Jakarta, Prohealth.id – Arsitektur kesehatan memang tidak bisa terwujud tanpa pengelolaan sistem yang tepat dengan dukungan sumber daya yang memadai. Untuk mencapai cita-cita ini, pengelolaan arsitektur kesehatan perlu mengelola ratusan juta data genomik yang terkumpul selama pandemi.
Asal tahu saja, Kementerian Kesehatan telah melanjutkan rangkaian pertemuan bidang kesehatan di G20 dengan agenda “Expanding global manufacturing and research hubs for pandemic, prevention, preparedness, and response”. Pertemuan tersebut berlangsung secara hybrid, dan turut mengundang 19 negara anggota G20, 5 negara diundang, 5 negara perwakilan regional antara lain; Fiji, Kongo, Kamboja, Rwanda, Belize, dan 14 organisasi international.
Pertemuan dua hari yang terdiri dari 3 sesi, membahas isu prioritas ketiga yakni pentingnya diversifikasi geografis pusat riset dan manufaktur vaksin, Obat-obatan, dan Alat Diagnostik (VTD), terutama di negara berkembang.
Dalam diskusi yang mengupas tentang persiapan arsitektur kesehatan tersebut di Tri Hita Karana (THK) Forum Road to G20 di Kura Kura Bali (27/8) dengan tema “Global Health Architecture: Bali for the World on Health, Resilience, and Happiness – Research Innovation, Healthcare, and Finance Ecosystem”, salah satu topik yang diangkat adalah pembangunan infrastruktur kesehatan.
Adapun pembangunan infrastruktur kesehatan yang dimaksud berupa fasilitas kesehatan berkelas dunia, pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia, pembiayaan riset kesehatan dan genomik, inovasi dalam pengiriman obat dan akses perawatan kesehatan, dan pemanfaatan inovasi digital untuk menciptakan ekosistem kesehatan global.
Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan RI mengatakan, pandemi telah menciptakan kesempatan bagi Indonesia untuk mengolah ratusan juta data genomik yang akan digunakan sebagai basis penelitian untuk menciptakan inovasi kesehatan agar tumbuh generasi yang lebih sehat di masa mendatang.
Dia menyatakan bahwa salah satu pusat untuk mengembangkan riset genomik adalah di Bali. Hal ini diyakini sejalan dengan Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali yang diluncurkan 3 Desember 2021. Presiden Joko Widodo pun telah menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi di Bali sehingga tidak hanya tergantung pada satu sektor yakni pariwisata saja.
“Bali memiliki modalitas untuk membangun dan menyiapkan infrastruktur kesehatan. Untuk itu, kami membuka kesempatan bagi perusahaan asing untuk mendirikan pusat riset dan investasi lainnya di bidang kesehatan di Indonesia. Namun, monetisasi tetap harus dilakukan di Indonesia dan bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Budi melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Selasa (30/8/2022).
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno juga mendukung konsep medical tourism sebagai bagian dari pemulihan sektor wisata yang sangat terdampak akibat pandemi. Sebagai implementasi dari Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan beberapa beberapa upaya untuk mengolah data genomik tersebut, misalnya membangun pusat riset genomik di Universitas Udayana dan melakukan pertemuan dengan East Venture untuk mendukung bio-research di Bali.
Sir Gordon Duff, Pro Vice Chancellor Oxford University mengemukakan, pandemi telah menciptakan momentum untuk mengembangkan skala, kapasitas, dan respon cepat untuk menciptakan ketahanan kesehatan global. “Bali dan Indonesia adalah tempat yang strategis untuk memanfaatkan momentum ini agar ilmuwan bisa memahami target obat baru dan jenis perawatan kesehatan yang lebih tepat untuk kesehatan manusia.”
Sementara itu, Andrew Lo selaku Director of Financial Engineering at MIT Sloan School of Management menekankan bahwa kesehatan adalah masalah global, sehingga perlu bantuan dari semua pemangku kepentingan untuk mengatasinya. Dalam skenario perhitungannya, Andrew mengungkapkan diperlukan dana biofund sebesar US$30 miliar untuk memperbesar skala dampak serta mengurangi risiko keuangan. Hal ini bisa dicapai dengan skema blended finance; yaitu menggunakan dana publik sebagai katalis untuk menarik investasi dari pendanaan swasta secara masif.
Tantowi Yahya, selaku Executive Lead THK Forum menyatakan sebagai negara dengan populasi keempat terbesar di dunia, kepulauan terbesar, dan keragaman genomik; maka kesempatan riset di bidang genomik sangat luas di Indonesia. Oleh karena itu, berbagai inisiatif terkait pembangunan arsitektur kesehatan ini memerlukan kolaborasi berbagai pihak – termasuk pemerintah, praktisi kesehatan, industri kesehatan dan farmasi, kelompok investor dan keuangan, asosiasi kesehatan dan rumah sakituntuk bisa mencapai arsitektur kesehatan yang dicita-citakan.
“Kami harap diskusi ini bisa membangun kesadaran dan komitmen yang lebih kuat antara pemangku kepentingan untuk membangun ekosistem dan arsitektur kesehatan global, dan secara khusus mendorong Bali menjadi pusat kesehatan yang tangguh,” tutup Tantowi.
Sebelumnya, Juru Bicara G20 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi dalam keterangan pers Pertemuan Ketiga G20 Health Working Group (HWG), 18 Agustus 2022 lalu menjelaskan, pertemuan HWG ketiga ini akan menjadi forum strategis untuk memperkuat sistem kesehatan global guna menghadapi pandemi berikutnya.
“Setiap negara, terlepas dari status ekonomi dan geografisnya, harus memiliki akses dan kapasitas yang sama untuk mengembangkan vaksin, terapi, dan alat diagnostik,” katanya.
Dia memerinci, sesi pertama, difokuskan pada pembahasan isu untuk membangun jaringan antara peneliti dan manufaktur di Negara G20 terkait kedaruratan kesehatan masyarakat.
Sesi kedua, akan fokus membahas penguatan jaringan peneliti dan manufaktur terkait kedaruratan kesehatan masyarakat.
Sesi ketiga akan membahas peran kemitraan pihak pemerintah dan swasta untuk mendukung jaringan peneliti dan manufaktur.
Sesi terakhir akan membahas inisiatif G20 untuk memperkuat ekosistem riset dan manufaktur untuk mencapai VTD yang berkeadilan akses dan kapasitas pengembangan.
“Dalam tiga sesi ini, kami mendorong agar pertukaran antarnegara G20 terkait VTD bisa diperluas, hub dan manufaktur lebih banyak, sehingga transfer teknologi bisa berjalan dengan baik. Sebagai focal point HWG, inilah yang akan kita sampaikan, demi kepentingan kesehatan global,” kata dr. Nadia.
Dia melanjutkan, dengan adanya pertemuan ketiga HWG ini, diharapkan dapat menghasilkan beberapa keluaran konkrit yang dapat meningkatkan komitmen global dalam memperkuat sistem kesehatan global, diantaranya; Pertama, untuk membangun pusat manufaktur VTD dan pusat penelitian kolaboratif guna mendukung pengembangan dan penguatan kapasitas manufaktur VTD yang digerakkan oleh penelitian di Low Middle Income Countries (LMICs) untuk mengembangkan, meningkatkan, dan memperkuat kapasitas penelitian dan manufaktur.
Kedua, untuk berbagi mekanisme dan harmonisasi regulasi untuk memudahkan proses peningkatan kapasitas global guna memastikan percepatan ketersediaan VTD selama keadaan darurat kesehatan masyarakat.
Ketiga, untuk mendapatkan prinsip yang dapat disepakati tentang pembentukan kolaborasi Uji Klinis Multisenter VTD untuk mendukung Pusat Manufaktur dan Pusat Penelitian Kolaboratif di antara negara-negara G20 guna upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons atas pandemi.
“Diharapkan pada pertemuan ketiga ini bisa menghasilkan deliverables yang telah dicapai secara konkret, untuk selanjutnya bisa dibawa pada Health Ministers Meeting kedua dan KTT G20 di Bali, November mendatang,” ungkap dr. Nadia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post