Pada 20 Oktober 2022, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis hasil pengawasan yang dilakukan terhadap sirup obat yang diduga mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) karena menyebabkan gagal ginjal akut pada anak.
Pasalnya, hasil pengawasan rutin BPOM menemukan sirup obat yang beredar masih memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu. Melalui siaran resminya, BPOM mengaku telah melakukan tindakan regulatori berbasis risiko, berupa penelusuran sirup obat yang terdaftar dan beredar di Indonesia, pelaksanaan sampling, dan pengujian secara bertahap terhadap sirup obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG.
“Dalam pelaksanaan pengujian terhadap dugaan cemaran EG dan DEG dalam sirup obat, acuan yang digunakan adalah Farmakope Indonesia dan/atau acuan lain yang sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai standar baku nasional untuk jaminan mutu semua obat yang beredar,” tulis BPOM.
BPOM menyebut sorup obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG kemungkinan berasal dari 4 (empat) bahan tambahan yaitu; propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol, yang bukan merupakan bahan yang berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan sirup obat. Sesuai Farmakope dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.
BPOM akhirnya melakukan sampling terhadap 39 bets dari 26 sirup obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG berdasarkan kriteria sampling dan pengujian.
Pertama, diduga digunakan pasien gagal ginjal akut sebelum dan selama berada/masuk rumah sakit.
Kedua, diproduksi oleh produsen yang menggunakan 4 (empat) bahan baku pelarut propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol dengan jumlah volume yang besar.
Baca Juga: Menyelami Pengalaman Korban Rokok yang Masih Anak-anak
Ketiga, diproduksi oleh produsen yang memiliki rekam jejak kepatuhan minimal dalam pemenuhan aspek mutu.
Keempat, diperoleh dari rantai pasok yang diduga berasal dari sumber yang berisiko terkait mutu.
Meski demikian, hasil uji cemaran EG terhadap lima obat tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan sirup obat tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut. Alasannya, selain penggunaan obat, masih ada beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut seperti infeksi virus, bakteri Leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C), atau sindrom peradangan multisistem pasca COVID-19.
Sebelumnya, dr. M Syahril, Juru Bicara Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa penyakit gagal ginjal akut pada anak tidak ada kaitannya dengan vaksinasi maupun infeksi COVID-19. “Sampai saat ini kejadian gagal ginjal akut tidak ada kaitannya dengan vaksin Covid 19 maupun infeksi COVID-19,” terang dr. Syahril.
Oleh karenanya, hingga kini Kemenkes juga masih terus dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penyebab pasti gagal ginjal akut pada anak. Penyelidikan epidemologi juga dilakukan dengan melakukan pengawasan dan pemeriksaan untuk mengetahui infeksi-infeksi yang menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak. Pemeriksaan mencakup swab tenggorokan, swab anus, pemeriksaan darah dan kemungkinan intoksifikasi.
“Saat ini Kemenkes bersama tim tengah melakukan penyelidikan epidemologi kepada masyarakat, tim akan menanyakan berbagai jenis obat-obatan yang dikonsumsi maupun penyakit yang pernah di derita 10 hari sebelum masuk RS/sakit. Harapannya hasilnya bisa segera kami dapatkan sebagai informasi untuk penanganan selanjutnya,” ungkap dr. Syahril.
Sebagai bentuk kewaspadaan dini, dia menyebut Kemenkes meminta masyarakat terutama orang tua yang memiliki anak usia 0-18 tahun untuk aktif melakukan pemantauan umum dan gejala yang mengarah kepada gagal ginjal akut seperti penurunan volume urine yang dikeluarkan, demam selama 14 hari, gejala ISPA, dan gejala infeksi saluran cerna.
“Gagal ginjal akut pada anak ini memiliki gejala yang khas yakni penurunan volume urin secara tiba-tiba. Bila anak mengalami gejala tersebut, sebaiknya segera dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut,” imbau dr. Syahril.
Baca Juga: Anak-anak Kita Tidak Baik-baik Saja
Izin edar ditarik
Berkaca dari temuan terbaru, menyikpai hasil uji 5 (lima) sirup obat dengan kandungan EG yang melebihi ambang batas aman sebagaimana tercantum pada poin 5, BPOM telah melakukan tindak lanjut yaitu memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan sirup obat dari peredaran di seluruh Indonesia. Industri farmas terkait juga diminta melakukan pemusnahan untuk seluruh bets produk. Penarikan mencakup seluruh outlet antara lain; pedagang besar farmasi, instalasi farmasi, pemerintah, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan.
BPOM telah memerintahkan kepada semua industri farmasi yang memiliki sirup obat yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG untuk melaporkan hasil pengujian mandiri sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha. Industri farmasi juga dapat melakukan upaya lain seperti mengganti formula obat dan/atau bahan baku jika diperlukan.
“BPOM bersama Kementerian Kesehatan, pakar kefarmasian, pakar farmakologi klinis, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan pihak terkait lainnya masih terus menelusuri dan meneliti secara komprehensif berbagai kemungkinan faktor risiko penyebab terjadinya gagal ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI),” sambung BPOM.
Pihaknya akan terus memperbaharui informasi terkait dengan hasil pengawasan terhadap sirup obat sesuai dengan data yang terbaru. Selain itu, BPOM mendorong tenaga kesehatan dan industri farmasi untuk terus aktif melaporkan efek samping obat atau kejadian tidak diinginkan pasca penggunaan obat kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional melalui aplikasi e-MESO Mobile.
Kembali ke aturan dan protokol
Prof Tjandra Yoga Aditama selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI sekaligus mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara menegaskan, guna menangani kejadian ledakan penyakit sebenarnya WHO sudah mempunyai berbagai pedoman, antara lain dalam bentuk “WHO Outbreak Toolkit”. Pedoman ini berisikan protokol atau tahapan untuk investigasi penyakit.
Dia menerangkan, bentuk investigasi yang dilakukan untuk mengetahui hal misterius meliputi jawaban dari enam pertanyaan. “Enam prinsip dasar ini dapat juga digunakan untuk menganalisa gangguan ginjal yang kini cukup meresahkan masyarakat kita,” kata Prof. Tjandra.
Pertama adalah “who”, siapa yang terserang penyakit ini. Ada 3 rincian yakni; demografi umur, jenis kelamin, paparan rinci gejala dan tanda penyakit pada masing-masing pasien, dan jumlah kasus dan kematian yang sebenarnya terjadi. “Ini juga bukan yang hanya terlaporkan saja,” terangnya.
Kedua adalah “where” yang juga dirinci dalam 3 hal; tempat terjadinya, bagaimana gambaran epidemiologis tempat/area yang melaporkan kasus, dan berapa luas area yang ada pasien, atau area mana saja perluasan kejadian penyakit terjadi.
Baca Juga: Tak Hanya Ancam Orang Tua, Obesitas Banyak Menjangkiti Anak-anak
Ketiga adalah “what” yang dirinci menjadi dua hal yakni; apa sebenarnya penyakit tersebut, apa penyebab kematian, serta apakah ada produk tertentu yang diduga menjadi penyebab penyakit, atau barangkali kebiasaan tertentu dan juga mungkin pencemaran lingkungan.
Keempat adalah “how” dengan tiga rincian yang harus terjawab yakni; menemukan hubungan/kesamaan antara kasus-kasus yang ada, baik pola etnik, atau kebiasaan, atau riwayat penyakit, makanan, pola tempat tinggal dll. Selanjutnya, jumlah masyarakat yang berisiko jatuh sakit, selain kasus yang sudah ada, dan menemukan sesuatu kejadian khusus sebelum mulai dilaporkannya lonjakan kasus saat ini.
Kelima adalah tentang kapasitas respon mengatasi keadaan, yang juga ada tiga hal. Pertama, bagaimana kemampuan laboratorium dan rumah sakit di berbagai daerah yang terkena? Kedua, sarana dan prasana apa yang pertama kali diperlukan? Ketiga, apakah ada upaya untuk mencegah penambahan kasus?
Keenam adalah tentang persepsi, setidaknya dalam dua aspek yakni; bagaimana kesan petugas lapangan yang menangani kasus, dan juga tim investigasinya, serta apakah ada informasi lain yang dapat digali di lapangan.
Industri farmasi buka suara
Merebaknya temuan akan obat-obatan yang berbahaya bagi anak, sejumlah perusahaan farmasi pun mengeluarkan pernyataan.
PT Kalbe Farma Tbk dan anak perusahaan salah satunya. Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kalbe Farma menanggapi pemberitaan tentang kebijakan tidak mengedarkan atau mengkonsumsi obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair/sirup, Kalbe menyatakan bahwa perusahaan selalu menjaga kualitas dan memenuhi standar pembuatan obat (CPOB) dan distribusi obat (CDOB) yang sudah ditetapkan BPOM.
“Kebijakan antisipatif pemerintah terhadap pengaturan peredaran produk sediaan sirup merupakan bentuk kehati-hatian yang juga menjadi perhatian Kalbe dalam memasarkan obat kepada masyarakat,” tulis Kalbe dalam pernyataan tertulis.
Perusahaan juga menjamin akan mematuhi seluruh ketentuan BPOM dan tidak menggunakan bahan baku etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Pihak Kalbe sebagai bagian dari industri farmasi akan mematuhi arahan dan permintaan BPOM untuk memeriksa kembali produk-produk Kalbe yang ada kandungan EG dan DEG, agar aman untuk dikonsumsi masyarakat.
“Kalbe akan terus berkoordinasi dengan Badan POM dan pihak terkait lainnya dalam hal peredaran obat sediaan sirup sesuai dengan panduan yang ditetapkan pemerintah. Perusahaan berkomitmen untu menjaga ketersediaan obat bagi masyarakat dan pasien yang membutuhkan,” ujarnya.
Selanjutnya: Aksesibilitas Anak-Anak Usia Sekolah pada Pembelian Rokok Batangan
Penulis: Irsyan Hasyim & Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post