Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) meluncurkan film dokumenter yang berjudul ‘Di Balik Satu Batang’ di XXI Metropole, Cikini, Jakarta Pusat, pada Kamis, 24 November 2022 lalu.
Film dokumenter ini merupakan medium advokasi yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran tentang keadaan sosial, kebijakan atau situasi-situasi yang harus diubah bagi para penonton.
Dalam konferensi pers peluncuran film, proses editing film dokumenter ini dilakukan selama 5 bulan. Awal proses sudah sejak Oktober tahun lalu. “Kita bolak balik Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah. Cuma karena terkendala cuaca, jadi petani tidak berani menanam sehingga diundur sampai pertengahan tahun-tahun ini. Ketika itu berhasil rilis bertepatan dengan diumumkannya kenaikan cukai, sehingga momennya pas,” ungkap Iman Zein selaku Project Lead Tobacco Control CISDI sekaligus sutradara dokumenter dikutip dari Film Dokumenter CISDI: Di Balik Satu Batang.
Pendiri CISDI Diah Suminarsih memaparkan ada lima penelitian CISDI yang mendukung promosi kebijakan cukai tembakau telah dirilis dalam tiga tahun terakhir. Pada analisis awal, dia menyebut bahwa CISDI mengestimasi total biaya perawatan kesehatan untuk gangguan akibat merokok mencapai Rp27,7 triliun.
Selain itu, CISDI juga melakukan survei telepon selama wabah Covid-19 untuk mengumpulkan data tentang status perilaku merokok selama pandemi. Pada kajian tersebut ditemukan mayoritas merokok tidak berhenti ataupun menurunkan konsumsinya meski situasi ekonomi sangat sulit.
Selanjutnya, CISDI juga mengembangkan kampanye Dewan Perwakilan Remaja (DPRemaja) pada tahun ini dengan menarik minat sampai 1.176 calon. Dua puluh anggota terpilih telah berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pada masa reses di kota Indonesia.
Dari berbagai macam cara untuk mendukung advokasi kebijakan cukai tembakau yang telah dilakukan CISDI, saat ini CISDI telah mencoba dengan film dokumenter “Di Balik Satu Batang” dari berbagai data kombinasi dan keahlian yang dibangun selama 7 tahun terakhir. Diah berpendapat semua hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan yang telah dikeluarkan selama ini sudah selayaknya mendapat tempat yang luas dalam ranah pemikiran dan publik.
Meski begitu, Diah mengakui film dokumenter merupakan pilihan paling efektif untuk melancarkan advokasi pengendalian tembakau dan mengedukasi khalayak dengan kategori film yang sifatnya deduktif.
Hikmat Darmawan, mewakili Dewan Kesenian Jakarta yang juga Pengamat Film dan Budaya membenarkan bahwa pembuatan film dokumenter CISDI ‘Di Balik Satu Batang’ termasuk dalam kategori dokumenter yang sifatnya deduktif.
“Ini adalah gagasan bahwa jika kita ingin menjelaskan sesuatu, itu bersifat deduktif, instruktif dan informatif. Ada penjelasan seperti itu didalam, ada juga metode agar kutipan muncul di layar, kutipan undang-undang. Sehingga dokumenter jenis ini sangat tepat untuk media mengedukasi khalayak,” ujarnya.
“Yang jelas sebagai medium, memang film dokumenter ini banyak dipilih sekarang bagi senimannya. Namun, pada aktivisme seringkali karena mereka sudah punya keyakinan lalu dengan keyakinan itu kadang-kadang memilih-milih fakta yang sesuai agar kampanyenya berhasil,” sambung Hikmat.
Pada sisi lain, Hikmat juga menyoroti sisi keberimbangan film dokumenter sesuai standar etik jurnalistik yang belum berimbang atau cover both side. Dia menilai hal itu bisa menjadi masalah. Artinya, film ini semata adalah counter naratif atau naratif penyanggah atas dinamika ketegangan antara industri rokok, petani, dan dampak pada kesehatan.
“Nah, akibatnya adalah tidak terasa sebagai cover both side sebagaimana biasanya pendekatan kayak gini. Karena sebenarnya ini edukasi bukan jurnalistik gitu. Tapi metodenya jurnalistik,” sambung Hikmat.
Meski demikian, Hikmat tidak menyoal porsi tersebut karena menurut dia film documenter memang paling ideal sebagai metode menyuarakan aktivisme termasuk aktivisme pada kesehatan masyarakat.
“Saya kira pilihan ini sah-sah saja. Karena saya juga punya soft spot terhadap aktivisme. Jadi memang kita juga perlu juga kayak gitu. Ini juga kan tujuannya edukasi gitu jadi kadang-kadang ya sudah, kalau untuk edukasi memang kita perlu mengenalkan isunya dengan cara seperti ini,” kata Hikmat Darmawan.
Chief Strategist CISDI Yuridhina Meilissa menyatakan, edukasi berbentuk promosi dengan meminta publik tidak merokok sebenarnya sulit dan memakan waktu yang panjang.
“Jadi capek dan susah. Gimana caranya kita bisa memberitahu orang eh jangan ngerokok dong! Karena nggak langsung terasa sakitnya, terus di media juga ada yang bilang, “kakek saya udah 91 tahun ngerokok masih hidup-hidup aja sekarang.”
Selain itu, masih banyak siswa yang membeli rokok dari toko terdekat. Dia menyebut, pada tahun 2015 CISDI bertujuan membujuk anak sekolah untuk menyarankan teman mereka agar tidak mencobanya.
“Kemudian, kami menemukan sebuah toko tidak jauh dari sekolah di mana mereka dapat menjual seribu batang rokok dan diberikan kepada siswa,” ungkapnya.
Selanjutnya ia juga mengatakan CISDI kerap menemukan dan menghadapi orang tua yang biasa meminta tolong anaknya untuk membeli rokok. “Tolong dong beliin rokok. Jadi anak ini dikenalkan sejak kecil. Kalau seperti itu terus susah, yang harus dibantu adalah gimana caranya rokok itu jadi tidak terbeli sama anak sekolah, supaya nggak bisa dibeli pakai uang jajan anak sekolahan yang mungkin lebih dari seribu dalam sehari maka rokoknya harus mahal. Karena kalau mau nggak merokok ya rokoknya harus mahal,” ujar Yuridhina Meilissa.
Dalam buku laporan akhir CISDI 2019 juga menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat dari 238 juta orang tahun 2010 menjadi 305 juta orang pada tahun 2035 (BPS, 2010). Kondisi ini akan diperkuat dengan gaya hidup yang tidak sehat terutama merokok, yang semakin memperburuk kualitas hidup. Saat ini, prevalensi perokok kurang 18 tahun memperlihatkan peningkatan dari 7,2 persen pada 2013, menjadi 9,1 persen pada 2018. “Padahal rokok merupakan penyebab utama dari banyak penyakit kronis.”
Oleh karena itu, tim CISDI berharap agar film dokumenter tersebut bisa menyuarakan pengendalian tembakau bagi banyak orang. Walaupun film ini membuat Yuridhina merasa sangat kesal karena sebetulnya sudah melihat semua temuan tersebut sejak tahun 2015–2016.
“Sampai hari ini, tidak ada yang berubah. Mengingat sejak tahun 2016, cukai berfluktuasi, kadang naik dan kadang turun. Namun, karena petani identik, tidak ada perbedaan sama sekali. Mudah-mudahan setelah tayangnya film dokumenter ini menjadi langkah awal yang baik untuk memberi tahu pemerintah bahwa yuk dibantuin,” ungkap Yuridhina.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post