“Eh, gempa ya?” ujar kawan saya, Marina Nasution (30) ketika kami sedang makan siang bersama di lantai 2, Royal Padjajaran Hotel, Bogor, Senin, 21 November 2022 lalu. Iya, gempa, dan ini adalah gempa pertama dalam hidup saya yang terasa sangat kencang. Saya sempat linglung memproses guncangan yang membuat meja dan kursi bergetar. Saya kebingungan mau bersembunyi di bawah meja seperti anjuran penanganan gempa, atau ikut lari keluar gedung seperti orang-orang lain.
Bersama kawan-kawan jurnalis yakni; Marina Nasution, Asnil Bambani, Afwan Purwanto, dan Irsyan Hasyim kami mencoba mengecek satu menit berikutnya, tapi ternyata getaran gempa makin kencang. Tampak Asnil Bambani yang biasa saya panggil ‘Mas Asnil’ mulai panik dan melihat sekeliling mencari ruang aman, kalau-kalau guncangan makin parah. Sementara Irsyan Hasyim, tetap berujar “tenang-tenang”, entah apakah dia sungguh tenang atau pura-pura tenang. Usut punya usut, ternyata dia mencoba mencari meja untuk berlindung sembari membuka kamera hp merekam kejadian tersebut.
Akhirnya saya memutuskan turun ke lantai 1 bersama Asnil Bambani, Afwan Purwanto, dan Marina Nasution. “Berdirinya jangan dekat-dekat kaca,” ujar Asnil kepada kami. Afwan Purwanto tampak lebih santai, mungkin karena alumnus ilmu arsitektur, jadi dia punya analisis bahwa gedung hotel kami cukup aman dan tidak mudah rontok. Syukur saja ketika tiba di lantai 1 getaran gempa mulai berkurang. Sontak saya mencoba menghubungi bapak dan adik-adik saya di rumah, begitu pun Marina dan Asnil sibuk menanyakan kabar keluarga mereka.
“Aku tuh teringat gempa di Padang [tahun 2009] itu bikin lantai 1 dan 2 roboh, yang lantai 3 jadi lantai 1. Posisi kita tadi di lantai 2, aku sudah bersiap kalau kenapa-kenapa mau loncat masuk kolam renang,” kata Asnil.
“Sama, aku tuh masih teringat gempa di Jakarta bukan ya? Oh, yang di Banten, aku dan suami masih tinggal di Bassura (apartemen) lantai 26. Terasa banget saat gempa. Aku keluar masih pakai celana pendek karena panik,” sambung Marina.
Ketika gempa di Cianjur berkurang dan tak lagi terasa getaran, saya kembali melanjutkan aktivitas. Ketika sedang naik ke ruangan pertemuan di Royal Padjajaran Hotel menggunakan lift, turut bersama saya seorang anak perempuan dan ibunya. Dia memegang dadanya seperti ketakutan. “Gapapa ya nak, berdoa ya nak,” begitu ujar ibunya.
Ternyata kita punya beragam pengalaman atau memori tentang gempa. Seumur hidup, gempa 21 November 2022 yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat, dengan kekuatan 5.6 magnitudo adalah pengalaman pertama gempa besar yang saya alami. Mungkin karena posisi saya hanya terpisah sekitar 60 kilometer dari Kota Bogor ke Kabupaten Cianjur.
Selama ini, saya belum bisa memahami trauma pasca merasakan gempabumi yang dahsyat. Tidak seperti yang pernah dialami oleh keluarga saya, khususnya ibu saya.
“Kak, di Maumere gempa, ada potensi tsunami,” ujar Mama menangis masuk ke kamar saya mendadak ketika saya berkemas hendak keluar rumah untuk bekerja, Selasa, 14 Desember 2021, setahun lalu. Mama mengatakan bahwa dia menonton informasi itu di televisi.
Saya keluar dari kamar dan menemukan layar TV menampilkan video orang berlari-larian. Gempa sebesar 5,5 SR melanda daratan Flores dengan potensi tsunami. Seketika saya gemetar karena melihat ibu saya sudah menangis.
Sekilas muncul wajah paman saya yang tinggal di Maumere dalam imaji, saya pun segera mengirim pesan singkat melalui WA. Saya gugup dan cemas. Saya berharap semua baik-baik saja, sinyal masih baik dan dia masih bisa merespon saya.
“Orang-orang masih di luar rumah, trauma 12 Desember 1992,” begitu kata paman saya.
Sembari membaca balasan paman, saya membatin, kepada diri saya sendiri, semua baik-baik saja. Tenang ya, tenang. Sayangnya ketenangan itu hanya sekejap. Saya melihat ada informasi berita terbaru, gempa kembali terjadi dengan skala 7,4 SR.
Saya yang masih bersiap untuk pergi meliput ke Senayan saat itu menemukan ibu saya sudah menangis dengan keras. Saya pun mengingat cerita ibu, bapak, paman, dan kakek-nenek saya saat tsunami melanda Maumere 1992.
Tahun ini, 23 Juli 2022 lalu juga sempat terjadi gempa di Flores, NTT. Namun gempa tahun 2021 itulah yang menyisakan trauma bagi Alfonza, seorang musisi yang berdomisili di kota Maumere. “Gempa ini memang tidak sebesar Desember 2021 lalu. Yang Desember itu sampai ayun-ayun gitu,” ungkap Alfonza melalui pesan singkat kepada Prohealth.id.
Gempa yang berpusat di Larantuka Juli lalu ini memang baru terasa kencang pada guncangan kedua. “Aku sudah trauma karena gempa Desember itu. Sejak itu, kalau aku lagi berdiri terus terasa miring, atau ada goyangan gitu, aku selalu mengira itu gempa. Padahal bukan,” ungkapnya.
Alumnus jurusan seni musik di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini juga mengakui traumanya meluas sampai respon terhadap bunyi ‘kretek-kretek’. “Kalau dengar bunyi itu, sudah langsung mau lihat lampu, atau pohon, atau tiang listrik. Ini gempa apa bukan, hehehe,” sambung Alfa.
Sebagai kawasan yang rentan mengalami gempa, Alfa menilai Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tidak aktif dan cepat dalam memberikan peringatan. Biasanya, BPBD lebih responsif jika skala gempa diramalkan sangat besar. “Misal waktu 14 Desember 2021 itu, jam 11.20 WIB ada peringatan gempa berkekuaran 7,5 SR yang berpotensi tsunami.”
Ketika gempa terjadi Desember 2021 lalu, warga Kota Maumere berhamburan lari ke bukit, arah Nele dan Nita. Tim SAR bergegas keliling dan membuat pengumuman peringatan dini agar warga waspada. “Selain itu dari BMKG juga ada SMS peringatan tsunami. Menurutku, ini lebih cepat karena semua orang pegang hp,” ujarnya.
Dengan langkah kaki yang lunglai, disusul gempa yang mengayun-ayunkan tiang listrik, Alfa menyaksikan kepanikan massal. Ada yang bergegas masuk ke rumah menyelamatkan dokumen penting, ambil kunci rumah, dan lari ke bukit.
“Ada orang-orang teriak, air laut naik! Air laut naik! Orang-orang dari Wuring [pesisir pantai Maumere] lari naik ke atas. Jalanan besar macet semua. Seram dan sedih sekali. Aku pun cari-cari keponakan yang masih kecil. Kebetulan dia sedang main, lalu gempa. Kami cari dia sama keluarga lain, begitu ketemu bawa motor angkut semua. Kami tidak berani menengok ke belakang,” tuturnya.
Kepanikan massal ini ternyata sempat memicu panic buying juga. Di tengah peringatan dini, banyak warga yang menghambur masuk ke minimarket seperti Alfamart dan Indomaret untuk membeli makanan. “Roti-roti di Alfamart, di kios-kios semua habis. Mendadak panic buying semua.”
Tak lama kemudian, mobil pick-up berwarna oranye yang berkeliling kota Maumere mengumumkan peringatan dini tsunami telah usai. “Meski begitu masih ada gempa-gempa susulan, 3-4 SR. Tetap terasa lho.”
Akibat dari pengalaman trauma itu, selama 2-3 hari pasca kejadian, Alfonza mengaku kerap merasakan sedikit getaran-getaran hingga tengah malam. Kondisi ini membuatnya tidur dalam keadaan terjaga dan waspada.
Penanganan trauma akibat gempa
Dikutip dari National Institute of Mental Health, trauma pasca gempabumi kerap disebut juga Post-traumatic stress disorder (PTSD). PTSD adalah kondisi ketika seseorang baru saja mengalami pengalaman menakutkan, menyeramkan, dan berbahaya lalu trauma itu bertahan lama. Memang sangat alamiah jika seseorang mengalami trauma dan ketakutan ketika mengalami gempabumi. Tubuh akan merespon ketika terjadi kejadian-kejadian serupa untuk mencegah dampak yang ditakuti.
Nyaris semua orang yang pernah mengalami trauma belum sepenuhnya pulih dalam waktu cepat. Namun, jika kondisi trauma ini terpelihara terus menerus maka seseorang akan mengalami PTSD yang menyebabkan stres dan kecemasan sekalipun mereka tidak mengalami kejadian serupa.
Gejala PTSD biasanya tampak 3 bulan setelah insiden, namun bisa berlangsung sampai beberapa tahun setelahnya. Gejala ini lebih dari satu bulan dan bisa mempengaruhi relasi sehari-hari. Pemulihannya pun sangat beragam, ada yang membutuhkan waktu 6 bulan, beberapa orang bahkan masih memiliki gejala yang bertahan lebih lama. Sebagian lagi bisa sampai mengalami kondisi kronis. Oleh karena itu hanya tenaga medis seperti dokter dan psikiater yang bisa membaca kecenderungan masalah mental PTSD akibat trauma.
Menurut laman psychiatry.org, PTSD biasanya terbaca jejaknya secara fisik maupun emosi karena sebuah kejadian yang mengancam mental, fisik, sosial dan spiritual seseorang. Oleh karenanya PTSD banyak dialami oleh seseorang yang mengalami bencana alam, kecelakaan serius, korban kekerasan terorisme, perang, kekerasan seksual, trauma lintas generasi, kekerasan dan bullying.
PTSD sendiri paling banyak dialami sepanjang Perang Dunia I oleh para prajurit perang. Meski begitu tak banyak prajurit yang mengalami PTSD usai Perang Dunia II. Sebaliknya, gejala PTSD justru terjadi pada kelompok masyarakat tertentu, etnis tertentu, atau kelompok kebudayaan tertentu yang termarjinalkan akibat perang.
Menurut Clinical Psychological Service Branch (CPSB) di Hongkong, PTSD dapat diobati dengan bantuan profesional yang sesuai. Perawatan yang efektif meliputi perawatan psikologis dan obat-obatan. Adapun perawatan psikologis umum untuk PTSD adalah Terapi Perilaku Kognitif dan Terapi Desensitisasi Gerakan Mata dan Pemrosesan Ulang (Eye Movement Desensitization and Reprocessing/EMDR).
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Edition, American Psychiatric Association (2013), Kedua terapi ini mengelola ingatan dan reaksi traumatis.
“Jangan ragu untuk mencari bantuan jika Anda, anggota keluarga atau teman Anda menunjukkan gejala-gejala di atas. Ambil tindakan sesegera mungkin dengan mencari bantuan dari tenaga profesional, misalnya pekerja sosial, psikolog klinis atau tenaga profesional medis,” tulis tim medis klinik CPBS dalam dokumen resminya.
Penanganan korban ala BNPB
Penanganan trauma bagi korban gempa Cianjur juga dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Selain masalah psikologis, BNPB juga menjamin ketersediaan layanan kesehatan bagi korban gempa Cianjur selama proses evakuasi masih berlangsung.
Pada 25 November 2022 lalu, tim relawan pun melakukan kegiatan trauma healing kepada anak-anak terdampak gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Berdasarkan pantauan Prohealth.id, penanganan trauma pada korban gempa Cianjur memang dikerjakan oleh tenaga medis di rumah sakit, sampai para relawan yang menjadi petugas lapangan mendampingi keseharian para korban di tenda pengungsian.
Sementara itu, tim gabungan pencarian dan pertolongan menemukan 3 jasad korban pada Minggu, 27 November 2022 lalu. Penemuan jasad tersebut menambah data korban meninggal dunia hingga pukul 17.00 WIB menjadi 321 orang.
Kepala BNPB Suharyanto dalam konferensi pers Update Penanganan Gempabumi Cianjur menerangkan, temuan korban tewas ini mengurangi daftar orang hilang yang sebelumnya 14 orang, menjadi tersisa 11 orang saja. Satuan tugas gabungan juga telah berhasil mengidentifikasi titik pengungsiandengan akumulasi sebanyak 325 titik yang tersebar di 15 kecamatan.
Menurut Suharyanto, jumlah pengungsi 73.874 orang dengan rincian pengungsi laki-laki 33.713 orang dan pengungsi perempuan 40.161 orang.
Sementara untuk infrastruktur yang rusak berat 27.434 rumah, rusak sedang 13.070 dan rusak ringan 22.124 rumah, sehingga total rumah rusak sebanyak 62.628 rumah.
“Tentu saja data ini akan terus berkembang sesuai dengan pendataan tim di lapangan,” kata Suharyanto.
Dia juga menjamin BNPB akan cepat tanggap melakukan pendistribusian logistik secara bertahap kepada warga terdampak gempa 5,6 M di Kabupaten Cianjur.
“Terkait distribusi logistik semakin hari kian membaik. Sementara untuk tenda, secara bertahap kami akan terus menambah bantuan dan personil distribusi.”
Suharyanto juga memastikan lokasi pengungsian yang dilaporkan belum mendapat bantuan, akan segera terpenuhi kebutuhannya.
“Pendistribusian secara berjenjang mulai dari kepala desa sampai dengan kabupaten mudah-mudahan dapat menjadi lebih baik untuk proses distribusi bantuan,” jelas Suharyanto.
Terkait dengan relokasi warga yang rumahnya rusak berat, saat ini BNPB bersama instansi terkait secara pararel sedang melakukan pendataan.
“Untuk yang relokasi sudah mendapat lahan sekitar 2 hektar. Semoga minggu depan sudah mulai pembangunan,” jelas Suharyanto.
Sementara bagi warga yang ingin mengungsi ke rumah kerabat dan tetangga untuk sementara waktu, akan mendapatkan bantuan dana tunggu hunian sebesar Rp500 ribu.
Pengalaman gempabumi yang dramatis dan menyisakan trauma sudah jelas menggambarkan rentannya sisi kejiwaan seseorang yang menjadi korban.
Pada akhirnya penting untuk terlibat mendampingi penyintas, tanpa perlu banyak bertanya. Seperti yang kerap dilalaikan awak media ketika bertanya, “bagaimana perasaan Anda ketika gempa terjadi?” Sebab, perasaan akibat gempabumi bisa bertahan lama dan memicu efek samping masalah mental yang tidak dapat diuraikan hanya dengan kata-kata.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post