Kementerian Kesehatan mengumumkan per tanggal 31 Oktober 2022 lalu, tercatat 304 kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA). Pasalnya, 99 pasien atau setara dengan 33 persen pasien telah dinyatakan sembuh. Angka ini mengalami kenaikan dalam kurun waktu satu minggu terakhir, dimana angka kesembuhan yang dilaporkan pada 26 Oktober 2022 sebanyak 39 kasus.
Menanggapi hal itu, Prof. Tjandra Yoga Aditama selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI menyatakan, penjelasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tanggal 23 Oktober 2022 disebutkan a.l. “…produk yang dinyatakan kandungan cemaran EG melebihi ambang batas aman pada penjelasan publik keempat (Termorex Sirup, Flurin DMP Sirup, Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup, dan Unibebi Demam Drops)…” menandakan penelitian masih terus berjalan. Setidaknya, ada lima obat sirup yang diduga mengandung cemaran EG melebihi ambang batas aman sudah dilarang distribusi dan konsumsinya.
“Sampai hingga 31 Oktober 2022 sudah ada 304 kasus yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia, dengan 159 kematian. Ini tragis dan menyedihkan sekali,” ujar mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan.
Prof. Yoga menyebut belum ada penyampaian atau informasi yang jelas dan akurat dari pemerintah dalam proses penanganan kasus gagal ginjal ini. Misalnya saja, pemerintah belum mengumumkan status penyakit yang dialami 304 pasien tersebut apakah terbukti semuanya akibat mengonsumsi 1 dari 5 obat yang dilarang. Ataukah, ada indikasi lain yang menyebabkan penyakit gagal ginjal tersebut dialami 304 pasien.
“Nah, pertanyaannya tentu, apakah ke 304 pasien ini memang semua mengkonsumsi lima obat yang jelas tercemar itu (atau mungkin nanti ada tambahan obat lain), dan untuk ini ada 3 kemungkinan analisa lanjutannya,” ungkap mantan Direktur Badan Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara.
Artinya, jika semua atau hanya sebagian besar pasien yang terbukti mengonsumsi obat tercemar, maka masyarakat akan lebih yakin bahwa lima obat tersebutlah yang menyebabkan penyakit gagal ginjal saat ini.
Sebaliknya, jika banyak pasien anak-anak menderita gagal ginjal ternyata tidak mengonsumsi 5 obat batuk tersebut, maka masalah kesehatan anak ini makin komplek dengan indikasi penyabab lain yang memicu gagal ginjal.
Berikutnya, penting bagi pemerintah melalui BPOM untuk segera memerinci obat-obat apa saja yang dikonsumsi para pasien selama ini. Perlu ada identifikasi dari pemerintah apakah obat-obatan yang dikonsumsi pasien itu termasuk produk aman, atau ada kadar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi batas aman. “Barangkali ada hal-hal lain di obat itu yang dapat dihubungkan dengan terjadinya gagal ginjal akut pada mereka,” sambung Prof. Yoga.
Baca Juga: Safari Pemerintah Cari Solusi Penyakit Mematikan
Secara demografi penyebaran kasus, Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. Muhammad Syahril menyatakan kasus Gangguan Ginjal Akut pada Anak paling banyak terjadi pada anak berusia 1-5 tahun sebanyak 173 kasus. Kasus terbanyak tercatat di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatera Barat, Banten, dan Bali.
Dia menilai, penurunan kasus GGAPA sepekan terakhir pada anak setelah ada Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan per tanggal 18 Oktober 2022 yang meminta tenaga kesehatan dan apotik untuk tidak memberikan obat dalam bentuk sirop kepada masyarakat.
Untuk menekan angka kasus dan mengutamakan kesehatan anak, dr. Syahril menyebut kembali kebijakan antisipatif Kementerian Kesehatan dengan mendatangkan ratusan vial obat Antidotum (penawar) Fomepizole injeksi yang didatangkan dari Singapura, Australia, Kanada, dan Jepang. Pasalnya, ada 146 vial sudah disebarkan ke 17 rumah sakit di 11 provinsi, sementara 100 vial disimpan sebagai stok di instalasi farmasi pusat.
Lebih lanjut, Prof. Yoga menambahkan, dari mekanisme yang sudah dikeluarkan pemerintah saat ini, analisa yang perlu dilakukan adalah menilai apakah ada faktor lain di luar obat yang mungkin jadi penyebab, baik itu infeksi, atau faktor lingkungan, atau kebiasaan tertentu.
“Untuk analisa ini maka tentu perlu dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) yang amat ketat pada setiap dari 304 anak itu, termasuk bagaimana keadaan di rumahnya, atau tempat bermain, atau disekolahnya kalau sudah sekolah, dan sebagainya,” sambung Prof. Yoga.
Dia menganjurkan, akan lebih baik kalau pemerintah mengeluarkan analisa dalam bentuk tabel lengkap 304 kasus beserta faktor obat yang memicu penyakit tersebut. Masing-masing kasus juga perlu dituliskan informasi demografinya, informasi perjalanan penyakit, serta obat-obat apa saja yang dikonsumsi sebelum sakit pada setiap anak itu dan juga berbagai faktor lain yang mungkin mempengaruhi terjadinya penyakit.
Selanjutnya: Gagal Ginjal dan Gagapnya Penanganan Pemerintah
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post