Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan per Januari 2023, pencapaian temuan insiden tuberkulosis harus 60.000 per bulan salah satunya untuk mendorong laju pemeriksaan TBC yang saat ini masih rendah. Dari target 969 ribu angka insiden TBC di tahun 2021, baru 50-60 persen atau sekitar 500-600 ribu kasus yang ditemukan. Budi membandingkan dengan laju pemeriksaan COVID-19 yang lebih agresif.
“Dibandingkan dengan COVID-19, dalam kurun waktu 18 bulan kita bisa mendeteksi 6,5 juta kasus by name by address. Padahal pemeriksaannya sama-sama pakai molekuler, kalau TBC pakai TCM kalau COVID-19 pakai PCR,” terang Budi.
Dengan kompleksitas yang sama, Budi menyebutkan bahwa pengendalian TBC dapat mencontoh penanganan pandemi COVID-19. Mulai dari strategi penguatan aktivitas testing, tracing dan treatment (3T) guna mempercepat penemuan kasus aktif di masyarakat. Hal ini penting mengingat TBC merupakan penyakit menular, sehingga mendesak untuk ditemukan dan diobati.
“Pada prinsipnya, TBC merupakan penyakit menular, karena itu sistem surveilans baik di level kelurahan, kecamatan, Kabupaten/kota dan provinsi harus benar, kalau hal yang paling dasar sudah benar, nantinya kita bisa bereskan hal pendukung lainnya,” tegasnya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan akan menggencarkan kegiatan penemuan kasus TBC melalui skrining X-Ray dan pemberian terapi pencegahan TBC pada kontak serumah pasien TBC yang dilakukan secara serentak di 25 kabupaten/kota. Kegiatan testing dan tracing ini, diperkuat dengan diluncurkannya obat daily dose buatan dalam negeri.
Adapun tiga daerah juga mendapatkan Apresiasi Kinerja Baik atas pembentukan Forum Multi Sektor dalam rangka Percepatan Eliminasi TBC Provinsi atau kabupaten atau kota terrpilih yakni Tangerang, Surabaya dan Makassar. “Melalui percepatan ini, saya berharap target eliminasi TBC 2030 bisa tercapai. Mengingat waktu yang kita miliki tinggal 7,5 tahun lagi” tutur Budi.
Ambisius berkat target G20
Yayasan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) sebagai Pimpinan Delegasi Pertemuan Menteri Kesehatan dan Deputi Kesehatan G20 ke-2 pada 26-28 Oktober 2022 lalu menyampaikan apresiasi kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin selaku chair HWG karena mengangkat isu kesehatan masyarakat yang berdampak signifikan bagi Indonesia dan negara dengan beban TBC tinggi lainnya di G20 seperti India, Cina, Rusia, dan Afrika Selatan. Alhasil, presidensi G20 Indonesia telah menyelesaikan pertemuan Health Working Group (HWG) dan Health Ministers Meeting (HMM) sepanjang tahun 2022 dengan memberi ruang pada target eliminasi TBC.
Pada HWG pertama, Presidensi G20 Indonesia menyelenggarakan side event yang bertajuk “Pembiayaan Penanggulangan Tuberkulosis: Mengatasi Disrupsi COVID-19 dan Membangun Kesiapsiagaan Pandemi di Masa Depan” pada 29-30 Maret 2022 lalu. Pertemuan tersebut telah menghasilkan “Call to Action tentang Pembiayaan Penanggulangan Tuberkulosis” yang menghimbau negara-negara G20 untuk meningkatkan investasi dalam upaya pencegahan dan pengendalian Tuberkulosis (TBC).
Dalam Tour de Table pada pertemuan tersebut, Nurul Luntungan menyampaikan, G20 menanggung 50 persen dari beban epidemi TBC secara global. Jika masing-masing negara G20 dapat berhasil menanggulangi epidemi TBC-nya, situasi TBC secara global akan terkendalikan.
“Perjuangan untuk mengakhiri TBC adalah perjalanan panjang dan sulit, sudah terlalu lama dunia membiarkan kurangnya pendanaan terhadap penanganan epidemi ini yang diperburuk oleh dampak pandemi global,” ujar Ketua Yayasan Stop TB Partnership Indonesia (STPI), Nurul Luntungan.
Dokumen Global TB Report 2022 mengumumkan 10,6 juta orang sakit Tuberkulosis (TBC) sepanjang tahun 2021, meningkat 4,5 persen dari tahun 2020 dan terdapat 1,6 juta orang meninggal akibat TBC dimana 187.000 merupakan orang dengan HIV. Terdapat perubahan yang mengkhawatirkan dengan kenaikan 17,5 persen jumlah orang yang diestimasikan sakit TBC di Indonesia dari 824.000 di tahun 2020 menjadi 969.000 di tahun 2021. Akibat situasi ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-2 dengan kasus TBC tertinggi di dunia setelah India.
Dokumen Global Plan to End TB oleh Stop TB Partnership memproyeksikan bahwa antara tahun 2023 dan 2030, US$ 249,98 miliar perlu dimobilisasi dari semua sumber—pemerintah, filantropi, sektor swasta, dan sumber pembiayaan inovatif.
Pandemi COVID-19 pun telah menunjukkan bahwa dengan kesungguhan, inovasi, dan solidaritas, dunia dapat mengatasi ancaman kesehatan yang sangat menantang. Kurangnya dukungan untuk meningkatkan pembiayaan terhadap penanggulangan TBC berarti lebih banyak jiwa dan kerugian ekonomi yang akan dialami dunia. Pemodelan terbaru memperkirakan bahwa jika dunia tidak mencapai eliminasi TBC 2030, secara global akan terjadi 31,8 juta kematian akibat TBC dan kerugian $18,5 triliun selama periode 2020-2050. Informasi dari WHO Global TB Report 2022 mengkonfirmasi kekhawatiran terburuk yaitu dampak pandemi mengakibatkan peningkatan kematian dan angka kejadian (insidensi) TBC di dunia untuk pertama kalinya dalam hampir dua dekade.
“Upaya penanggulangan TBC mundur hingga 14 tahun mengganggu kemajuan yang dibangun 2005-2014. Para pakar global memprediksi bahwa TBC akan menggantikan COVID-19 sebagai penyakit menular yang paling mematikan di dunia”, ujar Nurul.
Bersamaan dengan momentum KTT G20 pada 14 November 2022 di Bali lalu, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) sebagai chair B20 mengadakan penandatanganan MoU bidang kesehatan dengan perusahaan dari United Emirates Arab (UEA) yang fokus mengentaskan TBC di Indonesia. Melalui Nota Diplomatik Kedubes PEA di Jakarta No. 1/3/19-281 United Emirates Arab (UEA) menyampaikan komitmen memberikan hibah berupa financial aid sebesar US$10 juta untuk mendukung program pencegahan tuberkulosis di Indonesia.
Dalam proses penandatanganan kerja sama tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan pengentasan TBC termasuk ke dalam transformasi kesehatan pilar Layanan Kesehatan Primer. Sementara perusahaan di UEA berniat mengembangkan pusat kesehatan dengan perusahaan Indonesia yang mampu bersaing secara internasional. Perusahaan Indonesia yang dipilih diantaranya yang memimpin langkah menuju transformasi kesehatan di sektor swasta dan pengalaman dalam genom sekuensing dan analisis data.
“Kerja sama ini merupakan tonggak penting dalam membangun kapabilitas Indonesia melalui transfer teknologi dan pengetahuan, serta memanfaatkan solusi terbaik di kelasnya untuk meningkatkan ekosistem kesehatan Indonesia,” ujar Budi.
Dia optimis, komitmen ini akan berpengaruh pada peningkatan populasi dengan kualitas kesehatan yang bagus, dan memacu pertumbuhan ekonomi.
Jaminan sosial untuk menambal beban katastropik
Selain komitmen pada peningkatan infrastruktur, pengentasan kasus TBC juga membutuhkan jaminan sosial jangka panjang. Ketua Yayasan STOP TB Partnership, dr. Nurul Luntungan menyatakan bahwa lama pengobatan TBC resisten saja bisa memakan waktu 2 tahun. Padahal ada beban biaya katastropik pasien dengan TBC Resisten Obat (TBC-RO) yang akan mengalami penurunan produktivitas bahkan pekerjaan, sehingga dapat mengakibatkan kemiskinan. Dengan hal tersebut, perlu adanya dukungan jaminan sosial berupa bantuan finansial untuk pasien TBC-RO agar dapat menjalani pengobatan tanpa harus mengalami beban biaya katastropik.
“Bayangkan jika pasien adalah seorang ayah, atau seorang ibu yang menanggung kebutuhan keluarganya sendiri. Sebetulnya, ada harapan untuk orang-orang TBC-RO untuk mendapatkan dukungan serta insentif finansial agar dapat menyelesaikan pengobatannya sampai tuntas tanpa harus jatuh miskin,” kata Nurul.
Sesuai dengan mandat di Perpres No.67 tahun 2021, semua sektor termasuk diluar Kementerian Kesehatan perlu terlibat apabila Indonesia ingin mengeliminasi TBC 2030.
Menanggapi hal tersebut, Andi Megantara, Ph.D, selaku Deputi Koordinasi Bidang Peningkatan Kesejahteraan Sosial menjelaskan bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah , serta masyarakat harus bekerja sama, sesuai dengan pasal 24 dan pasal 29 Perpres No. 67 tahun 2021 yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kemendes PDTT, Bappenas, Pemda Provinsi serta Kabupaten dan Kota termasuk dengan organisasi masyarakat termasuk Organisasi Penyintas TBC tentunya akan berperan strategis dalam memastikan dukungan psiko-sosioekonomi pada pasien TBC.
Salah satu tim peneliti STPI, Ninik Annisa menerangkan bahwa TBC-RO merupakan penyakit katastropik yang dapat menyebabkan pasien dan keluarganya jatuh ke dalam kemiskinan. Waktu pengobatan dan penyembuhan selama 24 bulan memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Meskipun pelayanan medis disediakan gratis oleh pemerintah, penanganan TBC-RO juga memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit sehingga mengakibatkan 81 persen orang dengan TBC-RO mengalami kondisi katastropik.
“Kami menemukan bahwa 77 persen responden pasien TBC-RO berada dalam kondisi miskin, dimana 54 persen miskin dengan penghasilan dibawah 2 juta per bulan, 23 persen rentan miskin dengan penghasilan 2-3 juta per bulan. Namun, pada tahun 2020 hanya 23 persen yang pernah menerima program Program Keluarga Harapan (PKH) saat pasien TBC dimasukkan sebagai penerima program tersebut,” ungkap Ninik.
Salah satu alternatif yang dapat memfasilitasi Orang Terdampak TBC-RO ini adalah Jaminan Sosial berupa Conditional Cash Transfer (CCT). Program CCT yang telah tersedia saat ini adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Selain PKH, program lain yang dapat mendukung antara lain Program Indonesia Sehat (Kartu Indonesia Sehat/ BPJS Kesehatan), Program Sembako, Program Kewirausahaan Sosial (Prokus), dan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH). Alternatif jaminan sosial lainnya adalah CCT khusus yang baru dan berbeda dengan PKH yang telah ada.
Untuk menyediakan Jaminan Sosial bagi Orang Terdampak TBC-RO, pemangku kepentingan perlu duduk bersama yakni Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial dalam memutuskan kebijakan ini. Sinergi dan kolaborasi ini mencakup integrasi basis data, teknis persiapan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi. Oleh karenanya, Ninik menjamin policy brief tentang jaminan sosial ini mendorong adanya penyusunan Peraturan Menteri Sosial tentang pemberian jaminan sosial bagi orang terdampak TBC-RO. Setidaknya aturan jaminan sosial tersebut harus memuat beberapa hal. Pertama, pemberian jaminan sosial bagi orang terdampak TBC-RO yang dilaksanakan setiap bulan.
Kedua, bentuk pemberian jaminan sosial, yaitu program berbasis CCT yang dapat mengakomodir kebutuhan orang dengan TBC-RO.
Ketiga, penguatan pendamping program jaminan sosial dalam hal TBC-RO dan tatacara verifikasi kondisionalitas peserta penerima jaminan sosial.
Keempat, pembinaan, pengawasan dan evaluasi program jaminan sosial bagi orang terdampak TBC-RO dilakukan berjenjang di tingkat daerah dilakukan oleh dinas sosial dan dinas kesehatan di tingkat nasional dilakukan oleh kementerian sosial dan kementerian kesehatan.
Budi Hermawan selaku Ketua Perhimpunan Organisasi Pasien TBC (POP TB) Indonesia, menambahkan, meeskipun pasien TBC-RO sudah mendapatkan bantuan finansial dari dana enabler donor Global Fund, namun, hal tersebut belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan dari pasien itu sendiri. Selain itu, perlu ada kejelasan tindak lanjut dari hasil penelitian jaminan sosial ini agar menjadi pintu masuk untuk membuat kebijakan khusus mengenai jaminan sosial bagi orang dengan TBC RO.
Ketua Tim Kerja TBC dan ISPA Kementerian Kesehatan, dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA menyatakan saat ini pemberian bantuan dana enabler sudah langsung melalui komunitas yang awalnya dari dinas provinsi daerah, namun hibah tersebut akan ada batas waktunya dan tidak memenuhi semua kebutuhannya. Selain itu, UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menetapkan bahwa seharusnya 10 persen APBD dialokasikan kesehatan termasuk TBC yang seharusnya bisa masuk. “Namun, Indonesia memiliki sistem desentralisasi dari setiap daerah artinya ada upaya advokasi dari tingkat daerah untuk TBC tersebut,” katanya.
Risna Kusumaningrum, M.Kes, sebagai Pekerja Sosial Ahli Muda di Direktorat Jaminan Sosial Keluarga Kementerian Sosial menjelaskan, sebelum menganggarkan exclusion error atau mereka yang terdampak namun belum terdaftar sebagai penerima bantuan sosial perlu diketahui dulu apakah memang pemerintah daerah tertentu belum menganggarkan di DTKS atau memang belum bisa masuk kuotanya karena banyak pihak lain yang ingin mendapatkan bansos tersebut.
“Yang pada akhirnya anggaran negara tersebut akan ada reviewnya dahulu. Untuk hal tersebut maka diperlukan pemahaman terlebih dahulu mengenai urgensi masalah TBC RO pada setiap kementerian atau lembaga agar dapat bersama-sama menanggulangi TBC” ujar Risna.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post