Indonesia saat ini sedang bersiap untuk menyambut endemic berdasarkan parameter penilaian COVID-19 yang terus melandai. Meskipun demikian kewaspadaan terhadap adanya kemungkinan mutasi virus tetap dilakukan.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH pada keterangan pers virtual di Jakarta, Jumat, 30 September 2022 lalu menjelaskan, keputusan menuju endemi sudah sesuai dengan arahan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).
“Sesuai pengumuman Dirjen WHO kita saat ini seluruh dunia telah menghadapi masa yang menggembirakan karena tanda tanda hilangnya pandemi COVID mulai terlihat, termasuk di Indonesia” ujarnya.
Melandainya kasus COVID-19 di Indonesia juga didasarkan pada penilaian parameter COVID-19 mulai dari angka kasus hingga penggunaan tempat tidur perawatan COVID-19. Parameter pertama terlihat penurunan kasus konfirmasi mingguan sejak Agustus minggu ketiga.
Saat ini rata rata angka kasus harian COVID-19 berkisar di angka 2000 kasus. Hal ini dibarengi dengan penurunan positivity rate mingguan menjadi 6,38 persen dalam minggu terakhir. Demikian halnya dengan kasus kematian juga mengalami penurunan menjadi 123 per minggu, atau rata-rata di bawah 20 per hari.
Penurunan angka kasus juga dibarengi dengan penurunan angka perawatan pasien COVID-19 di rumah sakit, dimana BOR terus mengalami penurunan dari angka 5 persen pada 10 September menjadi 4,83 persen saat ini. Begitu juga kasus harian dengan positivity rate cenderung melandai dalam satu bulan terakhir.
Meski demikian, dr. Syaril tak menampik bahwa masih ada 8 propinsi di Indonesia yang mengalami peningkatan kasus selama satu minggu terakhir yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, Bangka Belitung, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utama. Sementara 26 provinsi yang lain terjadi penurunan kasus harian.
Dia menyampaikan Indonesia mengadopsi enam strategi WHO menuju endemi mulai dari mengkomunikasikan risiko melalui sosialisasi kepada masyarakat bahwa pandemi COVID-19 masih ada dengan risikonya.
Kedua, melakukan vaksinasi dosis 1, dosis 2 hingga vaksinasi booster. Selanjutnya memastikan sistem pelayanan kesehatan dari hulu ke hilir sebagai antisipasi jika terjadi lonjakan kasus. Serta upaya pengendalian secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Asal tahu saja, Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa vaksin COVID-19 di Indonesia yang tersrdia saat ini sebanyak 5 juta dosis, dimana sebagian besarnya telah terdistribusi ke daerah.
Direktur Pengelola dan Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan, Dina Sintia Pamela mengatakan, stok vaksin COVID-19 sudah terdistribusi sebagian besar di beberapa daerah, sebagian lagi masih tersedia di pusat.
Lebih lanjut katanya, sejumlah daerah yang laju vaksinasinya cukup cepat sehingga stok vaksin mulai menipis. Tetapi ada juga daerah-daerah yang stok vaksinnya masih cukup tinggi karena memang lajunya tidak terlalu cepat.
Dengan demikian untuk memenuhi vaksin di daerah yang stok mulai menipis Kemenkes melakukan upaya-upaya relokasi dari daerah-daerah yang masih tinggi persediaan vaksin nya. “Hal ini sudah dilakukan beberapa kali dan akan terus kita upayakan agar daerah yang kosong dapat terpenuhi,” ujar Dina.
Pada umumnya daerah-daerah yang stok vaksin nya mulai menipis adalah daerah yang biasanya memiliki mobilitas masyarakat yang tinggi, yakni daerah wisata atau di pusat bisnis seperti Bali dan Yogyakarta. Sedangkan di sejumlah daerah lain yang stok vaksin nya masih cukup banyak karena mobilitas rendah seperti di Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah lain.
Dengan kondisi daerah yang cukup bervariasi itu, Kemenkes melakukan upaya relokasi untuk memindahkan vaksin-vaksin yang berasal dari daerah yang penggunaannya masih rendah ke daerah yang membutuhkan.
“Untuk memenuhi sasaran vaksinasi kita akan terus melakukan penambahan stok vaksin secara bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan laju penyuntikan untuk memenuhi cakupan vaksinasi termasuk vaksinasi booster,” tambah Dina.
Upaya lain menuju endemi dan ketahanan masyarakat, Kemenkes juga melakukan pembelian vaksin COVID-19 tahunini. Prioritas vaksin yang akan dibeli adalah vaksin produksi dalam negeri. “Kita sedang berproses terkait rencana pengadaannya dan juga kesiapan dari industri untuk produksinya supaya bisa memenuhi kebutuhan vaksinasi COVID-19,” sambungnya.
Pemerintah pun menjamin keamanan dan mutu dari vaksin COVID-19 di Indonesia. Badan POM secara ketat mengawal upaya penjaminan mutu tersebut.
Sebelum Emergency Use Authorization (EUA) dikeluarkan, vaksin COVID-19 sudah melalui uji klinis dan pertimbangan untuk bisa memperlihatkan aspek keamanan. Ketika vaksin tersebut sudah digunakan oleh masyarakat juga dilakukan pengawasan dalam hal kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau juga beberapa hal lain yang menjadi risiko terkait keamanan vaksin.
Siap lepas masker?
Secara khusus untuk mencapai fase endemic, Kemenkes juga melakukan penguatan upaya surveilans di Indonesia ke dalam lima tahapan, mulai dari transis dari case-based nation whole surveillance ke sentimel surveillance, melakukan integrasi survailen COVID-19 dengan surveillance ILI/SARI, menguatkan community based surveillance yang akan terintegrasi dengan Sistem Kewaspadaan Diri dan Respons (SKDR) yang ada di puskesmas, hospital based surveillance, selain akan terintegrasi dengan SKDR, tetapi juga trennya akan dipantau melalui surveilans SARI untuk kasus-kasus berat, environmental surveillance (ES) juga akan menjadi salah satu sistem surveilans yang akan dikembangkan.
“Kesiapan masyarakat untuk tetap waspada termasuk betul betul menyiapkan langkah kita menuju endemi, paling penting dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, termasuk disiplin memakai masker,” lanjut dr. Syahril.
Sementara itu, Ahli Patologi Klinis UNS Solo, dr. Tonang Dwi Ardyanto mengatakan masyarakat memang mulai ramai menanyakan tentang pencabutan aturan masker. Menanggpi hal tersebut, dr. Tonang mengakui ada beberapa kemungkinan aturan itu memang akan diberlakukan.
Meski demikian, dr. Tonang menerangkan sejak 2020 sampai 2021, setelah melewati puncak berat di pertengahan tahun, maka masyarakat akan mendapati kondisi semakin melandai di September dan sangat landai di Oktober-November. Bahkan setelah puncak sangat berat di pertengahan 2021 pun selanjurnya melandai, semakin landaI, dan sangat landai sebelum masuk akhir tahun. Setiap waktu itu pula, selalu ada kebijakan pelonggaran penerapan protokol kesehatan terkait COVID-19.
“Apalagi sekarang, dimana pertengahan tahun ini, hampir seperti tidak ada masalah bila dibandingkan setahun sebelumnya,” sambung dr. Tonang.
Dia juga menilai kebijakan pencabutan masker ini bukan semata-mata keinginan pemerintah Indonesia mengikuti tren kebijakan yang terjadi di luar negeri, tetapi memang ingin mengikuti perkembangan kondisi di tempat kita sendiri. Kebijakan pelonggaran di luar negeri, minimal didasarkan pada aspek besar pertama: perkembangan kasus. Cakupan vaksinasi di beberapa negara sudah mencapai 80 persen, bahkan 90 persen dari total penduduk. Bukan hanya dari target. Oleh karena itu, penerapan protokol kesehatan seharusnya tidak pernah berdiri sendiri dan memperhatikan dua aspek besar yakni; perkembangan kasus dan kesiapan masyarakat.
Perkembangan kasus mencakup tren laporan kasus, angka positivitas, angka kecepatan penyebaran, cakupan vaksinasi lengkap dan kemampuan sistem pelayanan kesehatan.
“Itu yang aspek-aspek utama. Di kita, laporan tentang hal itu ada dengan beberapa catatan. Catatan utama adalah pelaporan kita lengkap, hanya basisnya kadang tidak disampaikan terbuka.”
Misalnya saja tentang kecepatan penyebaran, angka positivitas, angka kematian, dan angka kasus dalam perawatan. Semua aspek tersebut didasarkan pada jumlah kasus baru. Artinya, baru akan dihitung bila sudah dinyatakan positif melalui tes.
“Repotnya, jumlah kasus baru didasarkan pada berapa jumlah tes yang dilakukan. Masalahnya, jumlah tes kita jauh di bawah standar. Atau terlihat tinggi, karena menggabungkan tes antigen yang seharusnya tidak dihitung secara langsung. Maka laporan-laporan itu lengkap, tapi dengan catatan,” sambung dr. Tonang.
Saat ini cakupan vaksinasi dilaporkan berbasis target. Target awalnya sekitar 67 persen. Kemudian ditambah, saat ini targetnya sekitar 76 persen dari total penduduk. Laporan di Indonesia didasarkan pada angka 76 persen tersebut, namun bukan dari total penduduk.
Maka meski sekilas sudah tinggi, tetapi harus dicata bahwa angka tersebut adalah target, bukan dari total populasi. “Kalau memakai dasar target, seharusnya mencapai minimal 100 persen,” tutur dr. Tonang.
Berikutnya, adalah pentingnya kesiapan masyarakat secara fisik dan mental memasuki endemi. Secara fisik, modal besar adalah tingkat imunitas yang diperoleh baik karena pernah terinfeksi, sudah divaksinasi lengkap, atau telah mengalami keduanya. Sementara secara mental artinya masyarakat sudah memiliki pemahaman yang benar.
“Pelonggaran itu sebenarnya bersifaf ‘kebolehan’ bukan ‘rekomendasi’ atau apalagi ‘keharusan’. Jadi adanya beberapa kali pelonggaran itu sifatnya ‘diperbolehkan’ bila merasa sudah aman. Misal, ah, begitu dilonggarkan, ya longgar beneran, yang pakai masker jadi aneh. Nah, itu berarti kita sebagai masyarakat belum siap.”
Dia tak menampik selain masyarakat, banyak pejabat yang mungkin saja belum siap dengan kebijakan lepas masker menuju endemi. Kondisi ini tercermin dari aturan yang diterbitkan belum dicabut, tetapi para pejabat cenderung sudah melanggarnya sendiri, bahkan di depan publik. “Itu artinya para pejabat juga cenderung belum siap.”
Lebih lanjut, dr. Tonang menegaskan jika nanti pemerintah sungguh melonggarkan pemakaian masker selama proses adaptasi masyarakat tetap memiliki kebebasan untuk mengikuti atau tidak. “Kalau merasa belum yakin, tetap mau pakai, ya tidak masalah. Toh semua tujuannya untuk menjaga kesehatan diri sekaligus mencegah menjadi sumber penularan bagi orang lain,” tuturnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post