Kasus polio pertama di Kabupaten Pidie ditemukan setelah terdapat anak usia tujuh tahun yang mengalami lumpuh layuh di kaki kirinya pada Oktober 2022. Dokter anak sudah mencurigai anak tersebut terjangkit polio sehingga kemudian mengambil spesimen untuk dikirimkan ke Dinas Kesehatan provinsi Aceh. Pada 7 November 2022, hasil laboratorium mengonfirmasi bahwa anak tersebut mengidap polio.
Dikutip dari siaran pers Kementerian Kesehatan pada Sabtu (19/11/2022), Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan anak tersebut mengalami pengecilan bagian otot paha dan betis kiri. Pasien tidak memiliki riwayat imunisasi dan tidak memiliki riwayat perjalanan maupun kontak dengan pelaku perjalanan.
Temuan anak positif polio tersebut kemudian membuat Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie melalukan pemeriksaan terhadap anak-anak lain yang dekat dengan anak tersebut. Pemeriksaan dengan mengambil sampel tinja pada anak usia kurang dari lima tahun tersebut akhirnya mendapatkan tiga anak positif polio tanpa gejala lumpuh layuh mendadak.
Mengapa temuan kasus polio di Kabupaten Pidie tersebut sampai harus dinyatakan sebagai KLB? Anggota Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. dr. Raihan, SpA(K) mengatakan virus polio memiliki tiga tipe, yaitu tipe 1, 2, dan 3.
“Tipe 2 telah dinyatakan eradikasi pada 2015, sedangkan tipe 3 pada 2019. Pada 2014, negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah mendapatkan sertifikat eradikasi polio,” jelasnya.
Dengan eradikasi tersebut, maka polio dinyatakan sudah tidak ada di Indonesia. Karena itu, penemuan satu kasus polio di Kabupaten Pidie membuat pemerintah setempat menyatakan sebagai KLB. Kasus tersebut ibarat fenomena gunung es karena Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan satu dari 200 kasus polio mengalami kelumpuhan.
“Karena itu bisa diasumsikan bahwa dari satu kasus lumpuh layuh akibat polio di Kabupaten Pidie, terdapat 200 kasus lain tanpa gejala,” tuturnya.
Raihan mengatakan poliomyelitis atau polio adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio yang menyerang system syaraf, menyebabkan lumpuh layuh sehingga terjadi kecacatan permanen dan seumur hidup. Penularan virus polio terjadi melalui lingkungan atau air dan makanan yang tercemar oleh tinja yang mengandung virus polio.
Virus polio masuk ke dalam tubuh melalui mulut, kemudian berkembang biak di kelenjar getah bening saluran cerna, masuk ke sirkulasi darah, kemudian ke sistem syaraf sehingga menyebabkan kelumpuhan dan kecacatan hingga kematian.
“Seorang anak yang terinfeksi polio mengeluarkan virus melalui tinja dan sangat menular, Virus bisa bertahan di dalam tinja hingga 100 hari dan dapat menyerang semua usia terutama anak usia di bawah lima tahun,” jelasnya.
Virus berinkubasi di dalam tubuh selama tiga hari hingga empat hari dan kelumpuhan dapat terjadi dalam tujuh hari hingga 21 hari. Kebanyakan infeksi polio tidak bergejala, tetapi pada beberapa kasus muncul gejala demam, sakit tenggorokan, sakit kepala, hingga meningitis.
Gejala berat yang muncul adalah kelumpuhan dalam 48 jam dari sumsum tulang belakang sampai otot, batang otak, atau keduanya sekaligus, menganggu pernafasan, kesulitan makan, lumpuh pita suara, hingga kesulitan bicara.
“Tidak ada pengobatan spesifik untuk polio. Yang bisa dilakukan hanya Tindakan suportif untuk mencegah kecacatan lebih lanjut agar anggota gerak dapat kembali berfungsi senormal mungkin dengan melalui fisioterapi atau terapi fisik. Namun, tidak ada pengobatan untuk kelumpuhan polio permanen,” kata Raihan.
Pencegahan paling efektif dan utama adalah dengan imunisasi polio. Terdapat dua macam vaksin polio, yaitu tetes dan suntikan. Imunisasi tetes dilakukan sebanyak empat kali setiap bulan hingga bayi berusia empat empatt bulan, sedangkan imunisasi suntuk dilakukan saat bayi usia satu bulan.
Agar imunisasi dapat mencegah polio melalui kekebalan komunitas atau herd immunity, maka cakupan imunisasi harus di atas 95 persen dan merata di setiap wilayah. Semakin turun cakupan imunisasi, maka kekebalan imunitas akan menurun.
Selain itu, polio juga dapat dicegah melalui pencegahan pencemaran lingkungan dan pengebdalian infeksi dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Karena menular melalui tinja, maka aktivitas buang air besar harus dilakukan di jamban yang memiliki septic tank. Rajin mencuci tangan dan lebih waspada dalam memilih makanan dan minuman yang bersih juga menjadi hal yang penting.
Raihan, yang merupakan anggota IDAI Cabang Aceh, mengatakan situasi di Kabupaten Pidie memang berpotensi terhadap penularan polio. Faktor pertama adalah cakupan imunisasi polio. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, cakupan imunisasi di Kabupaten Pidie, dan Provinsi Aceh, terus mengalami penurunan sejak 2011 hingga 2022.
Menurut survei Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, alasan orang tua tidak memberikan imunisasi tetes kepada anak adalah menganggap tidak perlu (39.05 persen); anak menjadi sakit, demam, dan menangis (28,31 persen); alas an agama (22,89 persen); takut “disuntik” (9,35 persen); dan khawatir terhadap kejadian ikutan pascaimunisasi atau KIPI (0,4 persen).
Sedangkan alasan orang tua tidak memberikan imunisasi suntik kepada anak adalah anak sakit, demam, dan menangis (39,51 persen); menganggap tidak perlu (30,24 persen); takut disuntik (19,1 persen); alasan agama (12 persen); dan khawatir terhadap KIPI (empat persen).
Dari hasil survei cepat terhadap 26 rumah tangga di lokasi penemuan kasus polio di Kabupaten Pidie terhadap 33 anak usia nol hingga 59 bulan dan 49 anak usia di bawah 15 tahun, ditemukan hanya ada delapan anak (24 persen) yang mendapatkan imunisasi tetes secara lengkap, sementara tidak ada yang pernah mendapatkan imunisasi suntik.
Alasan orang tua atau pengasuh tidak mengimunisasi anak antara lain takut efek samping atau KIPI, anak belum turun tanah, ayah tidak mengizinkan, orang tua atau pengasuh tidak tahu apa itu imunisasi polio, takut disuntik, memiliki pengalaman tidak menyenangkan saat imunisasi, alasan keyakinan/agama, merasa anak tidak perlu mendapatkan imunisasi polio, mendengar berita negatif tentang imunisasi, dan tidak tahu di mana bisa mendapatkan imunisasi.
Faktor kedua yang menjadi penyebab penularan polio di Kabupaten Pidie adalah rumah pasien yang ternyata tidak memiliki WC. Terdapat WC umum untuk melakukan aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK), tetapi jarang digunakan. Warga setempat lebih sering ke sungai untuk melakukan MCK.
“Saat seseorang yang terinfeksi buang air besar di sungai, maka air di sungai tersebut menjadi tercemar dengan virus polio. Apalagi, virus polio dapat hidup di dalam tinja hingga 100 hari,” jelas Raihan.
Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik IDAI Dr. dr. Anggraini Alam, SpA(K) mengatakan anak mudah terinfeksi penyakit apa pun bila tidak berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Cakupan imunisasi anak juga menurun karena orang tua takut membawa anaknya ke fasilitas Kesehatan untuk diimunisasi pada saat pandemic Covid-19.
“Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh Indonesia. Namun, Indonesia yang paling lumayan terdampak sampai kemudian ditemukan kasus polio di Kabupaten Pidie, Aceh,” tuturnya.
Anggi mengatakan kasus polio di Aceh, yang menemukan empat pasien dengan salah satunya mengalami lumpuh layuh, telah menjadi perhatian global. Apalagi, polio merupakan penyakit yang bisa dicegah melalui imunisasi.
Penularan polio berpotensi menyebabkan wabah dan berpotensi menguras ekonomi. Karena ada kasus yang kemudian memicu pernyataan KLB, segala sumber daya ekonomi, sosial, dan manusia harus dikerahkan agar penularan tidak meluas.
“Karena itu, kami ingin menggugah hati para orang tua agar tidak enggan mengimunisasi anaknya. Tidak perlu khawatir jadwal imunisasi anak terlewat. Bila anak belum mendapatkan imunisasi tertentu, berikan saja imunisasi kapan pun. Bahkan orang dewasa pun bisa diimunisasi,” katanya.
Langkah cepat pemerintah
Kementerian Kesehatan akhirnya memulai pemberian imunisasi massal polio serentak selama sepekan mulai 28 November 2022. Imunisasi ini ditargetkan kepada 95.603 anak berusia 0-12 tahun di Kabupaten Pidie, Aceh.
“Hari ini, kita telah mulai memberikan imunisasi polio massal kepada anak-anak di Kabupaten Pidie. Alhamdulillah, hari ini sudah 14.000 anak yang diimunisasi,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dr. Maxi Rein Rondonuwu melalui siaran pers yang dikutip Prohealth.id.
Selain di Kabupaten Pidie, imunisasi juga akan dilaksanakan di 21 Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Pelaksanaanya akan dilakukan secara bertahap, sejumlah 2 putaran dengan target sasaran sekitar 1.217.939 anak rentang usia 0-12 tahun.
Untuk imunisasi putaran pertama dilaksanakan di Kabupaten Pidie mulai 28 November 2022, di Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara dan Kota Sabang akan dimulai 5 Desember, sedangkan untuk kabupaten/kota lain di Provinsi Aceh akan dimulai pada 12 Desember 2022. Sementara putaran kedua, akan dimulai minggu ke-4 Januari 2023 meliputi seluruh wilayah di Provinsi Aceh.
Pada masing-masing putaran, akan menggunakan vaksin novel Oral Polio Vaccine Type 2 (nOPV2) kemasan 50 dosis per vial yang diproduksi oleh PT. Biofarma. Vaksin ini digunakan hanya pada pelaksanaan Sub PIN dalam rangka penanggulangan KLB Polio tipe 2.
“Masing-masing putaran Sub PIN akan dilaksanakan dalam waktu 1 minggu ditambah 5 hari sweeping. Jarak minimal antarputaran adalah satu bulan, dengan target capaian sekurang-kurangnya 95 persen merata di seluruh wilayah,” terang Dirjen Maxi.
Dia berharap target tersebut bisa tercapai. Jika masih ditemukan risiko penularan, maka akan dilakukan imunisasi putaran berikutnya. “Hal ini untuk memastikan penularannya benar-benar bisa kita hentikan,” imbuh Dirjen Maxi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengingatkan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mencanangkan dunia harus bebas dari polio pada tahun 2026. Meski Indonesia sudah mendapatkan sertifikat bebas Polio dari WHO pada 2014 lalu, namun akibat rendahnya cakupan vaksinasi di Indonesia, kasus positif Polio kembali ditemukan di Kabupaten Pidie, Aceh. Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang cakupan vaksinasinya rendah.
“Saya lihat data mana saja Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang memang cakupan vaksinasi polionya rendah. Provinsi Aceh memang bukan yang paling rendah tapi termasuk yang rendah.” kata Budi G. Sadikin dalam kegiatan Pencanangan Sub Pekan Imunisasi Nasional (Sub PIN) Aceh di Anjong Mon Mata, Komplek Pendopo Gubernur Aceh, Banda Aceh pada Senin, 5 Desember 2022.
Berdasarkan laporan dari Pj Gubernur Aceh, di hari ke-6 pelaksanaan imunisasi polio serentak sudah mencapai 79.5 persen anak yang diimunisasi.
“Pelaksanaan Sub-PIN Polio sebagai respon dari KLB Polio di Aceh telah dilaksanakan di Kabupaten Pidie sejak 28 November 2022 lalu, dan pada Minggu, 4 Desember kemarin sudah mencapai 79,5 persen. Semoga target 95 persen bisa tercapai.” ujar Achmad Marzuki, Pj Gubernur Aceh.
Oleh karena itu, Budi optimis capaian target imunisasi polio di Provinsi Aceh akan terpenuhi. Dia juga mengajak para rektor universitas untuk terus meningkatkan edukasi kesehatan ke masyarakat.
“Terakhir saya titip pesan kepada para rektor dan dekan universitas supaya edukasi kesehatan kepada masyarakat terus ditingkatkan. Harapannya Aceh bisa segera bebas dari polio kurang dari satu bulan,” tutur Budi.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post