“Apakah yang menaikkan cukai itu adalah negara yang tidak berdaulat? Lantas, memangnya negara-negara yang cukai rokoknya tinggi di dunia ini bukan negara berdaulat? Apakah Jerman negara yang tidak berdaulat?” ungkap Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH., Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau dalam konferensi pers menanggapi kenaikan cukai rokok.
Pernyataan Prof. Hasbullah bukan tanpa alasan. Berdasarkan pantauan tim Prohealth.id, sejak Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau dengan kenaikan rata-rata cukai rokok sebesar 10 persen muncul ragam utas penolakan dengan hashtag #SriMulyaniPembunuhPetani. Viralnya kenaikan cukai mengusung narasi bahwa stakeholder pertembakauan dan perokok adalah orang minoritas yang selalu tertindas oleh kebijakan dan kepentingan asing.
Kenaikan cukai kali ini memang cukup mencengangkan. Dengan kisaran 10 persen, kenaikan itu secara rinci dikenakan untuk SKM I-II naik 11,75-11,50 persen; SPM I-II naik 12 persen-11,8 persen; SKT I-II-III naik 5 persen, yang akan berlaku sama untuk 2023 dan 2024. Sementara cukai rokok elektronik naik 15 persen dan 6 persenuntuk HPTL, yang berlaku kenaikannya setiap tahun selama 5 tahun, mulai 2023 sampai 2028.
Tak hanya itu, pemerintah juga menyatakan bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) harus fokus digunakan untuk perbaikan kesehatan (perbaikan puskesmas, posyandu, dan penanganan stunting; perbaikan kesejahteraan petani dan buruh, serta pemberantasan rokok illegal). Juga impor tembakau akan diatur dan dibatasi untuk melindungi petani tembakau dalam negeri.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Hasbullah memaparkan bahwa sebenarnya kenaikan cukai rokok konvensional sebesar 10 persen masih sangat kecil dan tidak akan efektif menurunkan prevalensi perokok, termasuk perokok anak. Pasalnya, kondisi inflasi 5,95 persen (yoy) pada September 2022, ditambah usulan Kadin mengenai kenaikan UMP 5 persen pada 2023, maka kenaikan ini sebenarnya tidak terasa mahal dan masyarakat masih terbuka peluang untuk membeli secara ketengan.
Kenaikan ini belum mempertimbangkan kemudahan akses dan murahnya harga rokok adalah faktor signifikan tingginya prevalensi perokok anak, sehingga kenaikan cukai yang hanya 10 persen ini akan kembali menggagalkan target pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok anak yang kini sudah mencapai 9,1 persen.
“Ditambah lagi, kenaikan tipis ini tidak terlalu berpengaruh pada perokok adiktif mengingat terlalu dekat dengan angka inflasi tahunan,” tutur Prof. Hasbullah dalam konferensi pers, Senin, 7 November 2022 lalu.
Dia juga menyinggung keputusan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok selama 2023 dan 2024 bertujuan untuk memitigasi potensi konflik kepentingan pada tahun politik.
Mengutip temuan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), yang menemukan ada kerugian makroekonomi pada tahun 2019 akibat konsumsi rokok dengan kerugian Rp184,36 triliun hingga Rp410,76 triliun, dengan beban kesehatan sampai Rp27,7 triliun dan Rp17,9 triliun ditanggung BPJS Kesehatan atau mewakili antara 61,2 persen dan 91,8 persen dari defisit BPJS 2019.
Selain itu, temuan CISDI juga menunjukkan, kenaikan cukai akan berdampak pada penurunan konsumsi sekaligus menyeimbangkan penerimaan negara. Dalam simulasinya, kenaikan cukai hingga 46 persen, penurunan konsumsi serta penerimaan negara masih layak secara ekonomi.
“Maka, seharusnya cukai rokok tahun 2023 bisa naik 20-25 persen untuk kendali konsumsi sekaligus pendapatan negara,” ujar Prof. Hasbullah.
Center of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) pernah melakukan diseminasi hasil survei harga transaksi pasar rokok (price monitoring) wilayah Jabodetabek tahun 2021. Saat itu, Peneliti Center of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Roosita Meilani menyatakan, ada 6 titik penjualan rokok dengan tingkat kepadatan yakni; minimarket hingga 27 persen, pasar tradisional 15 persen, terminal bus atau stasiun sebanyak 12 persen, SPBU sebanyak 17 persen, kios kecil ada 11 persen, sampai toko grosir sebanyak 18 persen.
Roosita memerinci, penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data pita cukai dan peringatan bergambar (pictorial health warning/PHW), harga transaksi pasar rokok di Indonesia terbilang murah. Padahal, ketentuan yang diperbolehkan harga transaksi pasar (HTP) 85 persen dari harga jual eceran (HJE) sesuai regulasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 198/010/2020.
Riset ini menemukan Kabupaten Kepulauan Seribu adalah wilayah dengan pelanggaran tersebut terkait kesesuaian harga jual rokok di pasaran terhadap HTP 85 persen. Penelitian ini juga menemukan, ada 5 merek terkenal yang menjual eceran di minimarket yakni; Marlboro Merah, Sampoerna Mild, Dji Sam Soe, Gudang Garam Filter, dan Djarum Super.
Selisih harga ini memicu keuntungan besar pada penjual eceran dan bagi konsumen. Ambil saja contoh merek Marlboro yang termahal dengan harga yang diberandol per bungkus Rp35.800, HTP per bungkus Rp32.500 dengan HTP per batang Rp2000. Ada profit ekstra jual per batang sekitar Rp7500 alias 23,08 persen per bungkus. Pengecer pun bisa menimba keuntungan 20 persen sampai 33 persen dari penjualan eceran.
“Kami akhirnya menemukan penjualan eceran batangan dilakukan di semua titik penjualan kecuali minimarket rata-rata 70 persen lebih dari total bungkus rokok dijual secara batangan,” ungkap Roosita.
Struktur cukai yang rumit
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Dr. Abdillah Ahsan menyatakan penyebab kurang efektifnya kenaikan cukai selama ini adalah tidak adanya penyederhanaan golongan. Dia menegaskan, struktur cukai saat ini dengan 8 golongan yang ada, sangat memudahkan perokok untuk beralih ke rokok yang lebih murah, serta memberikan peluang bagi produsen untuk menghindari cukai dengan melekatkan pita cukai rendah pada produk yang cukainya lebih tinggi.
Padahal, kenaikan CHT merupakan amanah Undang-undang Cukai No. 39 tahun 2007, bahwasanya tarif CHT per tahun di Indonesia belum pernah mencapai tarif yang dicantumkan dalam Undang-undang yaitu 57 persen dengan harga dasar perhitungan terhadap harga jual eceran (HJE).
“Kompleksitas sistem cukai rokok dengan sejumlah golongan tersebut, memberikan celah penghindaran pajak dan penggelapan pajak, sehingga mengakibatkan kerugian ganda bagi kesehatan dan pendapatan negara,” ungkapnya.
Tak sekadar menyoal cukai produk tembakau konvensional, peneliti dan ekonom Universitas Indonesia ini menilai kenaikan cukai 5 tahunan sebesar 15 persen untuk rokok elektrik juga terlalu kecil. “Hal ini mengingat bahwa prevalensi rokok elektronik meningkat 10 kali lipat,” ujar Abdilah berkaca dari laju kenaikan yang sangat tinggi dan bahkan lebih besar di kalangan remaja. Oleh karena itu, kenaikan cukai yang tinggi seharusnya dikenakan untuk semua jenis rokok, baik rokok konvensional maupun elektronik.
Mewakili kelompok konsumen yang peduli jaminan kesehatan, Tulus Abadi selaku Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan dengan tidak ada penurunan konsumsi rokok selama pandemi maka kenaikan yang masih kurang ini belum efektif jika berkaca dari kecenderungan pemasaran rokok saat ini.
Dia memaparkan berdasarkan temuan YLKI dan Vital Strategis, selama pandemi dan meningkatnya e-commerce, iklan rokok di ranah digital sangat masif, dan 68 persen adalah iklan rokok elektronik yakni 1.667 unggahan. Lebih dari separuh alias 58 persen diiklankan via Instagram. Lalu, dari 7 merek yang dipasarkan di media sosial, 4 merek diantaranya berasal dari China yang paling dominan. Fenomena ini akan berubah karena semakin banyak industri rokok yang tertarik dengan rokok elektronik, termasuk industri rokok nasional.
“Oleh karenanya, dari besaran tersebut, YLKI melihat bawah pemerintah masih terlalu memerhatikan aspek/kepentingan industri rokok. Padahal seharusnya, mengacu pada UU Cukai dan filosofi barang yang dikenai cukai, maka seharusnya aspek perlindungan masyarakat dan aspek pengendalian tembakau harus lebih dominan menjadi pertimbangan,” tutur Tulus.
Dia menambahkan, agar instrumen pengendalian rokok melalui cukai efektif, harus ada back-up aturan lain mengenai larangan iklan rokok dan penjualan rokok secara ketengan. Pemerintah juga diimbau untuk mengingat bahwa enaikan cukai yang kecil ini membuat target RPJMN tidak akan tercapai dalam menekan angka prevalensi di kalangan remaja menjadi 8,7 persen pada tahun 2024. “Target tersebut hanya akan tercapai jika terjadi kenaikan minimal 25 persen setiap tahun,” sambung Tulus.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post