Pada peringatan Hari Disabilitas Sedunia 3 Desember 2022 lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO), menegaskan kepada pemerintah dunia untuk segera melakukan inovasi dan mewujudkan solusi transformative untuk mencapai kesehatan bagi semua masyarakat.
WHO menyatakan, 1,3 triliun orang atau 16 persen dari populasi dunia mengalami disabilitas. Angka ini terus meningkat karena disabilitas juga tersebar di beberapa kelompok yakni dari sisi usia, gender, orientasi seksual, agama, ras, etnis, dan latar belakang ekonomi. Orang dengan disabilitas umumnya memiliki kesehatan yang lebih rentah sehingga lebih besar menyebabkan kematian karena mengalami keterbatasan fungsi dalam kehidupan sehari-hari. WHO menyebut, kondisi ini juga sangat disebabkan oleh stigma, diskriminasi, kemiskinan, akses pendidikan dan pekerjaan yang dibatasi, hak yang belum setara dalam sistem kesehatan.
Oleh karenanya, Global Report in Health Equity for Persons with Disabilities dari WHO menuntut inovasi dan solusi transformatif untuk mengembangkan kesehatan yang inklusif bagi kelompok disabilitas. Caranya hanya dengan menjadikan kelompok disabilitas sebagai subyek utama dan menghapus segala kendala; baik diskriminasi sampai stigma.
Temuan menarik dari WHO, perempuan disabilitas memiliki kerentanan dua kali lipat ketimbang penyandang disabilitas non perempuan. Sebagai contoh, laporan ini menemukan perempuan disabilitas 2-4 kali lebih rentan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual bahkan dari pasangannya sendiri. WHO pun menambahkan kondisi ini makin parah akibat pandemi COVID-19.
“Para kontributor feminisme ikut memperjuangkan hak-hak kelompok disabilitas. Apalagi ada aspek lain sebagai identitas perempuan, dari segala latar belakang, termasuk dari sisi disabilitas ketubuhan,” ujar Pendiri Kalyanamitra, Myra Diarsi, dalam diskusi daring ‘Feminisme dalam Gerakan Disabilitas’ pada Juli 2022 lalu.
Menyoal disabilitas sudah ada Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Artinya, regulasi ini bertujuan memuat secara khusus hak-hak perempuan disabilitas. Ada upaya afirmasi, dorongan, meningkatkan partisipasi perempuan disabilitas dalam masyarakat level lokal, nasional, hingga internasional.
Menurut UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. UU menjelaskan, definisi Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
Ketua Komunitas Interaksi Solo, Pamikatsih, membenarkan bahwa UU tersebut merupakan wujud penguatan hak asasi kelompok difabel. Meski demikian, sejak 1994 dia aktif dalam komunitas Sahabat Difabel, sampai sekarang belum ada perubahan atas ideologi kenormalan yang mengakar di masyarakat yang akibatnya membuat kelompok difabel tidak menjadi subyek melainkan obyek semata.
“Jadi masih ada persepsi yang salah di masyarakat tentang difabel. Ada ideologi normal vs cacat atau tidak normal,” katanya.
Pengalaman menjadi ‘tidak normal’ akibat ideologi normal di tengah masyarakat sempat dialami Ratumas Dewi, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Jambi.
“Saya kerap mendapat stigma, kok kamu pakai tongkat? Saya tanggapi, saya santai saja,” ujar Dewi yang sejak kecil mengalami sakit polio sehingga membutuhkan alat bantu untuk berjalan.
Dia pun curhat sempat merasa orang tua secara tidak langsung memandang Dewi berbeda dan tidak bisa diharapkan. Dewi pun seolah disiapkan menjadi ‘beban’ bagi kakak dan adiknya yang lain.
Bangunan stigma ‘tidak normal’ ini memicu Dewi untuk lebih berprestasi dari kawan-kawannya saat duduk di bangku sekolah dasar (SD). “Saya rajin belajar, masuk 3 besar sampai tamat SD. Saya juga dapat beasiswa prestasi.”
Dinamika baru muncul ketika Dewi memasuki usia remaja dan mulai mengenal lawan jenis. Ideologi kenormalan yang menjadi kebiasaan sosial sempat membuat Dewi resah, akankah dia memiliki pasangan hidup, ketika banyak perempuan seusianya sedang gencar-gencarnya memiliki pacar?
Tak hanya urusan hati, urusan kantong juga memicu dinamika baru dalam perjalanan hidup Dewi. Meski telah menorehkan prestasi yang sangat baik selama sekolah, Dewi tak pernah diterima bekerja di perusahaan. Dia telah melamar kerja di butik sampai pernah melamar pegawai negeri. Semuanya gugur dengan alasan takut jika Dewi mengalami kecelakaan kerja.
Asal tahu saja, Pasal 11 UU Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa ada hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa Diskriminasi; memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan Penyandang Disabilitas dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama; memperoleh Akomodasi yang Layak dalam pekerjaan; tidak diberhentikan karena alasan disabilitas; mendapatkan program kembali bekerja; penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat; memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karier serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya; dan memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri.
Perempuan yang sejak 2010 berkiprah di HWDI sebagai Ketua Pusat Informasi Perempuan dan Penyandang Disabilitas ini menilai ideologi kenormalan membuat UU Penyandang Disabilitas tentang keterwakilan difabel dalam ruang kerja sesungguhnya belum berjalan dengan baik. Dia sendiri merupakan contoh nyata sulitnya difabel terserap dalam bursa kerja dengan berbagai alasan. Akibatnya, regulasi dijalankan hanya sebatas afirmasi 1-2 orang saja disabilitas yang dipekerjakan. Ini menandakan persentase yang ditetapkan pemerintah tak semua ditaati oleh pelaku usaha.
“Kebutuhan memahami disabilitas harus kembali ke setiap individunya. Saya bisa jadi sama dengan perempuan difabel lainnya. Saya butuh perhatian dari keluarga, sama dengan perempuan lainnya. Adanya pembedaan [normal dan difabel] ini tanpa kita sadari menjadi cara pandang masyarakat ke kita seolah sama, tanpa tahu kebutuhan kita yang mana, dan tanpa komunikasi dulu ke kita,” ungkap Dewi.
Tak berbeda dengan Dewi, Fatimah Asri Mutmainah satu satu perempuan penyandang disabilitas yang aktif di HDWI Kabupaten Rembang mengakui, kebutuhan dia sebagai perempuan tentu sama dengan kebutuhan manusia dan perempuan lain. Sayangnya, persepsi yang didasari oleh rasa peduli, juga berpotensi membangun stigma yang membuat para penyandang disabilitas merasa terpinggirkan.
“Ketika saya mengalami disabilitas di usia yang muda, 20 tahun, keluarga termasuk orang tua saya pun melihat saya tidak mampu dan saya menjadi beban bagi orang lain,” kata Fatimah Asri.
Padahal dalam UU Penyandang Disabilitas tercantum bahwa perempuan dengan disabilitas memiliki hak atas kesehatan reproduksi; menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi; mendapatkan Pelindungan lebih dari perlakuan Diskriminasi berlapis; dan untuk mendapatkan Pelindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.
Artinya, ada bangunan konstruksi sosial yang membuat Fatimah Asri resah. Akankah, dia memiliki hidup yang sama dan akses yang sama dengan perempuan lain?
“Saya kecelakaan di usia 20 tahun. Jadi lumayan adaptasi berat karena usia dewasa kehilangan tagan dan bagaimana kemudian posisi pendamping penting untuk saya,” tutur Fatimah Asri.
“Ketika saya habis menikah 10 hari kemudian kecelakaan, ibu saya mengatakan, kamu jangan punya anak ya mudah-mudahan. Padahal itu diskriminasi halus,” ungkap Asri mengenang fase berat itu.
“Andaikan ada riset kecil-kecilan, sebenarnya mana yang paling banyak perempuan disabilitas nikah dengan non disabilitas? Atau lelaki disabilitas nikah dengan perempuan non disabilitas, kenapa? Karena persepsi lelaki disabilitas itu wajar, kalau perempuan disabilitas itu sudah dianggap tidak produktif,” sambung Asri.
Adaptasi menjadi perempuan difabel meliputi kebutuhan Asri ketika datang bulan, kebutuhan untuk membersihkan diri dan berhias. Akibatnya, ada suka duka sebagai perempuan dan ketubuhan yang Asri alami dan perjuangkan sejak menjadi difabel.
Asri menilai, regulasi yang ada sejak 2016 memang berupaya mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Sayangnya, UU tidak cukup mampu meminimalisir hambatan dan memunculkan potensi kelompok difabel sebagai individu yang bisa berkontribusi secara optimal.
“Selama ini cara saya memperjuangkan kebutuhan saya adalah dengan menjadi eksis. Faktanya memang kami tuh rentan sekali namanya stigma. Termasuk saya alami itu juga,” tuturnya.
Derma yang mematikan pemberdayaan
Pamikatsih yang pada 1999 mendirikan Komunitas Interaksi Solo menilai, sebagai sesama perempuan penyandang disabilitas ketidakmampuan menjadikan perempuan sebagai subyek membuat kelompok disabilitas kerap menjadi sasaran untuk program sosial semata.
“Akibat konstruksi sosial yang dibangun, selama ini yang dilakukan adalah derma atau charity. Dua hal lain tak digarap yakni konstruksi aksesibilitas fisik dan non fisik. Apalagi berat untuk membicarakan isu aksesibilitas non fisik ini,” sambung Pamikatsih.
Dia mengusulkan pemerintah perlu menghentikan program-program sosial seperti hanya membagikan sembako, atau alat bantu bagi penyandang disabilitas. Sebaliknya, pemerintah harus menjalankan target-target pembangunan berkelanjutan dengan memastikan keterlibatan penyandang disabilitas dalam aktivitas sosial ekonomi sehari-hari.
Pamikatsih juga mengingatkan agar perspektif ideologi kenormalan untuk membantu yang ‘non-normal’ tidak berkembang dan terlalu lama bereproduksi di tengah masyarakat. Dengan begitu, tidak terbangun arogansi kenormalan dalam program-program pemerintah bagi penyandang disabilitas.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post