Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) sebagai lembaga masyarakat sipil bidang kesehatan mengadvokasikan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) untuk menekan konsumsinya dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Advokasi ini dilakukan secara daring, dan usulan ini didukung lebih dari 13.000 penandatangan petisi dari masyarakat luas dan 21 organisasi masyarakat sipil.
Dalam peluncuran riset CISDI berjudul; “Elastisitas HargaPermintaan Minuman Berpemanis dalam Kemasan di Indonesia” di Grand Sahid Jaya Hotel, 29 November 2022 lalu, Prof. Agus Widarjono, M.A., Ph.D selaku anggota tim peneliti dari CISDI mengatakan, berdasarkan hasil studi elastisitas harga permintaan yang dilakukan, dia mengestimasi penerapan cukai MBDK sebesar 20 persen akan menurunkan permintaan masyarakat rata-rata hingga 17,5 persen.
Riset elastisitas harga permintaan ini menyatakan rata-rata besaran nilai elastisitas produk MBDK yang diteliti adalah -1,09. Artinya, kenaikan rata-rata harga MBDK sebesar 1 persen akan diikuti penurunan permintaan produk MBDK rata-rata sebesar 1,09 persen.
“Kami juga merekomendasikan pengenaan cukai secara volumetric dan/atau berdasarkan kandungan gula karena berdasarkan penelitian ini, keduanya sama-sama efektif dalam mengurangi permintaan produk MBDK dan memaksimalkan pemasukan negara,” Agus menambahkan.
Pembatasan MBDK harus menjadi perhatian pemerintah karena data menunjukkan bahwa konsumsinya telah meningkat hingga 15 kali lipat, dari sekitar 51 juta liter pada tahun 1996, menjadi 780 juta liter pada tahun 2014, jauh melebihi pertumbuhan jumlah populasi yang meningkat 0,3 kali lipat dari 200 juta ke 255 juta pada periode yang sama.
“Penerapan cukai MBDK akan menjaga masyarakat dari konsumsi MBDK berlebih dan mengurangi beban biaya kesehatan sebagai akibat obesitas dan PTM,” ujar Agus.
Sebagai catatan, konsumsi MBDK berlebih memiliki kaitan yang erat dengan peningkatan resiko obesitas serta PTM. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan persentase penduduk Indonesia yang mengalami obesitas meningkat dua kali lipat dalam satu dekade terakhir, dari 10,5 persen pada 2007 menjadi 21,8 persen pada 2018. Sementara itu tren peningkatan juga terjadi pada prevalensi PTM di Indonesia seperti diabetes, hipertensi, stroke dan gagal ginjal kronis. Saat ini, PTM tercatat sebagai tujuh dari sepuluh penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
“Cukai ini perlu diterapkan secara komprehensif dan serentak ke semua produk MBDK, baik yang berpemanis gula maupun berpemanis buatan, serta produk olahan dan siap saji. Ini akan mencegah masyarakat mengalihkan konsumsinya ke produk MBDK lain yang tidak terkena cukai,” ujar Olivia Herlinda, Chief of Policy and Research CISDI.
Olivia mengklaim, masyarakat pun mendukung kebijakan cukai MBDK. Kondisi ini terlihat dari dukungan 13.000 orang di petisi “Diabetes dan Obesitas Mengintai: Lindungi Masyarakat dari Bahaya Minuman Berpemanis” serta surat dukungan dari 21 organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Food Policy.
Shita Dewi, peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM), dan juga selaku perwakilan dari Koalisi Food Policy menjelaskan, petisi dan surat dukungan ini disampaikan kepada perwakilan pemerintah yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Dia menyebut, riset ini menunjukkan bahwa cukai akan efektif mengurangi konsumsi MBDK di masyarakat. Ini seharusnya menjadi dorongan kuat bagi pemerintah untuk memprioritaskan penyusunan teknis regulasi penerapan cukai MBDK pada 2023.
“Apalagi rencana cukai MBDK ini juga mendapat dukungan penuh dari masyarakat,” ujar Shita.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post