Berobat baik rawat jalan ataupun rawat inap menggunakan BPJS, pada saat ini merupakan opsi yang paling realistis. Untuk peserta BPJS Mandiri, diwajibkan membayar iuran sesuai dengan kelas dimana ia mendaftar. Besaran iuarannya pun masih bisa dijangkau. Sedangkan untuk peserta BPJS gratis, lebih enak lagi karena tak perlu membayar iuran setiap bulan. Pemerintah yang membayarkannya, dengan catatan si peserta harus terdata sebagai warga kurang mampu dan diskrining lebih dulu oleh pihak Kementerian Sosial.
Bagi saya, penyandang penyakit kronis autoimun jenis lupus, berobat menggunakan BPJS lebih realistis lagi. Dalam sebulan, saya bisa mengunjungi beberapa poli di rumah sakit (RS) untuk kontrol penyakit saya. Saat awal tegak diagnosis yakni Januari 2015, saya cukup kontrol ke poli penyakit dalam. Namun namanya juga penyakit, tak menutup kemungkinan ia merembet atau melebarkan sayap mengganggu bagian tubuh lain dari penyandangnya.
Seperti di tahun 2017, selain ke poli penyakit dalam, saya juga wajib ke poli paru karena terkena tuberkulosis (TB) paru. Pernah juga saya ke poli kulit karena terkena herpes zoster, dan pada 2021 hingga sekarang ke poli orthopaedi karena post operasi Total Hip Replacement (THR)/ganti panggul dan perlu latihan penguatan otot sesudahnya sehingga dirujuk ke poli rehabilitasi medik.
Bisa dibayangkan berapa besar nominal biaya yang harus saya siapkan atau keluarkan untuk rawat jalan tadi. Makanya saya bersyukur ada program BPJS. Meski demikian, saya tidak serta merta memuji setinggi langit terhadap program kesehatan gotong royong yang telah diadakan oleh pemerintah sejak 2014 ini.
Dirujuk ke poli mata
Sekitar bulan lalu, tepatnya Senin, 19 September 2022, saat kontrol ke dokter lupus saya (biasa disebut DPL/Dokter Pemerhati Lupus), ia merujuk ke dokter spesialis mata juga di RS yang sama alias antarpoli. Alasannya merujuk karena saya mengonsumsi satu jenis obat yang bernama Hydroxychloroquine (Hcq). Obat ini pernah viral tahun 2020, saat awal-awal status pandemi karena diklaim mampu menyembuhkan atau berdampak baik pada Covid-19. Lantaran info tersebut, maka masyarakat beramai-ramai membeli (kalau tak mau disebut memborong) obat Hydroxychloroquine ini.
Ada yang membeli karena memang butuh dan untuk dikonsumsi untuk Covid-19, dan ada juga yang membeli semata hanya untuk berjaga-jaga atau bisa jadi sekadar latah. Alhasil karena aksi tersebut, stok Hydroxychloroquine kosong, susah didapat. Kalaupun ada, harganya menjadi sangat mahal. Harga normalnya yang sekitar Rp500-600ribuan per kotak, melambung tinggi menjadi Rp4 juta per kotak. Sebuah harga yang di luar nalar. Masalahnya, yang tertimpa susah adalah para penyandang autoimun yang memang mengonsumsi obat ini sebagai obat rutinnya. Mereka kelimpungan, pusing tak lagi tujuh keliling.
Baca Juga: Perpres Sudah Keluar, Tuberkulosis Masih Terkendala Akses Kesehatan
Obat Hydroxychloroquine ini sebenarnya untuk malaria namun ternyata bisa dan ampuh untuk penyakit autoimun dan efeknya tergolong minimal. Akan tetapi, memang yang meminum obat ini wajib memeriksakan penglihatannya karena salah satu efeknya adalah ke mata.
Saya menerima surat rujuk ke poli mata yang ditulis oleh Prof. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, dan keluar dari ruang periksa, bergegas menuju ke lantai satu untuk mengurus resep dan melakukan daftar ulang kontrol bulan berikutnya dan juga ke poli mata.
Pada Senin pekan berikutnya, 26 September 2022 saya pergi kontrol ke dr. Bambang, dokter spesialis mata yang dirujuk oleh Prof. Zubairi. Nama lengkapnya dr. Subandono Bambang Indrasto, SpM, ia datang ke poli mata saat jarum jam telah menunjukkan pukul 17.00 lewat beberapa menit. Tiba giliran saya, asistennya mengarakan saya duduk di depan sebuah alat pemeriksa mata. Entah apa nama alat tersebut. Kami duduk di depan alat tersebut, dagu dan kening diletakkan dan menempel pada penyangganya sementara mata tanpa kedip diarahkan ke satu titik cahaya dari alat tersebut. Nantinya dokter akan melihat dari sisi depan alat tersebut secara bergantian, mata kanan lalu mata kiri.
Tak selesai, masih ada dua jenis pemeriksaan lagi. Namun pada akhir konsultasi, diputuskan bahwa saya perlu pemeriksaan lebih lanjut dan harus dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto, karena fasilitas pemeriksaannya lebih lengkap.
Jeda seminggu, pada Senin, 3 Oktober 2022 lalu saya ke RSPAD guna memeriksakan mata. Saya mengikuti rujukan yang diberikan oleh dr. Bambang. Toh di RSPAD, saya juga di-handle olehnya. Pagi sekitar jam 06.00, dengan menumpang ojek online, berangkatlah saya ke RSPAD Gatot Subroto.
Departemen Mata RSPAD Gatot Soebroto terletak di lantai 5. Saat saya tiba di sana, loket administrasi daftar belum buka. Namun pasien yang hendak berobat telah cukup ramai. Ada 20-25 pasien sudah duduk di ruang tunggu. Para pasien harus memasukkan berkas pendaftaran dengan menaruhnya di baki keranjang yang ada di meja loket administrasi.
Sekitar jam 07.00, loket dibuka dan mulai lah satu per satu nama pasien dipanggil untuk memastikan data dan melakukan perekaman sidik jari. Lalu tibalah giliran saya dan setelah melakukan perekaman sidik jari, saya pun menunggu di ruang tunggu Departemen Mata. Namun ini bukan berarti telah selesai proses pendaftarannya. Kami harus menunggu kertas Surat Eligibilitas Peserta (SEP) dicetak (warna kertanya pink) dan untuk ini, kita akan dipanggil lagi sekaligus menandatanganinya. Kalau sudah, barulah bisa ke proses selanjutnya seperti tensi atau bahkan langsung menunggu dokter konsulen kita datang.
BPJS Kesehatan trouble?
Ada sekitar 1 jam 30 menit saya duduk di ruang tunggu Departemen Mata. Tujuannya apa lagi kalau bukan menunggu dipanggil untuk menandatangani SEP berobat. Tiba-tiba terdengar pemberitahuan dari admin loket pendaftaran. “Bapak-bapak, ibu-ibu, saat ini BPJS sedang trouble…..” dan seterusnya. Langsung hati saya deg-degan. “Waduh BPJS bermasalah, gimana ini nasib SEP saya? Gimana ini saya berobatnya?”
Awalnya saya pikir, BPJS bermasalah hanya di RS tempat saya berobat. Ternyata masalahnya dialami pasien se-Indonesia. Saya baru tahu setelah iseng mengisi waktu tunggu dengan ber-WA. Dalam sebuah grup WA autoimun yang saya ikuti, saya bercerita mengenai BPJS yang sedang trouble di RS tempat berobat. Tak lama, seorang teman grup bercerita bahwa dirinya yang sedang menemani bapaknya berobat di RS Islam Pondok Kopi, Jakarta Timur, juga mengalami hal sama. BPJS-nya trouble dan dari kawan itu saya tahu bahwa bermasalahnya di lingkup nasional!
Setelah mengetahui hal ini, pikiran saya kembali cemas dan tidak keruan. Sudah terbayang akan lama sesi berobat jalan kali ini atau paling apes, ya tidak bisa dilanjutkan. Padahal target saya adalah berobat dan selesai secepat mungkin. Selain berobat, saya juga kepikiran pada pekerjaan atau tepatnya artikel yang belum selesai dan pastilah editor akan menagih. Namun intinya adalah pada tanggung jawab pekerjaan yang harus tuntas. Komitmen!
Baca Juga: Layanan Kesehatan Sulit Diakses, Ini Empat Usulan CISDI
Syukur kendala BPJS bisa diatasi. Apakah oleh Tim IT BPJS? Entahlah, yang jelas setelah menunggu dalam kecemasan dan kegalauan, nama saya dipanggil juga oleh admin loket pendaftaran Departemen Mata. “Karina Eka Dewi Salim! Karina Eka Dewi Salim!” Begitulah yang meluncur dari pengeras suara dan bergegas saya berjalan cepat menuju loket, petugas loket menanyakan nama dan menyodorkan fotokopi berkas pendaftaran yang telah saya masukkan sebelum loket buka sekaligus cetakan SEP. Petugas loket menujukkan tempat di SEP yang harus ditanda tangani. Lega rasanya setelah ini.
Saya pun kembali ke ruang tunggu untuk dipanggil tensi, saya mendapat nomor antrian 18. Selama menunggu, saya hanya bengong saja sambil memperhatikan sekeliling ruang tunggu. Ruangan ini lebih tepat disebut sebagai selasar panjang. Bagian kanan dan kirinya terdapat ruangan berjalur yang di dalamnya terdapat bilik untuk ruang periksa. Sepanjang ruang tunggu berjejer kursi berbahan besi pada sisi kiri dan kanan. Lebar ruang tunggu tak seberapa luas, sekitar 5-6 meter. Tak ayal dengan tambahan kursi-kursi pada sisi kanan dan kirinya menjadikan lebar ruang menyempit. Sedangkan panjang selasarnya sekitar 30 meter.
Sebenarnya saya lapar, saya membawa bekal tapi ditahan untuk tidak makan dulu. Takutnya saat sedang makan, nama saya dipanggil untuk tensi. Saya tak mau waktu makan saya tidak tenang. Namun, tunggu punya tunggu, kok nama saya tidak dipanggil juga. Bahkan hampir dua jam. Justru yang terdengar kembali adalah pengumuman mengenai BPJS yang trouble dari admin loket pendaftaran. “Bapak-bapak, ibu-bu, mohon antri dan tertib. BPJS sedang trouble..” dan seterusnya. Pengumuman berkumandang melalui pengeras suara di admin loket pendaftaran.
Dalam hati saya berpikir, waduh, kok trouble lagi? Kenapa begini ya? Bahkan sempat terlintas dalam benak saya, apa jangan-jangan sistem BPJS kena hack oleh Bjorka ya?
Antri Hingga Nomor Ratusan
Cerita berobat rawat jalan menggunakan BPJS dimana pendaftarannya bermasalah, sebenarnya bukan kejadian kemarin sore untuk saya. Pada bulan April 2022, saya mengalaminya saat hendak berobat di RSCM poli orthopaedi. Rumah sakit plat merah yang berlokasi di Salemba, Jakarta Pusat, ini sebenarnya telah menerapkan sistem pendaftaran online dan pencetakan SEP online secara mandiri. Di sana ada yang namanya alat yang disebut Anjungan Pendaftaran Mandiri (APM).
Lokasi APM tersebar di beberapa titik, saya biasanya mencetak SEP di APM yang berlokasi pada Gedung Utama. Unit Rawat Jalan Terpadu (URJT) RSCM. Bentuk APM mirip seperti alat pencetak karcis online atau biar lebih mudah dipahami, mirip-mirip dengan mesin ATM yang ada di bank.
Alurnya begini, pasien yang hendak kontrol harus melakukan perjanjian online terlebih dulu di aplikasi RSCM atau melalui situs RSCM Online. Setelah sukses membuat perjanjian, pada hari-H dan sesuai jam perjanjian kontrol, pasien menuju ke APM untuk melakukan pencetakan SEP online. Pada APM terdapat layar berukuran 10 inci yang telah diprogram sedemikian rupa. Pasien tinggal memasukkan kode perjanjian online yang telah kita buat sebelumnya melalui aplikasi RSCM atau situs RSCM online.
Selanjutnya, mesin APM akan memprosesnya dan cukup menunggu 1-2 menit maka akan tercetaklah kertas SEP di bagian belakang mesin APM. Kalau sudah dicetak, maka pasien bisa langsung menuju ke poli tempat terdaftar untuk rawat jalan.
Dengan mekanisme begitu seharusnya tidak memerlukan waktu yang lama. Sayangnya tidak demikian pada Selasa tanggal 5 dan 12 April 2022 lalu. Saya ingat mesin APM gagal mencetak SEP saya. Setiap kali nomor perjanjian online diinput ke layar APM, yang muncul adalah notifikasi Maaf Gagal Cetak! Dan diarahkan untuk mencetak SEP melalui admisi manual.
Baca Juga: Penyandang Hemofilia Butuh Peningkatan Akses Kesehatan
Pada Selasa, 5 April 2022 itu saya masih belum ngeh kalau gagalnya cetak SEP online ini berasal dari pihak BPJS-nya. Saya pikir apa pihak RS-nya atau masalah koneksinya? Baru paham setelah bertanya ke petugas sekuriti RS yang mengatakan permasalahan dari pihak BPJSnya. Info yang saya dapat, saat itu BPJS sedang melakukan peng-update-an data. Akan tetapi entah data apa? Tak hanya saya yang gagal mencetak SEP. Banyak sekali pasien di RSCM juga mengalami kendala sama seperti saya. Alhasil, di lobi admisi Gedung Utama URJT terjadi penumpukan manusia. Ya pasien, ya caregiver-nya, ya pegawai RSCM, semua tumplek ublek. Lobi yang berukuran besar itu terasa padat, para pasien yang tidak mendapatkan kursi, dengan cueknya duduk ngemper di lantai lobi.
Setelah gagal mencetak SEP, saya buru-buru menemui petugas sekuriti RSCM untuk meminta nomor antrian cetak SEP di admisi manual. Nomor antrian yang saya dapat kalau tak salah 367. Seumur-umur mendaftar untuk rawat jalan menggunakan BPJS, baru kali ini saya mendapat nomor antrian ratusan. Untung saja dengan sabar saya menunggu. Ada sekitar 1,5 jam saya berdiri menunggu hingga nomor saya dipanggil untuk masuk ke ruang tunggu khusus admisi cetak SEP manual. Setelah berhasil mencetak SEP, secepatnya saya menuju ke poli orthopaedi untuk kontrol.
Sebenarnya pengalaman ini bukan yang terburuk. Selasa minggu depannya, 12 April 2022 jauh lebih parah karena saya mendapat nomor antrian admisi manual di angka 700an. Segera yang terlintas, apa keburu saya mencetak SEP dan kontrol ke poli orthopaedi? Pada Selasa itu, saya kembali kontrol untuk menyerahkan hasil rontgen yang telah saya lakukan pada Rabu pekan sebelumnya.
Tiba-tiba seorang petugas sekuriti menanyakan nomor antrian saya. Ketika dilihatnya nomor 700 sekian-sekian, ia pun menyodorkan nomor antrian 600 sekian-sekian. Jadi saya maju 100 nomor. Lalu tak berapa lama, ada seorang ibu-ibu yang mencolek lengan bahu saya dan bertanya soal nomor antrian saya. Kertas kecil antrian saya tunjukkan kepadanya. Si ibu tiba-tiba menyerahkan nomor antrian yang dimilikinya ke saya. Dia memilih pulang saja karena tidak tahan mengantri. Saya sih senang saja menerimanya, terlebih nomor yang diberikan itu 500 sekian-sekian yang artinya maju lagi 100 nomor.
Jam 13.00 siang saya baru berhasil mencetak SEP di admisi manual dan bergegas ke poli orthopaedi untuk kontrol. Untunglah dokter konsulen saya masih ada di sana dan juga berkesempatan berkonsultasi langsung dengannya. Lega tapi juga bercampur lelah sekaligus tanda tanya.
Fokus perbaikan IT BPJS online
JIkalau dihitung-hitung, telah 7 tahun (sejak 2015) saya menggunakan BPJS untuk rawat jalan dan rawat inap dengan prevalensi lebih sering rawat jalan. Saya paham sekali bahwa program BPJS ini merupakan program kesehatan yang menganut prinsip gotong royong. Dengan menggunakan BPJS, kita bisa melakukan pengobatan gratis mulai dari fasilitas kesehatan tingkat I (puskesmas atau klinik kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS) hingga RS Tipe A sebagai rujukan yang tertinggi atau dengan kata lain berjenjang. Tidak mengherankan jika peserta BPJS jumlahnya sangat banyak dan saat berobat, pastinya kita harus sabar dan sadar untuk antri.
Namun, dari pihak BPJS-nya pun seharusnya berbenah. Terpenting adalah mengenai sistem online-nya. Seperti salah satunya, kejadian yang saya alami di RSCM. Masalah pendaftaran online ini ternyata berlarut-larut. Hal ini jika ditinjau dari sisi proses rawat jalan menjadi kontraproduktif karena menghambat alur pengobatan dan pelayanan di RS tempat pasien berobat.
Kalau untuk rujukan, selama ini telah cukup baik. Sistem online atau IT dari BPJS-nya inilah yang wajib menjadi perhatian. Terlebih, BPJS gencar mengkampanyekan supaya masyarakat Indonesia mendaftar pada program kesehatan ini. Bagaimana mau menampung peserta baru, jikalau untuk IT atau sistem online-nya masih kelas “ya, begitulah seadanya saja…”
Baca Juga: Gerak Tangkas Bangun Ketahanan Kesehatan Global
Realita yang jauh dari target
Sebuah studi peer-review dan sistematis baru yang menganalisis ratusan penyakit, cedera, dan faktor risiko di Indonesia menunjukkan bahwa sebenarnya ada kemajuan besar dalam derajat kesehatan rakyat Indonesia pada umumnya namun masih terdapat kesenjangan dalam beberapa indikator kesehatan antar provinsi. Benarkah demikian? Bagaimana dengan pengalaman yang sempat saya ceritakan di atas?
Hal ini tercantum dalam studi hasil kerja sama antara jaringan peneliti dan pembuat kebijakan dari lembaga pemerintah dan lembaga akademik di Indonesia, termasuk Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, Kementerian Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Badan Penyelenggara Statistik (BPS), dan Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di Fakultas Kedokteran University of Washington. Studi ini merupakan analisis beban penyakit secara sistematis dan komprehensif yang pertama untuk ke-34 provinsi di Indonesia, berdasarkan data dari Global Burden of Disease (GBD) Study 2019. GBD, yang kini memasuki tahun ke-30, merupakan pengamatan studi epidemiologi global yang terlengkap yang menyediakan alat untuk mengukur tantangan kesehatan di 204 negara dan wilayah di seluruh dunia.
Dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Menteri Kesehatan Republik Indonesia periode 2012–2014, Dr. Nafsiah Mboi menjelaskan, sebenarnya pemerintah telah lama menyadari adanya perbedaan status kesehatan antar daerah di Indonesia yang besar dan beragam ini.
“Dari analisis ini, kita mendapatkan seperangkat data yang dapat dibandingkan untuk 34 provinsi, yang dapat membantu pengembangan kebijakan dan program maupun untuk memantau kemajuan,” tutur Nafsiah.
Antara 1990 dan 2019 angka harapan hidup laki-laki dan perempuan meningkat di seluruh Indonesia: untuk laki-laki, terdapat peningkatan dari usia 62,5 menjadi 69,4, perubahan positif sebesar 6,9 tahun. Untuk perempuan selama periode yang sama, angka harapan hidup meningkat dari usia 65,7 menjadi 73,5, meningkat 7,8 tahun.
Provinsi Bali memiliki angka harapan hidup tertinggi pada 2019 yaitu 75,4 tahun, sedangkan Provinsi Papua terendah dengan 65,2, selisih 10,2 tahun. Probabilitas kematian dari lahir hingga usia 20 dan dari 20 hingga 55 menurun di semua provinsi untuk kedua jenis kelamin, tetapi usia 55 hingga 90 tahun meningkat di Papua, Maluku Utara, Papua Barat, Aceh, Kalimantan Timur, dan Banten.
Tekanan darah sistolik yang tinggi dan merokok penggunaan tembakau termasuk di antara lima faktor risiko utama untuk semua provinsi. Gizi buruk pada anak dan ibu merupakan faktor risiko utama untuk Kalimantan Utara, Gorontalo, dan Papua, dan faktor risiko utama kedua di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Indeks massa tubuh yang tinggi merupakan faktor risiko utama untuk Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur, dan faktor risiko utama kedua untuk Kepulauan Bangka-Belitung, Kalimantan Utara, Jakarta, Papua Barat, dan Papua.
Proses pelaksanaan studi beban penyakit subnasional pertama ini merupakan proses pembelajaran yang penting bagi banyak orang dalam sistem kesehatan kita yang bekerja dengan tim IHME untuk merencanakan, melaksanakan, dan menganalisis situasi kesehatan khusus untuk Indonesia ini. Salah satu manfaat besar dari studi beban penyakit subnasional pertama ini adalah kesempatan untuk pengembangan kapasitas untuk pengumpulan dan analisis data ini di seluruh negeri.
“Kita sekarang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas mendesak yaitu melakukan analisis kesehatan di tingkat kabupaten,” sambung Nafsiah Mboi.
“Temuan penelitian ini sangat penting untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mengurangi beban penyakit di Indonesia karena menunjukkan faktor risiko dan penyakit utama di setiap provinsi, sehingga memungkinkan untuk merencanakan dan mengimplementasikan program dan kebijakan di tingkat lokal,” kata Prof Ali Mokdad dari IHME. “Kolaborasi dengan rekan-rekan di Indonesia memungkinkan kami untuk menyediakan data yang lebih baik untuk kesehatan yang lebih baik.”
Transisi epidemiologis Indonesia terus berlanjut dan memperkenalkan tantangan baru yang signifikan terhadap sistem kesehatan. Penurunan beban penyakit menular di beberapa propinsi berjalan cukup lambat, sementara penyakit tidak menular terus mempengaruhi kesehatan masyarakat Indonesia, meskipun dalam pola yang tidak merata di seluruh provinsi. Penyakit tidak menular seperti diabetes juga isu kebijakan kesehatan yang mendesak—diabetes adalah penyakit yang sangat mahal untuk diobati dan dikelola.
Selama 30 tahun terakhir, dan sejak Indonesia meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014, penyakit menular seperti TB, diare, dan infeksi saluran pernapasan bawah tetap menjadi sumber utama Disability-adjusted Life Years (DALYs) atau jumlah tahun hidup sehat yang hilang di Indonesia, sedangkan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung iskemik dan diabetes melonjak.
DALY adalah metrik universal untuk jumlah tahun sehat yang hilang karena penyebab spesifik dan faktor risiko. DALY dihitung dengan menambahkan jumlah tahun hidup yang hilang karena kematian dan jumlah tahun hidup sehat yang hilang akibat sakit atau disabilitas karena penyebab dan faktor risiko tertentu.
Pungkas Bahjuri Ali, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS Indonesia menjelaskan, temuan dari studi beban penyakit subnasional pertama untuk Indonesia ini memberikan dasar yang kuat untuk merumuskan kebijakan penanganan penyakit menular dan tidak menular serta memperkuat sistem kesehatan.
Oleh karena itu, melanjutkan investasi dalam program-program yang menangani beban tinggi baik dari penyakit menular dan tidak menular di Indonesia dengan memanfaatkan estimasi di tingkat subnasional tidak hanya akan membantu mengatasi kesenjangan kesehatan antar provinsi dan regional tetapi juga meningkatkan profil kesehatan negara secara keseluruhan.
Pemerintah Indonesia telah berinvestasi dalam berbagai program untuk mengatasi penyakit menular, seperti Program Pengendalian Tuberkulosis Nasional yang memberikan panduan kebijakan dan pengawasan terhadap tujuan Indonesia untuk mengeliminasi tuberkulosis pada tahun 2035. Untuk mempercepat eliminasi malaria, Indonesia juga menginvestasikan sekitar US$348 juta antara tahun 2003 dan 2017 untuk pengadaan obat-obatan, kelambu, dan tes cepat melalui Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria.
Untuk mengatasi meningkatnya beban penyakit tidak menular, pemerintah Indonesia telah meluncurkan kampanye dan program kesehatan, seperti Gerakan Indonesia Lawan Diabetes, yang meningkatkan kesadaran tentang pencegahan dan pengobatan diabetes.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memprakarsai Program Pengelolaan Penyakit Kronis (PROLANIS) pada tahun 2014 untuk memberikan pelayanan kesehatan proaktif bagi pasien penyakit kronis seperti diabetes mellitus.
Prof. Laksono Trisnantoro, Ketua Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada menerangkan, ketersediaan fasilitas kesehatan terburuk terdapat di provinsi dengan hasil kesehatan rendah. Situasi ini merupakan tantangan berat untuk memfokuskan sumber daya pemerintah yang terbatas untuk mempersempit kesenjangan antar provinsi.
“Lebih banyak sumber daya untuk kesehatan harus dimobilisasi baik oleh pemerintah serta melalui pendanaan swasta dengan menggunakan langkah-langkah inovatif. Laporan ini diharapkan dapat mendorong komitmen pembuat kebijakan pusat dan daerah untuk berinvestasi lebih banyak dalam kegiatan kesehatan masyarakat,” tutur Prof. Laksono.
Analisis ini memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi kesehatan di Indonesia sesaat sebelum pandemi COVID-19 dan kemanjuran kebijakan dan program kesehatan yang diterapkan di Indonesia yang mungkin tidak terdeteksi karena pandemi.
Baca Juga: Produksi Alat Kesehatan Harus Dominan Bahan Baku Lokal
Upaya gap-tech menjadi high-tech
Tantangan pada pendataan pasien untuk mengakses layanan kesehatan berbasis teknologi masih cukup besar. Kondisi yang saya alami dengan BPJS Kesehatan yang trouble menandakan masih lemahnya sistem pendataan berbasis teknologi.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam sebuah konferensi pers tentang kesenjangan data kesehatan menceritakan, ambisi pemerintah melaksanakan transformasi digital sektor kesehatan belum dibarengi pemerataan infrastruktur dan SDM kesehatan yang memadai.
Di tingkat layanan primer, sebagai contoh, temuan Riset Fasilitas Kesehatan 2019 menyebut terdapat 21,3 persen atau 2.097 puskesmas yang belum terfasilitasi akses internet. Ditambah lagi hanya terdapat 2,19 persen puskesmas di Indonesia yang memiliki nakes khusus bidang informatika kesehatan.
Pemerataan infrastruktur dan SDM kesehatan tersebut perlu diperhatikan mengingat Permenkes 24/2022 tentang Rekam Medis menetapkan kewajiban layanan kesehatan mengimplementasikan Rekam Medis Elektronik dengan masa transisi hingga 31 Desember 2023.
Permenkes dimaksud merupakan kerangka regulasi pendukung dari implementasi transformasi teknologi kesehatan yang menjadi bagian dari pilar ke-6 Transformasi Kesehatan. Kebijakan ini hadir sebagai pembaharuan dari aturan sebelumnya yaitu PMK nomor 269 tahun 2008 yang dimutakhirkan menyesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan pelayanan, kebijakan dan hukum di masyarakat
“Kementerian Kesehatan menyadari perkembangan teknologi digital dalam masyarakat yang mengakibatkan transformasi digitalisasi pelayanan kesehatan, sehingga rekam medis perlu diselenggarakan secara elektronik dengan prinsip keamanan dan kerahasiaan data dan informasi,” ujar Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Teknologi Kesehatan Setiaji pada konferensi secara virtual terkait Pemanfaatan Rekam Medis Elektronik di Jakarta, Jumat, 9 September 2022 lalu.
Rekam medis elektronik ini harus diperkuat dengan beberapa regulasi lain seperti Telemedisin, kemudian penerapan bioteknologi, dan juga teknologi yang lain dengan menggunakan dasar rekam medis elektronik. Diharapkan seluruh fasyankes dapat siap beradaptasi untuk mentransformasikan layanan kesehatan dengan meningkatkan kapabilitas dan menjaga integritas layanan kesehatan untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang lebih baik
“Tahun ini kita akan melakukan pemetaan terhadap seluruh fasilitas kesehatan berdasarkan Indeks Kematangan Digital. Nanti bisa diketahui Faskes mana yang sudah siap atau yang belum siap. Itu nanti ada levelnya, dan kemudian dari situlah kita gunakan untuk menerapkan kebijakan ini,” ucap Setiaji.
Selanjutnya, pasien berhak mendapatkan isi rekam medis miliknya dan pemberian akses atas persetujuan pasien. Fasyankes rujukan memiliki hak akses terhadap isi rekam medis elektronik seorang pasien atas persetujuan pasien. Fasyankes wajib terhubung melalui platform terintegrasi dengan SATUSEHAT yang telah disediakan oleh Kementerian Kesehatan.
Kemenkes akan memfasilitasi fasilitas-fasilitas kesehatan khususnya di Puskesmas yang tidak memiliki kemampuan SDM secara digital. Program ke depan Kemenkes akan menambah SDM digital di Puskesmas untuk membantu menerapkan digitalisasi. Sementara untuk rumah sakit dengan adanya digitalisasi ini tidak perlu menambah SDM yang banyak karena sebenarnya akan menginput rekam medis adalah dokter-dokter yang memeriksa dan kemudian dibantu oleh perawatnya.
“Jadi itu sebenarnya tidak perlu lagi menambah SDM. Justru tantangannya adalah bagaimana meminta dokter atau perawat untuk menginput data hasil diagnosisnya langsung ke sistem ini. Jadi sebenarnya tidak ada penambahan SDM baru,” ungkap Setiaji.
Rekam medis elektronik ini dapat diakses oleh pasien melalui aplikasi PeduliLindungi. PeduliLindungi ini bukan hanya untuk COVID-19 tetapi dapat digunakan juga untuk mengakses seluruh layanan kesehatan.
“Jadi begitu rumah sakit atau pihak lain ingin mengakses data – data medis yang bersangkutan itu akan muncul di dalam PeduliLindungi dalam versi yang baru yang di dalamnya ada informasi layanan kesehatan,” ujar Setiaji.
Selanjutnya, bagi masyarakat yang tidak memiliki ponsel pintar atau aplikasi PeduliLindungi bisa mengakses langsung di fasilitas layanan kesehatan.
Perlindungan data pasien dijamin terjaga karena perlindungannya bukan hanya ada di dalam sistem yang dilakukan di Kemenkes tetapi juga dilakukan di fasilitas layanan kesehatan.
“Tentunya ini menjadi critical dan oleh karena itu kami saat ini juga sudah melakukan piloting di beberapa rumah sakit dan menyiapkan panduan bagaimana mengamankan data dan kemudian bagaimana menyiapkan rekam medis elektronik yang terstandar dan kemudian bisa dijaga keamanannya,” tutur Setiaji.
Saran wujudkan kesehatan high-tech
Yurdhina Meilissa, Chief Strategist CISDI menambahkan, bahwa sektor kesehatan memproduksi banyak sekali data, dan jika digabungkan dan dianalisis dapat menjadi insight yang membantu operasional keseharian fasilitas layanan kesehatan dan kantor asuransi kesehatan. “Mengkombinasikan sumber-sumber informasi kesehatan yang berbeda juga dapat membantu pengambil kebijakan membuat patokan kinerja dan menargetkan intervensi sehingga delivery layanan bisa lebih berkualitas dan efisien,” tuturnya.
Yurdhina meyakini fragmentasi data kesehatan yang masih terjadi menyulitkan seluruh pihak menyarikan lebih banyak masukan dari data yang ada. Akibatnya misalnya, ketidaktepatan dalam targeting (mis-targeting). Data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) menjadi rujukan bagi banyak program bantuan sosial di Indonesia bergantung pada database kependudukan, sistem pencatatan sipil dan statistik vital (Civil Registration and Vital Statistic/CVRS).
“Namun, DTKS yang jarang di-update dan sistem identifikasi dan otentikasi JKN yang tidak terintegrasi secara memadai dengan sistem verifikasi NIK mengakibatkan tingginya risiko duplikasi entry pada data kepesertaan program JK, fraud, dan juga penyalahgunaan identitas untuk mendapatkan akses terhadap paket manfaat. Cakupan kepemilikan NIK dan KTP yang rendah juga menjadi penyebab eksklusi kelompok rentan,” ujarnya.
Di samping interoperabilitas data yang belum optimal, hingga saat ini Indonesia belum memiliki instansi pusat yang berwenang melakukan pembinaan dan standarisasi terkait data atau dikenal dengan pembina data. Upaya tersebut masih sebatas perencanaan yang belum dieksekusi.
Hingga saat ini, presiden juga belum menetapkan pembina data untuk data sektor kesehatan dalam Perpres Satu Data Indonesia. Padahal, penetapan pembina data untuk sektor kesehatan ini penting agar dapat menjadi acuan seluruh instansi, baik pusat maupun daerah, dalam proses bagi dan pakai data kesehatan serta integrasi data kesehatan.
“Sementara dari sisi kapasitas layanan kesehatan, sebanyak 38,1 persen atau 3.745 puskesmas belum memiliki Sistem Pencatatan Manajemen Puskesmas (SIMPUS). Akibatnya informasi disalin secara manual beberapa kali dengan potensi error yang tinggi,” ungkap Yurdhina kembali.
Berdasarkan catatan tersebut, CISDI memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, kepada Kemenkumham, DPR RI, dan Panitia Undang-undang DPD untuk meninjau peraturan perundangan terkait tata kelola data dan informasi kesehatan agar ada harmonisasi peraturan.
Kedua, untuk Kementerian Komunikasi dan Informatika mengesahkan peraturan mengenai Standar Interoperabilitas Data yang menjadi acuan bagi Pembina Data di sektor yang lebih spesifik.
Ketiga, Bappenas mengusulkan Kementerian Kesehatan sebagai Pembina Data sektor kesehatan kepada Presiden.
Keempat, Kementerian Kesehatan meningkatkan kesiapan infrastruktur pendukung dan kapasitas sumber daya manusia kesehatan melalui alokasi anggaran dan pendekatan sosialisasi yang baik mengenai tata kelola data dan transformasi digital kesehatan.
“CISDI mendorong pemerintah segera memperbaiki tata kelola data dan informasi kesehatan. Pengelolaan data selama ini masih bersifat ego-sektoral karena penataannya terpecah antara otoritas lembaga dan kementerian berbeda. Indonesia juga belum secara optimal menerapkan prinsip interoperabilitas atau kesinambungan penggunaan data,” tegasnya.
Selanjutnya: Dikejar Deadline Janji Politik Atasi Stunting
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post