Petani tembakau di Indonesia menghadapi berbagai persoalan, mulai dari kesejahteraan yang rendah, kebijakan tata niaga tembakau yang tidak menguntungkan bagi petani, posisi tawar petani yang timpang di hadapan tengkulak, akses perbankan yang tidak memadai, hingga risiko mengalami green tobacco sickness.
Penelitian yang dilakukan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC – IAKMI) di Kendal, Jawa Tengah; Bojonegoro, Jawa Timur; dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada 2012 menemukan kesejahteraan petani tembakau cukup memprihatinkan. Dikutip dari Keyser dan Juita (2012), penelitian dengan responden 451 buruh tani dan 66 petani penggarap itu mengungkap sejumlah data dan fakta yang cukup penting.
Dari sisi kondisi tempat tinggal, mereka tinggal di rumah yang bisa disebut tidak layak. Sebanyak 42 persen petani pengelola, yaitu para pemilik, penyewa, dan bagi hasil, tinggal di rumah yang berlantai tanah, 44 persen tinggal di rumah berlantai semen, dan hanya delapan persen yang tinggal di rumah berlantai keramik. Sementara itu, 58 persen buruh tani tinggal di rumah berlantai tanah, 35 persen tinggal di rumah berlantai semen, dan hanya empat persen yang tinggal di rumah berlantai keramik.
Dari sisi tingkat pendidikan, petani dan buruh tani tembakau berpendidikan sangat rendah. Sebagian besar petani pengelola, yaitu 64 persen; dan sebagian besar buruh tani, yaitu 69 persen; hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah.
Rata-rata buruh tani mendapatkan upah yang rendah, yaitu Rp15.899 per hari atau Rp413.374 per bulan dengan asumsi 26 hari kerja. Buruh tani di Bojonegoro mendapatkan upah Rp17.756 per hari atau Rp461.656 per bulan, sementara upah minimum Kabupaten Bojonegoro saat itu Rp630.000 per bulan. Buruh tani di Kendal menerima upah Rp16.037 per hari atau Rp416.962 per bulan, sementara upah minimum Kabupaten Kendal saat itu Rp615.000 per bulan. Di Lombok Timur, buruh tani menerima upah Rp13.920 per hari atau Rp361.920 per bulan, sementara upah minimum Kabupaten Lombok Timur saat itu Rp730.000 per bulan.
Rata-rata petani tembakau mendapat keuntungan Rp4.061.800 setiap satu kali musim tanam. Bila satu musim tanam rata-rata berlangsung empat bulan, maka setiap bulan petani hanya mendapatkan keuntungan sekitar Rp1 juta. Keuntungan itu tentu relatif kecil bila dibandingkan dengan risiko yang harus ditanggung, misalnya faktor cuaca yang tidak menentu, hama, dan penurunan harga daun tembakau.
Tata niaga tembakau pun menempatkan petani pada posisi yang tidak menguntungkan. Tidak ada kebijakan khusus terkait dengan perdagangan tembakau, sehingga sepenuhnya bergantung pada mekanisme pasar. Celakanya, mekanisme pasar tembakau mengarah pada struktur oligopsoni, yaitu keadaan pelaku usaha yang hanya terdiri atas sedikit pihak menguasai rantai pasokan atau menjadi pembeli tunggal dalam pasar komoditas. Sebanyak 65 persen pasar industri rokok di Indonesia dikuasai oleh empat perusahaan besar. Pada saat pertanian tembakau hanya mengandalkan industri rokok, terjadi relasi kuasa yang timpang karena industri dalam posisi yang sangat kuat terhadap seluruh pemangku kepentingan tata niaga tembakau.
Baca Juga: Bukan Kenaikan Cukai yang Bikin Petani Tembakau Merugi
Rantai niaga tembakau juga cukup panjang dan petani berada pada posisi paling rendah dan paling dirugikan. Mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam penentuan harga daun tembakau karena harga ditentukan berdasarkan penilaian tengkulak secara sepihak. Tidak ada standar yang baku dalam menentukan harga, hanya berdasarkan penilaian secara manual dan visual.
Di tengah permasalahan itu, petani masih dihadapkan pada masalah green tobacco sickness. Green tobacco sickness adalah keracunan nikotin akut yang terjadi karena persinggungan dengan daun tembakau basah dengan gejala yang sering terjadi adalah pusing, sakit kepala, mual, muntah, dan kejang.
Salah satu penelitian tentang kejadian green tobacco sickness di Indonesia dilakukan oleh dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember Dewi Rokhmah. Dewi melakukan penelitian terhadap 89 petani di 24 kecamatan yang merupakan sentra produksi tembakau di Kabupaten Jember pada akhir 2013.
“Petani tembakau berisiko terkena penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan paparan pestisida dan absorbs nikotin dari daun tembakau basah melalui kulit yang disebut green tobacco sickness,” kata Dewi.
Green tobacco sickness terjadi ketika daun tembakau basah karena embun, hujan, atau keringat membuat nikotin terserap ke dalam tubuh melalui kulit petani. Dewi mengatakan petani lebih berisiko terkena green tobacco sickness pada saat panen.
“Daun tembakau yang akan dipanen biasanya lebar jadi kemungkinan bersentuhan dengan daun termbakau semakin besar,” tuturnya.
Dari penelitian tersebut, Dewi menemukan bahwa tingkat pengetahuan petani tembakau tentang green tobacco sickness masih rendah, sikap pencegahan masih negatif, dan tindakan untuk mencegah gejala green tobacco sickness masih kurang.
Sebanyak 96,6 persen petani yang menjadi responden masih memiliki pengetahuan yang rendah tentang green tobacco sickness, sebanyak 98,9 persen responden menunjukkan sikap pencegahan yang negatif, dan 86,5 persen menunjukkan tindakan pencegahan gejala yang kurang baik.
Green tobacco sickness sebenarnya bisa dicegah dengan mengenakan alat pelindung diri. Tidak perlu alat pelindung diri sebagaimana digunakan tenaga kesehatan, tetapi cukup menggunakan sarung tangan, baju berlengan Panjang, dan pakaian yang tahan air saat bekerja di perkebunan tembakau. Selain itu, proses panen bisa dilakukan tidak terlalu pagi, saat daun tembakau basah oleh embun.
Namun, sebagian besar petani yang responden penelitian memiliki tindakan pencegahan yang kurang baik. Para petani tembakau masih jarang atau belum melakukan tindakan pencegahan green tobacco sickness.
“Petani yang terpapar informasi tentang green tobacco sickness masih sedikit dibandingkan dengan jumlah petani tembakau di Jember,” ujarnya.
Menurut Dewi, industri dan para pemangku kepentingan dalam tata niaga tembakau tidak peduli dengan risiko green tobacco sickness yang dihadapi petani. Seolah mereka hanya perlu membeli daun tembakau saja, tanpa peduli dengan risiko yang dihadapi petani. Sekali lagi terlihat posisi petani tembakau dalam rantai industri tembakau berada pada tingkat yang paling rendah.
Karena itu, pencegahan seharusnya menjadi aspek utama untuk melindungi petani tembakau dari green tobacco sickness. Dalam penelitiaannya, Dewi mengungkapkan hasil pengujian statistik menunjukkan dampak positif dari tindakan pencegahan terhadap kemunculan gejala akibat green tobacco sickness.
“Bila petani tembakau melakukan tindakan pencegahan dengan menggunakan sarung tangan dan baju berlengan panjang dengan bahan tahan air, tidak bekerja di lahan tembakau pada waktu yang terlalu pagi atau saat tembakau basah, dan mencuci pakaian yang dipakai setelah bekerja di lahan tembakau, maka para petani akan terhindar dari gejala green tobacco sickness,” tulis Dewi dalam artikel penelitiannya.
Baca Juga: Ketika Struktur Pasar Pengaruhi Daya Tawar Petani Tembakau
Dalam focused group discussion dengan kelompok petani tembakau di Desa Kalisat, Kabupaten Jember, ditemukan bahwa sebagian besar petani tidak terbiasa mandi dengan sabun setelah bekerja di kebun tembakau. Pakaian yang dipakai selama kerja di kebun tembakau pun tidak pernah dicuci dengan alasan memang dikhususkan untuk bekerja di kebun.
Meskipun informasi tentang green tobacco sickness masih rendah, petani tembakau tetap merasakan gejala-gejala yang disebabkan oleh keracunan akut tersebut. Sebagian besar petani mengaku sudah terbiasa mengalami pusing dan mual saat pagi hari Ketika berada di kebun tembakau, antara pukul 08.00 hingga 10.00.
“Ada yang membiarkan sendiri gejala-gejala yang muncul. Ada petani yang menggunakan jamu-jamu tradisional atau membeli obat di warung. Namun, hanya sedikit yang pergi berobat ke layanan kesehatan,” tutur Dewi.
Pada saat siang hari, keluhan akibat green tobacco sickness memang berangsur-angsur hilang. Hal ini karena pada kondisi siang hari, Ketika matahari berada pada kondisi yang panas menyebabkan kelembaban pada daun tembakau maupun tanah dan lingkungan di perkebunan tembakau berkurang sehingga penyerapan nikotin dari daun basah atau lembab ke kulit menjadi berkurang.
Berdasarkan dari penelitiannya, Dewi mengatakan terdapat tiga pendekatan agar petani tembakau dapat mencegah paparan green tobacco sickness dan terhindar dari gejala-gejala yang mungkin muncul. Pertama, perlu ada peningkatan pengetahuan dan sikap petani tembakau tentang green tobacco sickness.
“Kedua, perlu ada pengadaan alat pengaman diri berupa sarung tangan dan pakaian tahan air serta sepatu boot. Ketiga, perlu ada peningkatan peran ketua kelompok tani dan petugas penyuluh kesehatan dalam mencegah green tobacco sickness,” katanya.
Selanjutnya: Petani Tembakau Butuh Pendampingan Tata Niaga
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post