Studi kualitatif yang diluncurkan pada 15 September 2022 lalu menemukan bahwa anak-anak jalanan sangat rentan terhadap konsumsi rokok yang mengakibatkan adiksi. PKJS UI melaksanakan studi kualitatif tersebut pendekatan studi kasus pada bulan Juni-Agustus 2022 yang bertujuan untuk menganalisis ancaman keterjangkauan produk rokok di kalangan anak jalanan. Pengambilan data berlokasi di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Selain anak jalanan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pembina rumah singgah anak jalanan serta Perwakilan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah juga menjadi informan dalam studi ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara definisi anak jalanan adalah anak yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau anak yang bekerja menghasilkan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan minimal 4 jam per hari. Hal ini senada dengan lirik lagu Chrisye yang berjudul ‘Anak Jalanan’ yakni;
Anak jalanan kumbang metropolitan
Selalu ramai dalam kesepian
Anak jalanan korban kemunafikan
Selalu kesepian di keramaian
Tiada tempat untuk mengadu
Tempat mencurahkan isi kalbu
Cinta kasih dari ayah dan ibu
Hanyalah peri yang palsu
Dalam presentasi tersebut, Risky Kusuma Hartono, Ph.D mewakili Tim Riset PKJS UI menyampaikan bahwa sebagian besar pendapatan harian hasil kerja anak jalanan habis untuk membeli rokok. Akibatnya, anak jalanan perokok tidak hanya mengalami penurunan kondisi kesehatan, tetapi mereka juga terjebak dalam kondisi kemiskinan. Sebagai contoh, anak jalanan yang merokok mengalami gangguan fungsi paru. Anak jalanan yang merokok umumnya hidup tanpa asupan makanan yang cukup, tak mendapatkan pendidikan yang memadai, sementara mereka dihadapkan pada efek berbahaya dari merokok. Apalagi, rokok mengakibatkan stunting dan dampak kemiskinan. Meski demikian, anak jalanan berpikir secara rasional untuk berhenti merokok apabila harga rokok naik 5 kali lipat.
“Oleh karena itu, kebijakan rokok mahal merupakan solusi yang optimal untuk mengendalikan konsumsi rokok pada anak jalanan,” tuturnya.
Bayangkan saja, dari penelitian ini sejumlah responden anak jalanan mengakui bisa menghabiskan lebih dari 10 batang rokok per hari.
“1 setengah bungkus sih sekitar 18 batang satu hari,” ujar seorang responden anak jalanan. “Tidak terhitung, tidak sampai sebungkus, sekitar 10 batang sehari,” ujar responden lainnya.
Para responden anak jalanan ini memang memiliki beragam pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai pengamen, ojek payung, juru parkir, penjual tisu, ondel-ondel, manusia silver, maupun pemulung. Pendapatan mereka pun beragam, dari Rp25 ribu sampa Rp300 ribu. Sementara rata-rata belanja rokok bisa mencapai seperempat atau 25 persen dari pendapatan harian mereka.
Mayoritas informan dan responden riset ini memiliki persamaan persepsi bahwa harga rokok masih murah di Indonesia. Kenaikan harga rokok belum menjadikan harga rokok menjadi mahal. Tak heran jika para responden penelitian ini mengakui harga rokok saat ini masih sangat terjangkau. Oleh karenanya, kebijakan pengendalian konsumsi rokok secara non-fiskal tetap perlu dilakukan secara konsisten untuk menekan keterjangkauan rokok.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 28B Ayat (2) mengamanatkan agar negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang. Amanat ini seakan tidak sejalan dengan peningkatan konsumsi rokok anak yang dapat merenggut hak-hak anak menjadi tidak dapat bertumbuh kembang secara optimal.
Data Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas menunjukkan bahwa persentase perokok anak usia 10–18 tahun terus mengalami peningkatan dari tahun 2013 sebesar 7,2 persen menjadi 9,1 persen di tahun 2018. Harga rokok yang murah menjadi salah satu pemicu anak menjadi perokok. Hal ini juga sudah diakui para responden anak jalanan, bahwasanya harga rokok di Indonesia masih murah dan terjangkau, apalagi masih dijual secara ketengan.
Guna mengatasi kebiasaan merokok di kalangan anak-anak, kebijakan perlu melihat bukti empiris pada berbagai kelompok masyarakat, termasuk pada anak jalanan. Adapun anak jalanan termasuk kelompok anak yang harus dilindungi karena literasi pendidikan mereka yang tidak memadai dan mereka dihadapkan pada efek berbahaya dari merokok. Potret ancaman perilaku merokok pada anak jalanan disertai dengan kebijakan pengendalian masih jarang dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya.
“Anak jalanan akan berpikir ulang untuk membeli rokok apabila harga rokok menjadi mahal. Apabila harga rokok dinaikkan 5 kali lipat dari harga saat ini, maka harga rokok akan semakin mahal dan semakin berpotensi besar mendorong anak-anak untuk berhenti mengonsumsi rokok,” pungkas Risky.
Temuan dalam riset ini mengafirmasi bahwa jenis rokok yang paling banyak dikonsumsi anak jalanan merupakan rokok golongan 1 yaitu rokok dengan tarif cukai yang paling mahal. Namun, sebagian anak jalanan masih berniat pindah ke produk rokok dengan harga yang lebih murah apabila harga rokok naik.
“Perlu diingat bahwa edukasi bahaya merokok belum berhasil membuat anak jalanan berhenti merokok. Efek jangka pendek kondisi ekonomi akibat dari perilaku merokok yaitu pemborosan, mengurangi pendapatan, dan hanya kegiatan berupa membakar uang. Selain itu, efek penurunan kondisi kesehatan yang dirasakan oleh sebagian besar informan anak jalanan yaitu menjadi sering batuk-batuk, lebih mudah mengalami kelelahan, hingga masalah paru-paru,” tutur Risky.
Dr. Renny Nurhasana, selaku Tim Riset dan Manajer Program PKJS UI menambahkan bahwa konsumsi rokok pada anak jalanan dapat mengakibatkan mereka terjebak pada jurang kemiskinan. Ini terjadi karena anak rentan mengalami penurunan produktivitas akibat dari penurunan kondisi kesehatan di masa depan.
Studi ini telah menyimpulkan rokok masih sangat mudah dijangkau oleh anak jalanan yang disertai dengan berbagai konsekuensi merugikan. Oleh karena itu, studi ini memberikan rekomendasi kebijakan.
Pertama, menaikkan harga rokok melalui mekanisme kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) agar harga rokok menjadi semakin mahal sehingga lebih tidak terjangkau oleh anak jalanan. Studi ini mendukung rekomendasi dari Bappenas agar Pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 20 persen dan melanjutkan penyederhanaanalias simplifikasi strata tarif cukai menjadi 5 strata untuk dapat mencapai target penurunan prevalensi perokok anak sebesar 8,7 persen pada 2024.
Kedua, pentingnya merevisi Peraturan Pemerintah 109/2012 diantaranya dengan melarang penjualan rokok ketengan agar dapat lebih melindungi anak dari bahaya rokok, serta menerapkan pelarangan penjualan rokok secara ketengan agar semakin membatasi akses rokok kepada anak.
Ketiga, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu bekerja sama secara lintas sektor maupun pihak LSM untuk memperbanyak program, edukasi, dan kegiatan dalam rangka pencegahan dan menekan perilaku merokok anak jalanan.
Respon pemerintah
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Pande Putu Oka Kusumawardani menyatakan, hasil tembakau berupa sigaret dalam Undang-Undang Cukai dikategorikan sebagai barang kena cukai yang perlu dikendalikan konsumsinya. Dia mengklaim, pemerintah pun cukup konsisten menaikkan tarif cukai dari tahun ke tahun untuk menaikkan harga rokok. Selain itu, penyederhanaan struktur tarif cukai rokok sudah dilakukan hingga sekarang mencapai 8 layer.
Penyederhanaan ini harapan besarnya adalah mencegah konsumen rokok berpindah ke rokok yang lebih murah, sehingga opsinya menjadi lebih sedikit, kemudian mencegah juga adanya penghindaran rokok ilegal, dan memudahkan administrasi cukai rokok. Dia juga menekankan bahwa kebijakan cukai ini tetap harus bersinergi dengan kebijakan nonfiskal lainnya.
Rini Handayani selaku Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan upaya KPPPA dalam pencegahan dan pengendalian konsumsi rokok melalui Kota Layak Anak (KLA) yang salah satu indikatornya yaitu Kawasan Tanpa Rokok dan Iklan, Promosi, dan Sponsorship rokok yang rendah.
“Tidak hanya pada KLA, namun hal ini juga didorong melalui pencapaian SDGs yang diterjemahkan pada SDGs Desa yang memiliki target persentase perokok kurang dari 18 tahun mencapai 0 persen. Namun hal ini membutuhkan dukungan dari beberapa pihak untuk pencegahan dan pemulihan,” tambah Rini.
Sejalan dengan hal tersebut, N Susanti Srimulyani, M.Sos. selaku Ketua Umum Forum Fungsional Penyuluh Sosial Indonesia, Kementerian Sosial RI mengatakan bahwa Kementerian Sosial/Kemensos sangat peduli terkait masalah dan tantangan hidup anak jalanan. Kebijakan teknis dari Kemensos terkait dengan Perlindungan Sosial berbasis keluarga dan komunitas, serta penguatan kapasitas balai rehabilitasi sosial. Dinas sosial provinsi dan kabupaten beserta Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) di berbagai wilayah sangat mendukung upaya pengendalian rokok kepada anak. Semua itu juga tidak lepas dari dukungan peran dari rumah singgah maupun karang taruna. Kajian ini sangat baik dan direspon baik oleh menteri.
“Selain itu, saat ini Kementerian Sosial telah mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 175 tahun 2022 tentang Pengendalian Konsumsi Rokok di Lingkungan Kementerian Sosial RI dimana salah satunya menetapkan pelarangan pembelanjaan dana bantuan sosial (bansos) dalam bentuk rokok untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan bantuan sosial,” jelas Susanti.
Langkah yang diambil oleh Menteri Sosial sangat baik dalam memutus rantai kemiskinan termasuk pada anak jalanan penerima Program Indonesia Pintar (PIP).
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Penyakit Kronis dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan, dr. Benget Saragih, M.Epid menyampaikan bahwa hasil studi ini dapat menjadi referensi bagi pemerintah untuk meningkatkan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Indonesia segera memasuki puncak bonus demografi pada tahun 2030, sehingga penting meningkatkan penduduk usia produktif dan ini menjadi prioritas utama agar generasi berikutnya sehat dan produktif.
“Saya juga meminta dukungan dari semua pihak terutama dalam proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012. PP 109/12 belum cukup efektif dalam menurunkan prevalensi perokok anak, sehingga perlu untuk mengubah substansi dalam menurunkan prevalensi perokok anak,” tambah dr. Benget.
Ketua PKJS UI, Aryana Satrya menambahkan kemudahan akses rokok oleh anak jalanan berakibat bukan hanya kesehatan anak jalanan yang terancam, tetapi juga mereka akan tetap terjebak dalam kemiskinan. Dia menjelaksan, kebijakan rokok mahal melalui mekanisme cukai hasil tembakau (CHT) menjadi salah satu kebijakan yang dapat mengintervensi secara langsung untuk mengendalikan konsumsi rokok, terutama pada anak jalanan.
“Selain itu, belum adanya regulasi mengenai penjualan rokok ketengan dapat membuat kenaikan CHT tidak akan optimal,” ujar Aryana mengingatkan.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post