Jakarta, Prohealth.id – Persoalan gizi buruk atau stunting di Indonesia merupakan masalah sistemik sehingga memerlukan metode penanganan dan pengendalian yang berkelanjutan.
Menurut RPJM 2020-2024, pemerintah sebenarnya menargetkan angka prevalensi stunting bisa turun sampai 14 persen pada 2024. Sebagai kebijakan sentral dari pemerintah pusat, penurutnan prevalensi stunting membutuhkan peran aktif masyarakat dalam hal pola hidup dan asuh anak, terutama para orang tua dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi anak.
Yuli Supriati, Sekjen Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) mengatakan, permasalahan terjadinya gizi buruk salah satunya disebabkan oleh ekonomi atau kesejahteraan masyarakat yang masih rendah, serta minimnya edukasi atau pemahaman masyarakat terkait pentingnya mencukupi kebutuhan gizi anak terutama di masa seribu HPK (Hari Pertama Kelahiran).
Yuli membeberkan laporan kasus stunting pada Dinas Kesehatan di beberapa daerah yang tidak sesuai dengan temuan kasus lapangan. Temuan KOPMAS di Kecamatan Stabat, Langkat, Sumatera Utara, hampir 70 persen anak di sana mengalami gizi buruk, mengarah ke stunting. Namun, Kepala Dinas Kesehatan Langkat mengeklaim daerah mereka tidak ada kasus stunting atau zero stunting, zero gizi buruk.
“Data hanya sebatas angka dan tidak akurat dengan kondisi lapangan yang terjadi, sehingga tidak ada penanganan berkelanjutan”, ujar Yuli dalam Workshop Kesehatan “Menganalisis Tren Stunting dan Persoalan Sistematis Gizi Buruk” pada Kamis, 4 Agustus 2022.
Dia pun menyoroti langkah pemerintah menangani stunting yang harus dilakukan secara terpadu dan sistematis. Selain pencegahan stunting yang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah harus bersinergi dalam upaya mengambil langkah strategis agar angka prevalensi data stunting menurun.
“Pencegahan dari masyarakat juga harus dilakukan. Namun, saat bicara anak stunting, maka satu-satunya yang diperlukan adalah intervensi, campur tangan pemerintah, dan medis dalam memastikan anak mendapat booster gizi yang cukup”, tegas Yuli.
Dia meyakini peran-peran pemerintah yang tidak bisa berjalan sendiri membutuhkan bantuan kader kesehatan masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat. Sebut saja misalnya; tokoh agama dan tokoh masyarakat adat, agar bisa mempengaruhi masyarakat mengubah pola makan demi asupan gizi yang lengkap bagi anak.
Selain para tokoh, Yuli juga berpesan agar media ikut berperan secara tidak langsung dalam mengedukasi masyarakat terutama pentingnya memberikan literasi gizi yang lebih komprehensif dan mendalam, dalam hal pemenuhan gizi anak dari orang tua.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA (K), menjelaskan, pemenuhan asupan gizi yang optimal juga harus tepat pada peruntukannya. Penanganan khusus terhadap anak stunting perlu melihat kebutuhan dasar nutrisinya yang disesuaikan dengan kondisi sistem metabolismenya.
Menurut dr. Piprim masyarakat perlu membedakan kebutuhan asupan protein dan kalori pada anak. Ia menekankan pentingnya Asam Amino Esensial, sebagai salah satu asupan penting yang harus dikonsumsi anak stunting.
“Protein hewani yang harus ditingkatkan”, tutur dr. Piprim
Lebih lanjut, dr. Piprim mengatakan kampanye media tentang ASI Eksklusif juga penting digaungkan sebagai salah satu langkah pencegahan stunting sehingga masyarakat dapat mengurangi konsumsi produk Krim Kental Manis sebagai penunjang gizi praktis bagi anak. Terlebih kandungan Krim Kental Manis dalam High Glycemic Index Food (kandungan indeks glukosa) berdampak pada obesitas atau kardiometabolik yang menyebabkan anak berpotensi stunting.
Sekretariat Direktoral Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi menambahkan dalam forum ini bahwa perbedaan antara temuan KOPMAS terkait perbedaan kasus stunting di lapangan dan laporan Dinas Kesehatan.
Nadia mengatakan Kementerian Kesehatan mencoba memperkuat sisi pencatatan dengan sistem surveilans gizi melalui E-PPGBM (Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).
Nadia juga menyampaikan beberapa wilayah yang mengalami disparitas prevalensi stunting yang tinggi terdapat pada tujuh daerah di Indonesia, yaitu NTT, Sulawesi Barat, Aceh, NTB, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.
Terhadap wilayah-wilayah tersebut, dr. Nadia mengatakan pemerintah secara aktif melakukan sweeping dan memonitor kasus melalui posyandu dengan cara penguatan sistem surveilans gizi, pelaksanaan audit stunting, dan intervensi stunting dengan kebijakan pengelolaan gizi buruk yang terintegrasi.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post