Tar dan nikotin merupakan bahan berbahaya yang umum diketahui oleh masyarakat luas yang terkandung di dalam sebatang rokok. Selain dua zat tersebut, Kementerian Kesehatan juga kerap mengampanyekan berbagai bahan racun dan berbahaya lainnya yang ada di dalam sebatang rokok.
Dikutip dari infografis “Kandungan dalam Sebatang Rokok” yang dirilis Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan pada 8 Juni 2018, sebatang rokok mengandung berbagai zat, yaitu; hydrogen cyanide, acetone, toluidine, ammonia, naphtylamine, urethane, methanol, toluene, pyrene, arsenic, dimethylnitrosamine, dibenzacridine, naphthalene, phenol, butane, cadmium, polonium-210, carbon monoxide, benzopyrene, dan vinyl chloride.
Berbagai kandungan berbahaya tersebut berpotensi masuk ke dalam tubuh saat sebatang rokok dibakar dan diisap asapnya. Tar dan nikotin menjadi bahan yang umum diketahui masyarakat karena di dalam kemasan rokok tercantum kadar dua zat tersebut.
Zat-zat berbahaya tersebut mengancam kesehatan para perokok yang aktif mengisap asap tembakau hingga perokok pasif. Perokok pasif terancam dari paparan asap rokok secara langsung dari para perokok maupun dari benda-benda yang terpapar asap rokok sebelumnya, seperti baju hingga perabot rumah.
Karena itu, umumnya masyarakat mengenal ancaman bahaya tembakau hanya dari wujudnya sebagai sebatang rokok, terutama yang sudah dibakar dan diisap. Namun, dalam kenyataannya, bahaya daun tembakau sudah ada sejak dari perkebunan dan mengancam para petani yang bersinggungan dengannya secara langsung.
Proses produksi tembakau, atau Nicotiana tabacum, memiliki dampak negatif bagi kesehatan petani yang setiap hari menanam, mengolah, dan memanen tembakau. Menurut Kulik et al. (2017, dalam Maharani, 2021), pekerja perkebunan tembakau dapat menyerap nikotin dengan jumlah setara dengan 50 batang rokok karena tubuhnya bersentuhan dengan daun tembakau.
Proses panen tembakau yang dilakukan pada pagi hari, saat daun tembakau basah karena embun. Daun yang basah karena embun membuat tingkat absorbsi nikotin ke dalam tubuh petani tembakau semakin tinggi. Selain karena embun, kondisi daun tembakau basah juga dapat terjadi setelah hujan, atau bahkan karena keringat dari petani yang bekerja dan bersentuhan dengan daun tembakau.
Baca Juga: Bukan Kenaikan Cukai yang Bikin Petani Tembakau Merugi
Persinggungan dengan daun tembakau basah membuat petani tembakau berisiko mengalami keracunan nikotin akut yang disebut dengan green tobacco sickness. Gejala yang sering terjadi adalah pusing, sakit kepala, mual, muntah, bahkan kejang.
Kurang terdokumentasi
Gejala-gejala yang muncul akibat persinggungan dengan daun tembakau basah pertama kali dilaporkan pada 1970 oleh Weizenrecker dan Deal terhadap pekerja perkebunan tembakau di Florida dan disebut sebagai “cropper sickness”. Setelah ditemukan bahwa gejala tersebut muncul karena absorbsi nikotin dari daun basah pada kulit pekerja perkebunan tembakau, baru kemudian disebut sebagai green tobacco sickness.
Menurut Reddy dan Ashok (2019), nikotin adalah senyawa alkaloid dalam tembakau yang memiliki berat molekul rendah serta mudah larut dalam lemak dan air. Kelembaban yang terjadi pada daun tembakau karena embun, hujan, dan keringat membuat nikotin mudah diserap oleh kulit.
Robert HM et al (2010) dalam Yusmita dan Astari (2020) menyebutkan kelembaban pada daun tembakau akibat embun, hujan, dan keringat kemungkinan mengandung sembilan milligram nikotin terlarut per 100 mililiter embun yang kira-kira setara dengan kandungan nikotin pada enam batang rokok.
Green tobacco sickness masih belum banyak dibahas sebagai salah satu penyakit di bidang keselamatan kerja. Hal itu karena kejadiannya sering tidak dilaporkan sehingga tidak terdokumentasi dengan baik. Menurut Fotedar dan Fotedar (2017), petani tembakau yang mengalami green tobacco sickness cenderung tidak dapat memahami penyakit mereka maupun gejala yang mereka alami.
Persinggungan antara petani dengan daun tembakau tidak hanya terjadi saat memetik daun tembakau ketika panen, tetapi juga dalam proses pengangkutan. Panen daun tembakau dilakukan dengan tangan secara manual dan jarang menggunakan mesin karena terkendala biaya yang mahal. Selain itu, pemetikan daun menggunakan tangan memungkinkan petani untuk memilih daun tembakau yang lebih baik.
Baca Juga: Petani Tembakau Butuh Pendampingan Tata Niaga
Padahal proses panen menggunakan tangan dapat menyebabkan lapisan kulit pada tangan terkikis sehingga meningkatkan risiko green tobacco sickness pada petani tembakau. Selain melalui nikotin yang tercampur melalui embun, hujan maupun keringat, green tobacco sickness juga dapat terjadi pada seseorang yang sengaja atau tidak sengaja menelan tembakau atau larutan yang mengandung nikotin. Umumnya, gejala green tobacco sickness terjadi saat bekerja atau beberapa jam setelah selesai bekerja.
Dalam kondisi basah, nikotin akan mudah larut dan masuk ke dalam tubuh petani saat terjadi kontak dengan kulit. Nikotin akan masuk ke pori-pori kulit dan masuk ke dalam aliran darah lalu didistribusikan ke seluruh tubuh dan otak.
Dikutip dari buku “Petani Tembakau di Indonesia: Sebuah Paradoks Kehidupan” yang disusun Sudibyo Markus et al (2015), green tobacco sickness telah diteliti di beberapa negara dan menunjukkan tingkat insidensi yang cukup tinggi.
Di Brazil, 107 dari 130 sampel kelompok menunjukkan gejala seperti pusing, sakit kepala, lemas, mual, dan muntah dengan kecenderungan lebih tinggi pada laki-laki, bukan perokok, dan bekerja saat panen di perkebunan tembakau. Sementara itu, di Carolina, Amerika Serikat, kejadian green tobacco sickness terjadi pada 18,4 persen dari 304 petani dengan gejala gatal-gatal dan luka di kulit.
Bagaimana dengan di Indonesia? Di Kabupaten Temanggung ditemukan hingga 63,7 persen petani (Suprapto, 2005) dan di Kabupaten Jember ditemukan 66 persen dari 89 petani (Rokhmah, 2013) mengalami green tobacco sickness dengan gejala pusing, sakit kepala, dan kelelahan.
Faktor risiko kejadian green tobacco sickness adalah pengalaman kerja, letak daun yang dipetik, dan penggunaan alat pelindung diri. Penggunaan alat pelindung diri dan pakaian yang melindungi sentuhan langsung dengan daun tembakau basah dapat mengurangi kemungkinan terkena green tobacco sickness.
Baca Juga: Jangan Mau Dikibuli, Petani Tembakau Harus Berani Diversifikasi Usaha Tani
Sejarah tembakau di Indonesia
Sebagian pihak yang mendukung industri tembakau dan menolak pengendalian tembakau kerap kali mengampanyekan rokok sebagai “warisan budaya Indonesia”. Padahal, tanaman tembakau dan budaya mengisap tembakau yang dibakar sejatinya bukan berasal dari wilayah Nusantara.
Menurut catatan sejarah, tembakau masuk ke Nusantara Ketika bangsa Belanda dipimpin Cornelis de Houtman memasuki wilayah Banten pada 1596. Lalu dari mana sebenarnya tanaman tembakau berasal?
Menurut Gately (2001, dalam Markus et al, 2015), tembakau sudah dikenal sejak 18.000 tahun lalu dan merupakan tanaman asli benua Amerika yang ditanam dan dikembangbiakan sejak 5000 – 3000 sebelum masehi oleh penduduk yang tinggal di Pegunungan Andes. Tembakau diketahui menimbulkan efekk halusinasi dan penurunan kesadaran yang digunakan untuk ritual berkomunikasi dengan dewa-dewa penduduk setempat.
Ekspedisi Cristopher Columbus ke benua Amerika pada 1492 mengantarkan orang Eropa berkenalan dengan tembakau untuk pertama kali. Istilah tembakau berasal dari bahasa penduduk asli Kuba, yaitu “datapuka” yang kemudian diucapkan sebagai tobacco, tabak, hingga akhirnya menjadi tembakau dalam bahasa Indonesia.
Bangsa Spanyol yang membawa budak Afrika ke Amerika pada 1501 kemudian mulai mengembangkan perkebunan tembakau di Haiti, sedangkan di Eropa tanaman tembakau hanya menjadi tanaman hias di istana-istana karena memiliki bunga yang bagus.
Perkebunan tembakau mulai dikembangkan di Perancis pada 1559 oleh Jean Nicot yang kemudian memberi nama tanaman tersebut dengan nicotiana. Tembakau dikembangkan sebagai obat herbal dengan dikunyah daunnya hingga diisap asapnya melalui pipa dan dikenal sebagai komoditas istimewa bagi para bangsawan.
Di Inggris, tembakau mulai dikenalkan Sir Francis Drake pada 1562 yang membawanya dari Pantai Barat Benua Amerika yang kini dikenal sebagai California. Ketika Sir Wallter Raleigh menguasai Pantai Timur Benua Amerika (sekarang Virginia) pada 1586, dia bersama penduduk asli membuka perkebunan tembakau. Kapal-kapal Portugis, Spanyol, dan Inggris kemudian membawa tembakau sebagai bekal dalam pelayaran ke Genoa, Timur Tengah, hingga Asia.
Sebelum membawa tembakau untuk ditanam di Nusantara, bangsa Belanda mengembangkan perkebunan tembakau di Srilangka yang hasilnya dijual ke berbagai wilayah Asia. Tembakau yang digulung, yang kemudian disebut cerutu dalam bahasa Indonesia, disebut dengan “shurutu” dalam bahasa Tamil yang artinya “menggulung”. Bangsa Belanda memonopoli perdagangan tembakau di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Baru pada 1800-an perkebunan tembakau dikembangkan di wilayah Nusantara. Tanaman tembakau merupakan salah satu tanaman yang wajib ditanam system tanam paksa (cultuurstelsel) yang dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda selama 40 tahun di Pulau Jawa.
Ketika tanam paksa berakhir pada 1870, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memberlakukan Undang-Undang Agraria yang memperkuat perkebunan-perkebunan besar. Melalui Undang-Undang tersebut, dikembangkan perkebunan tembakau dengan membuka hutan secara besar-besaran di Deli, pesisir Timur Sumatera dengan mendatangkan kuli-kuli untuk bekerja. Nasib para kuli yang bekerja di perkebunan tembakau dilaporkan sangat menyedihkan. Mereka hidup melarat dengan angka kematian tinggi.
Selanjutnya: Aku, Anak Petani Tembakau yang Anti Rokok
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post