“Ibu sudah vaksin tiga kali”, kata Bu Nui sambil mengacungkan tiga jari kepada saya. Bu Nui ialah penjual pecel lontong yang mangkal di dekat kost-an saya yang berlokasi di Jalan Salemba Tengah I. Jawabannya itu terucap ketika pada Jumat, 22 Juli 2022, saya membeli pecel dan mengatakan habis vaksin pertama dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo atau disebut juga RSCM (sekalian kontrol di poli rehabilitasi mediknya).
Spontan saya pun menjawab kepadanya. “Ya, ibu kan sehat, beda dong sama saya yang ada (penyakit) autoimun (lupus). Kalau ada autoimun, tidak bisa sembarangan vaksin, Bu. Harus tanya ke dokternya (dokter yang merawat) dulu,” kata saya.
Tidak terlambat untuk jadi yang pertama
Bukan Bu Nui saja yang memamerkan telah vaksin Covid-19 hingga booster. Seorang teman lagi juga terheran ketika mengetahui saya baru melakukan vaksin pertama saat itu walau dalam perkataan yang tidak langsung. “Baru vaksin pertama?”, ucapnya melalui WA sambal diiringi emoji senyum lebar dan ada tetesan keringat.
“Ya, gimana sih? Kan setahun lalu (2021) aku sibuk operasi jadi kondisi belum stabil, fokus di operasi,” kata saya menyahut cepat. Meskipun agak di-bully, tak menyurutkan kegembiraan saya yang pada hari itu telah berhasil melakukan vaksinasi Covid-19 kesatu. Saya melakukan vaksinasi-nya di Poli Madya RSCM, Jakarta Pusat.
Hari itu bertepatan dengan jadwal kontrol ke poli Rehabilitasi Medik RSCM. Rencananya, saya mau vaksinasi dulu, baru kemudian kontrol ke poli tersebut. Namun rencana tersebut batal karena poli madya yang mengurusi vaksinasi belum buka pada jam 8 pagi. Jadilah saya kontrol dulu dan sesudahnya baru ke sana. Untungnya jadwal kontrol Jumat ini hanyalah evaluasi dari terapi yang selama ini saya jalani di poli rehabilitasi medik.
Akan tetapi, tak terhindarkan ada rasa tegang menjelang vaksinasi. Buktinya tensi saya sempat tinggi dan mengalami sakit kepala sebelum melakukan vaksinasi. Saya tiba di poli madya sekitar jam 10-an pagi. Alurnya, peserta vaksinasi harus ke bagian depan (teras) poli madya bagian vaksin, mendaftar dan akan diberikan nomor serta formulir identitas diri dan skrining kondisi kesehatan.
Setelah semua kolom registrasi diisi, kita masuk ke dalam dekat pintu (depan) keluar masuk poli madya bagian vaksin. Disitu ada sebuah meja dan ada dua suster perawat yang bertugas untuk mengecek kondisi kesehatan peserta pravaksinasi. Calon penerima vaksin menyerahkan formulis skrining yang telah diisi, mengisi lembar daftar lagi. Dalam lembar itu kita diminta menuliskan nama lengkap, tempat tinggal, usia, dan akan melakukan vaksinasi yang ke berapa.
Kemudian saya duduk dan salah satu suster perawat mengukur tensi darah dan melakukan pengecekan suhu badan. Hasil kedua pengecekannya bagus sehingga saya diperbolehkan untuk vaksin. Oiya, karena saya berstatus penyandang autoimun, maka bersama formulir yang saya isi juga disertakan surat keterangan layak vaksinasi dari dokter yang merawat. Sang perawat mengembalikan formulir dan berkas untuk skrining vaksin.
Pada bagian depan meja perawat tadi, ada 4 deret kursi yang masing-masing deret terdiri dari 10 kursi. Awalnya saya hendak duduk ke sebuah kursi yang berada di deret ketiga yang kosong. Sedangkan kursi-kursi pada deret kedua telah terisi orang yang juga hendak vaksin dan kursi deret keempat terlalu jauh jaraknya dari ruang vaksin. Namun belum juga saya duduk, datanglah seorang ibu dan mengarahkan saya untuk duduk dikursi yang ditunjuknya. Lalu ketika seorang yang duduk di kursi deret depan paling ujung dekat ruang vaksinasi masuk ke ruangan tersebut, si ibu memberikan instruksi supaya para calon penerima vaksin untuk bergeser duduknya ke kursi sebelahnya. Di sini saya jadi paham, bahwa calon penerima vaksin, duduknya harus berurutan sesuai dengan nomor yang terdaftar saat di meja perawat untuk tensi. Saat sedang menunggu giliran saya, si ibu datang menghampiri dan mengecek formulir skrining vaksinasinya.
Ia pun bertanya, misalnya, saya mau vaksinasi ke berapa? Saya jawab kesatu dan pada lembar skrining diberi tanda P1. “Bu, saya ada autoimun lupus dan aiha. Itu sudah ada surat keterangan dokternya, Bu”, kata saya memberitahukannya. Mendengar ini segera si ibu menandai lembar skrining dan membalik-balik lembar untuk mengecek surat keterangan dokter saya. Setelah ia menemukannya, si ibu bertanya lagi mau pakai vaksin apa? Saya jawab vaksin Sinovac dan ia menuliskannya di lembar skrining.
Setelahnya si ibu berjalan menuju ke ruang vaksinasi, sepertinya ia melakukan koordinasi dengan dokter vaksinator-nya. Tak berapa lama, ia keluar dan kembali menghampiri saya sembari meminta lembar skrining dan menulis ulang tanda vaksinasi untuk saya di lembar tersebut.
Rasanya lama sekali menunggu hingga tiba giliran saya masuk ruang vaksinasi. Ada dua ruangan vaksinasi yang digunakan saat itu. Tapi pada saat itu, awalnya kedua ruangan digunakan lalu menjadi hanya satu ruangan. Saya tidak tahu kenapa, apa mungkin karena mendekati jam 12 siang dan pada saat itu adalah hari Jumat. Jadi fokus vaksinasi adalah di ruangan 1.
Ketika tiba dan duduk di deret paling depan yang berseberangan dengan ruangan vaksinasi, saya bisa melihat jelas proses vaksinasinya. Seperti misalnya, bagaimana dokter vaksinator mengoleskan kapas alkohol di lengan calon penerima vaksin lalu menyuntikan vaksinnya. Memang sengaja saya tidak melihat semuanya sampai akhirnya giliran saya pun tiba.
Ruangan vaksinasi seperti ruang yang biasa dipakai untuk praktek konsultasi dengan dokter, kira-kira berukuran 5×4 meter persegi. Sebuah meja terletak di dekat pintu, di atas meja ada sekat plastik. Seorang suster perawat duduk di situ untuk membantu dokter vaksinator. Sang suster perawat yang telihat masih muda, sibuk mempersiapkan vaksin untuk calon penerima vaksin dan juga mengisi data-data terkait vaksinasi saya. Sedangkan dokter vaksinatornya yang juga tampak masih muda, bertanya-tanya sedikit ke saya. Misalnya, saya mengambil vaksin ke berapa, dan saya juga diminta mengisi data lagi pada sebuah lembar yang ada di situ.
Suntikan vaksin pun berhasil
Ada perasaan gugup dan deg-degan saat sang dokter mempersiapkan vaksinasi untuk saya. Tiba-tiba saya berkata kepada perawat, “Suster, suster tolong pegangin saya ya. Agak takut soalnya, belum pernah vaksin”. Perawat itu memenuhi permintaan saya, lalu dengan lembut mengusap-usap punggung lengan dan bahu kanan saya. Selanjutnya dr. Rahmi, dokter yang akan memvaksinasi saya mengoleskan kapas alkohol di lengan kiri saya dan menyuntikkan cairan vaksin ke lengan tadi.
Peristiwanya berlangsung cepat sekali dan tahu-tahu saja, lengan bekas suntik sudah dioleskan kapas alkohol lagi serta diplester. Sempat terbengong-bengong setelah saya divaksinasi. Oh, ternyata begini ya divaksinasi bagian lengan, ini yang ada dipikiran saya.
Seusai disuntik vaksin, saya menuju ke luar poli madya. Tepatnya bagian belakang poli madya. Di situ kita harus menuju ke sebuah loket yang akan meng-input data vaksinasi pertama kita. Jika sudah, lanjut menuju ke meja perawat. Pasien akan kembali ditensi oleh suster perawat dan dipersilakan duduk di kursi yang ada di sana. Ini adalah proses obeservasi pascavaksinasi. Kurang lebih 15 menit saya duduk di sana sambil bengong dan setelah 15 menit berlalu, syukurlah kondisi saya aman. Tidak ada gejala KIPI yang dirasakan.
Perawat yang tadi mengukur tensi saya juga mengatakan bahwa kondisi saya aman dan baik pasca vaksinasi. Dia juga memberitahukan bahwa untuk vaksinasi kedua saya, dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2022.
“Vaksinasi keduanya minimal tanggal 19 Agustus ya. Kalau kurang dari tanggal 19 Agustus, tidak boleh (vaksinasi kedua) tapi kalau lebih (sedikit) dari tanggal 19 Agustus boleh (vaksinasi kedua),” ia menerangkan. Saya menyimak dan mengangguk.
Lanjut ke vaksinasi kedua
Awalnya saya merencanakan untuk melakukan vaksinasi kedua pada tanggal 22 Agustus 2022. Memilih tanggal tersebut karena merujuk pada tanggal vaksinasi kesatu yang dilakukan pada 22 Juli 2022. Hal itu urung dikarenakan pada tanggal tersebut jatuh pada hari Senin, yang mana poli Madya RSCM tempat saya akan melakukan vaksinasi kedua tutup. Poli Madya RSCM hanya buka pada hari Jumat untuk vaksinasi Covid-19. Jadi jadwal vaksinasinya tetap tanggal 19 Agustus 2022 atau sesuai yang tertera di kartu vaksinasi Covid-19 saya. Kebetulan pula pada hari dan tanggal tersebut bersamaan lagi dengan jadwal kontrol (evaluasi) di poli Rehabilitasi Medik RSCM. Jadi seperti dejavu vaksinasi kesatu, saya melakukan vaksinasi kedua setelah kontrol ke poli rehabilitasi medik. Bedanya tidak pakai heboh-heboh seperti saat vaksinasi kesatu.
Alur vaksinasi kedua tak berbeda dengan yang kesatu. Yang membedakan, saya tak perlu menyetor surat keterangan layak vaksin dari dokter yang merawat. Cukup menunjukkan kartu vaksinasi dan mengisi formulir skrining. Lalu ke meja perawat dalam poli Madya, mengisi data-data lagi, ditensi, dan bila dinyatakan sehat silakan langsung duduk di kursi antrian.
Namun untuk kali ini kursi antriannya tidak seperti saat vaksinasi kesatu yang harus berurutan. Pada saat vaksinasi kedua ini, kondisi ruang duduk antrian memang sepi dari calon penerima vaksin atau tidak seramai ketika saya vaksinasi kesatu. Sehingga menjadi agak bebas mau duduk di kursi mana saja. Saya hanya perlu menunggu 1 sampai 2 orang saja lalu giliran saya masuk untuk vaksinasi.
Tampak petugas vaksinator juga sama seperti saat vaksinasi kesatu. Ada seorang suster perawat dan dokter vaksinator, yang membedakan adalah suster perawat dan dokter vaksinatornya lebih senior alias lebih tua. Saat vaksinasi kedua ini, saya tak perlu meminta suster perawat untuk membantu memegangi tangan dengan tujuan menenangkan saya. Lantaran sudah pengalaman dengan vaksinasi kesatu.
Meski demikian hal itu ternyata tetap saja membuat saya kaget. Pasalnya, dokter vaksinatornya cepat sekali menyuntikkan jarum ke lengan saya. Saat itu, saya sedang menaikkan lengan baju ke atas. Bersamaan, dokternya mengoleskan kapas alkohol di lengan kiri saya. Setelah selesai menaikkan lengan baju, dalam pemikiran saya kan ada jeda dahulu sebelum disuntik. Nyatanya tidak, dokternya langsung menyuntikkan vaksin ke lengan saya. Tak terhindarkan saya agak kaget dan ada sedikit rasa kurang siap. Namun untunglah, hal tersebut tidak lama.
Setelah selesai mencabut jarum suntik, langsung kapas alkohol dioleskan ke lengan yang bekas disuntik dan ditempelkan plester. Persis seperti vaksinasi yang pertama, saya pun menuju ke loket belakang poli madya untuk menyerahkan lembar vaksinasi ke petugas yang akan menginput datanya ke sistem vaksinasi nasional. Lalu ke meja suster perawat untuk diukur tensi dan melakukan observasi pasca vaksinasi. Saya duduk sambil terbengong-bengong saja di situ. Setelah 15 menit, saya dinyatakan aman oleh suster perawat yang memantau observasi pasca vaksinasi.
KIPI yang mengkhawatirkan
Salah satu yang menjadi momok kalau mau vaksinasi adalah efek yang dialami pasca vaksinasi atau disebut Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Hal ini juga menjadi salah satu yang membuat saya khawatir. Apalagi jika menyimak cerita-cerita dari teman-teman sesama penyandang autoimun yang telah melakukan vaksinasi Covid-19 lebih dahulu daripada saya. Ada yang pasca vaksinasi mengalami pegal-pegal “sumeng”, ada yang sakit kepala, ada yang mengalami demam disertai flu berkepanjangan sampai-sampai teman itu khawatir dirinya terinfeksi Covid-19 dan melakukan swab untuk mengeceknya. Lalu ada juga yang mengalami semacam biduran di lengan kanannya, ada juga yang autoimunnya menjadi flare atau kambuh setelah vaksinasi, dan lain-lain. KIPI ini sedikit banyak menjadi pikiran saya.
Namun ada yang lebih mencemaskan lagi untuk diri saya, yakni mempersiapkan diri untuk menjalani vaksinasinya, tepatnya saat disuntik vaksin oleh dokter vaksinatornya. Seumur hidup, saya belum pernah melakukan suntik di daerah lengan. Pernah akan tetapi pada saat berusia bayi. Sementara saat masih usia anak-anak, remaja, dan dewasa, saya tidak pernah. Ini alasan yang kedua.
Alasan ketiga yang membuat saya agak takut divaksin di lengan karena saya pernah melihat teman sekolah (saat SD) melakukan vaksinasi di sekolah. Petugas vaksinator datang ke sekolah lalu satu per satu siswa dipanggil ke depan dan disuntik (imunisasi). Seorang teman saya (perempuan) lantas divaksin dan setelah itu dia berjalan menuju kembali ke kursi duduknya. Namun entah kenapa, tiba-tiba darah mengucur dari lengannya yang habis divaksin tadi bahkan darahnya sampai sedikit merembes ke kain lengan bajunya. Warna merah darah terpampang jelas di kain putih lengan bajunya dan saya melihat langsung.
Kejadian ini terus membekas dalam memori saya, sehingga tak urung menjadikan saya selalu cemas dan khawatir apabila hendak melakukan suntik di daerah lengan. Dilatarbelakangi oleh kejadian ini, maka saya berusaha mencari jalan bagaimana supaya bisa tetap vaksinasi walau sebenarnya takut. Soalnya saya kan sudah mendapat surat acc untuk vaksinasi Covid-19 dari dokter yang merawat dan juga kesadaran untuk menjaga diri dalam masa pandemi ini.
Segera yang terpikir adalah meminta pertolongan untuk ditemani atau didampingn saat melakukan vaksinasi. Saya bersyukur, ada seorang ibu-ibu yang pasien satu poli dengan saya, mau mendampingi untuk vaksinasi kesatu. Namanya Bu Niar. Saya kerap bertemu dengan si ibu lantaran kami jadwal kontrolnya baik hari ataupun tempatnya sama, yakni di lab Thera-X lantai 2 poli Rehabilitasi Medik RSCM.
Selain Bu Niar, ada satu lagi yang namanya Bu Endang. Sama seperti saya dan Bu Niar, Bu Endang juga pasien di lab Thera-X poli Rehabilitasi Medik RSCM. Karena jadwal kami yang sama dan menjadikan intens bertemu maka saya dan ibu-ibu tadi menjadi akrab. Kalau yang satu selesai duluan, biasanya menunggu yang lain selesai. Baru lah kami bersama-sama jalan menuju ke luar RSCM untuk pulang atau seringkali sambil menunggu tadi, kami mengobrol sembari duduk di kursi ruang tunggu depan Lab Thera-X.
Jadi, pada waktu vaksinasi Covid-19 yang kesatu dan kedua, saya didampingi oleh mereka berdua dan ini menjadikan saya lebih tenang. Bu Niar dan Bu Endang dengan sukarela menemani setiap alur proses pendaftaran, mulai dari mengambil formulir skrining, mengukur tensi, menunggu hingga giliran saya vaksinasi atau disuntik vaksin, meng-input data di loket petugas data vaksinasi hingga menunggui saya selesai observasi pasca vaksinasi.
Tak ketinggalan adalah sesi foto-foto saat vaksinasi, khususnya saat dokter vaksinator menyuntikkan vaksin ke lengan saya. Juga foto-foto pasca observasi di sekitaran poli Madya RSCM bagian vaksinasi. Seperti foto saya sendiri sambil memegang kartu vaksinasi Covid-19 dan swafoto bertiga dengan Bu Niar dan Bu Endang.
Didampingi oleh Bu Niar dan Bu Endang memang menjadikan saya lebih tenang. Namun tak dipungkiri masih ada sedikit rasa khawatir atau cemas. Buktinya dari dua momen vaksinasi Covid-19 tadi, saya mengalami sakit kepala pra vaksinasi. Terasa sekali pada saat masih kontrol di poli rehabilitasi medik-nya. Hal lain, tensi saya agak tinggi. Ini juga terjadi pada dua momen vaksinasi Covid-19. Saya hanya ingat tensi Ketika vaksinasi kedua. Tensi pra vaksinasi yang diukur di poli rehabilitasi medik di angka 116/72. Lalu saat diukur di meja suster perawat poli madya angkanya 108/72, dan diukur saat observasi atau pasca vaksinasi 100/63 dan sakit kepalanya sembuh.
Sedangkan KIPI yang saya khawatirkan pasca vaksinasi, nyatanya tidak ada. Hanya pada lengan kiri terasa sedikit nyit-nyit karena habis disuntik. Pasca vaksinasi saya segera pulang ke kost-an dan bersitirahat. Kecuali yang vaksinasi kedua karena saya langsung menuju ke Puskesmas Kecamatan Senen untuk keperluan memperpanjang rujukan ke Poli Orthopaedi RSCM.
Teman sesama penyandang autoimun, menyarankan juga untuk dibawa senang pasca vaksinasi, misalnya kalau mau makan maka tak apa makan saja apa yang kita sukai. Anehnya di sana justru malah tidak begitu nafsu makan setelah melakukan vaksinasi. Jadi saya hanya makan sedikit lalu beristirahat.
Vaksinasi yang tertunda
Walaupun saya telah menerima dua kali vaksinasi Covid-19, prosesnya tergolong telat. Menelusuri ke belakang, program vaksinasi Covid-19 telah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sejak bulan Maret 2021. Waktu itu prioritas utama penerima vaksinasi Covid-19 ialah para nakes dahulu. Lalu baru masyarakat umum. Sementara untuk golongan rentan dan memiliki komorbid, tidak direkomendasikan untuk vaksinasi.
Dalam perkembangannya, ketentuan untuk golongan rentan dan komorbid terus mengalami perubahan sampai akhirnya kedua golongan ini disebutkan boleh divaksinasi namun dengan catatan harus berkonsultasi lebih dahulu dengan dokter yang merawat. Mulai dari keluarnya ketentuan terbaru tersebut, cukup banyak teman-teman saya yang sesama penyandang autoimun diperbolehkan dan melakukan vaksinasi Covid-19 bahkan lengkap (yang saat itu adalah dosis 1 dan 2).
Sepanjang 2021 tersebut harus berjibaku dengan kondisi Kesehatan saya. Pada Januari 2021 saya harus menjalani operasi Total Hip Replacement (THR) atau penggantian tulang panggul kanan dan setelahnya harus menjalani proses recovery (pemulihan) pasca operasi. Apabila dalam kondisi seperti ini saya melakukan vaksinasi, tentu saja akan membahayakan diri saya lantaran belum stabil. Saat proses pemulihan masih berjalan, ternyata kondisi saya kembali mengalami penurunan dan pada September 2021 harus menjalani lagi operasi THR kiri.
Dalam proses pemulihan pasca operasi THR kiri, ternyata ada gigi saya yang bolong sehingga harus menjalani operasi pencabutan gigi. Sampai berganti tahun dan pada bukan-bulan awal 2022 saya masih belum vaksinasi Covid-19. Izin untuk vaksinasi baru saya dapatkan di bulan April 2022 dari satu orang DPL (Dokter Pemerhati Lupus) yang merawat saya. Sedangkan izin dari DPL satu lagi, saya dapatkan di bulan Mei 2022. Saya perlu mendapatkan izin dari mereka karena pada selama menjalani pengobatan penyakit lupus, saya ditangani oleh mereka berdua. Maka izin haruslah didapatkan dari mereka berdua. Kedua DPL menilai kondisi kesehatan dan autoimun saya cukup baik sehingga layak vaksinasi Covid-19. Penilaian ini didapat dari kondisi klinis dan laboratorium. Terkait ini, DPL menyuruh saya untuk melakukan Lab ANA Profile.
Lega rasanya bisa melakukan dua kali vaksinasi Covid-19. Terlebih dengan status saya sebagai penyandang autoimun yang termasuk golongan rentan dan memiliki komorbid. Apalagi kalau melihat catatan medis saya sepanjang 2021 yang harus menjalani beberapa kali operasi besar. Saat ini saya sedang bersiap menunggu untuk vaksinasi Covid-19 yang ketiga alias booster. Saya sedang menunggu tiket booster-nya muncul di aplikasi Peduli Lindungi milik saya. DPL saya menyarankan memakai vaksin Moderna untuk booster-nya. Doa saya semoga saja jenis vaksin ini masih ada atau tersedia di sentra-sentra vaksinasi Covid-19 dan proses vaksinasinya bisa berjalan lancar dan aman seperti saat saya melakukan vaksinasi kesatu dan kedua.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post