Pada 13 Desember 2021 lalu, press statement yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani, mengutarakan kebijakan kenaikan cukai rokok untuk tahun 2022 dengan rata-rata sebesar 12 persen. Rata-rata kenaikan cukai rokok tersebut lebih rendah dibandingkan dua tahun sebelumnya, yaitu 12,5 persen pada 2021, dan 23,5 persen pada 2020. Tampaknya pemerintah tidak terlalu agresif tahun ini dalam mengatasi isu rokok yang semakin mengkhawatirkan. Namun satu hal yang patut diapresiasi adalah langkah Kementerian Keuangan dalam menyederhanakan golongan tarif cukai rokok dari 10 menjadi 8 golongan. Langkah ini dapat dengan efektif mengurangi celah bagi para konsumen untuk beralih ke rokok dengan harga yang lebih murah dan menurunkan prevalensi merokok di Indonesia.
Sebagai instrumen pengendalian tembakau, kenaikan cukai rokok diharapkan dapat menurunkan prevalensi merokok masyarakat Indonesia, terutama pada usia 10-18 tahun. Ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Progres yang lambat dalam mengendalikan konsumsi tembakau berdampak besar pada keberlangsungan generasi bangsa, salah satunya adalah risiko terjadinya stunting pada anak. Risiko anak stunting, pada keluarga perokok 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan anak dari keluarga yang bukan perokok (PKJS-UI, 2018) dan pendapatan per kapita negara yang memiliki tenaga kerja stunting cenderung akan lebih rendah (Rokx dkk, 2018).
Kebijakan kenaikan cukai rokok merupakan langkah yang tepat untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Namun, apakah itu saja sudah cukup? Keresahan penanggulangan konsumsi rokok merupakan masalah yang berbelit-belit dan kompleks terutama pada anak dan remaja. Lingkungan hidup di Indonesia yang menormalisasikan rokok menjadi faktor utama siklus konsumsi rokok berlangsung di setiap generasi dan lapisan masyarakat. Dari sejak dini, anak dengan orang tua perokok terbiasa hidup berdampingan dengan asap dan bau rokok di sekitarnya. Beranjak dewasa, anak dibiasakan membeli rokok untuk anggota keluarga yang merokok, melihat teman yang merokok, dan iklan-iklan rokok yang ada dimana-mana.
Efek teman sebaya (peer effect) tidak bisa dipungkiri berpengaruh besar dalam perilaku merokok anak dan remaja (PKJS-UI, 2020). Perilaku merokok bagi remaja merupakan perilaku simbolisasi dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan menjadi alat untuk menarik perhatian lawan jenis. Dalam artian lain, dianggap ‘keren’ dan ‘kece’ jika merokok. Jika berada dalam lingkungan dengan teman-teman yang cenderung merokok maka kemungkinan besar si anak/remaja tersebut juga akan ikut merokok. Belum lagi kurangnya pengetahuan akan bahaya rokok semakin membuat nekat si anak/remaja untuk mencicipi rokok dan menjadi ketagihan.
Normalisasi rokok juga didukung oleh iklan rokok yang beredar dimana-mana, baik melalui siaran stasiun televisi maupun banner/spanduk yang berada di samping jalan atau warung kelontong. Iklan rokok berbahaya karena mengandung pesan subliminal dimana terdapat pesan tersembunyi di dalam iklan tersebut yang berusaha mempengaruhi alam bawah sadar orang yang melihatnya. Dengan iklan yang tayang berulang kali, membuat anak/remaja berpikir bahwa rokok merupakan produk normal dan hal yang wajar untuk mengonsumsi rokok. Celakanya, banner/spanduk biasanya dipasang di sekitar sekolah atau warung kelontong di dekat sekolah agar anak semakin terperdaya mengonsumsi rokok dengan iming-iming harga yang murah.
Kemudian, saat ini anak dan remaja semakin mudah mengakses rokok. Hampir di setiap warung yang ada di Indonesia menjual rokok dengan harga yang tergolong murah. Cukup dengan uang kisaran Rp1500–2000 saja, mereka sudah dapat mengisap satu batang rokok (PKJS-UI, 2021). Membeli pun tidak perlu bersusah payah. Tidak ada larangan dan batasan usia. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) bahkan dihiraukan dan tidak berfungsi seutuhnya untuk mencegah perokok pasif disebabkan kurangnya pengawasan dan implementasi regulasi yang tepat.
Kondisi di Indonesia saat ini sangat optimal untuk meningkatkan prevalensi perokok anak dan remaja. Mulai dari iklan rokok, efek teman sebaya, harga rokok yang sangat terjangkau dan tidak adanya batasan usia dalam membeli rokok. Konsekuensinya, negara ini harus siap kehilangan sumber daya unggul yang akan membangun Indonesia ke depan. Terlebih, bonus demografi yang saat ini sedang berlangsung tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, secara kita lambat laun kehilangan generasi produktif akibat rokok.
Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah progresif dan mulai berinvestasi pada masa depan Indonesia. Regulasi pengendalian tembakau harus berpihak pada remaja dan melindungi mereka dari paparan rokok. Normalisasi rokok di lingkungan masyarakat harus segera dihentikan dengan kontrol banner/spanduk serta iklan rokok, dan menggantikannya dengan peringatan bahaya merokok, edukasi sejak dini pada anak dan remaja mengenai bahaya rokok, perluas Kawasan Tanpa Rokok (KTR), melarang penjualan rokok secara eceran, dan memperketat penjualan rokok di bawah usia.
Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) mendukung kebijakan pemerintah dalam pengendalian konsumsi rokok, yaitu menaikkan harga rokok sehingga tidak terjangkau oleh anak dan remaja, menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat umum termasuk sekolah dan pesantren, serta melarang total iklan, promosi, dan sponsor rokok. Beberapa kegiatan juga telah dilakukan oleh IPPNU untuk menyebarluaskan kepedulian dan suara dukungan kepada pemerintah, di antaranya adalah mengirim surat dukungan pengendalian konsumsi rokok kepada Bapak Presiden, dan membuat video mengenai situasi pengendalian konsumsi rokok di beberapa daerah di Indonesia serta harapan mereka kepada pemerintah untuk memperkuat regulasi demi melindungi kualitas generasi bangsa.
Langkah maju pemerintah dalam menyederhanakan strata cukai dari 10 menjadi 8 golongan patut diapresiasi. Dengan begitu, dapat mengurangi variasi harga rokok di masyarakat sehingga mereka tidak dapat beralih ke harga rokok yang lebih murah. Namun, tidak berhenti pada 8 golongan, penyederhanaann strata tarif cukai harus terus dilakukan dan juga harus diikuti dengan terus meningkatkan tarif cukai dan harga rokok. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi pembelian dan konsumsi rokok, terlebih untuk mencegah meningkatnya prevalensi perokok anak dan remaja di Indonesia.
Perlu diketahui bahwa kenaikan tarif cukai rokok tidak semata-mata berdampak bagi perekonomian suatu negara. Studi yang dilakukan oleh CISDI (The Macroeconomic Impacts of Tobacco Taxation) tahun 2021 menegaskan bahwa kenaikan tarif cukai sebesar 45 persen sekalipun diperkirakan akan tetap menghasilkan dampak positif pada perekonomian dan penciptaan lapangan pekerjaan (CISDI, 2021). Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi langkah sungkan pemerintah dan mulai berfokus pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Besar harapan, kebijakan ini dapat dijalankan dan diimplementasikan dalam setiap lapisan masyarakat secara optimal sehingga membuka jalan bagi generasi unggul yang akan membangun Indonesia maju.
Penulis: Nurul H. Ummah, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU), Masa Bakti 2018-2021
Discussion about this post