses perizinan untuk bisa diedarkan termasuk dalam pengawasan peredaran harus ketat dan taat aturan.
“Mitra komisi kami Kemenkes dan BPOM, dalam berbagai kasus kebocoran obat di masyarakat masih terjadi. Belum lama ini ada warga yang membeli obat secara daring langsung ditangkap aparat karena obatnya masuk golongan psikotropika. Pertanyaannya kenapa bisa dijual bebas di market place? Berarti masih banyak lubang dalam pengawasannya,” ungkap Kurniasih.
Kurniasih menyebut dalam dunia medis, perlu ketelitian dan kehati-hatian dengan tetap berdasarkan riset yang mendalam untuk bisa dengan aman dipakai sebagai obat. Selain itu ada tahapan-tahapan yang mesti dilalui sebuah hasil penelitian bisa disebut obat dan digunakan dalam pengobatan.
Menteri Kesehatan RI, Ir Budi Gunadi Sadikin telah mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan akan segera memberikan izin ganja untuk dilakukan penelitian medis. Regulasi itu akan mengacu pada hasil kajian Kementerian Kesehatan terkait penggunaan ganja untuk medis. Penelitian ganja diizinkan arena sama halnya dengan tumbuhan lain. Namun Budi dengan tegas mengatakan bahwa ganja untuk konsumsi tetap dilarang.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dr. Adib Khumaidi, SpOT mengatakan bahwa sejauh ini riset lebih lanjut masih dilakukan terkait ganja sebagai pengobatan. IDI mendorong adanya riset terlebih dahulu sebelum akhirnya digunakan dalam pelayanan medis. Para pakar IDI yang dilibatkan dalam riset di Kementerian Kesehatan RI dan lembaga terkait lainnya masih terus mengumpulkan referensi ilmiah terkait ganja medis.
“Proses di internal sudah dilakukan oleh IDI dengan elaborasi dengan dasar ilmiah yang ada, tentunya riset dengan referensi ilmiah. Semuanya harus tetap berbasis evidence based, jangan sampai merugikan dan keamanan, keselamatan pasien harus diperhitungkan,” tegas dr Adib.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post