Jakarta, Prohealth.id – Luputnya pemahaman masyarakat Aceh terhadap urgensi aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ini diduga karena tidak adanya keselarasan antara Qanun yang ditetapkan Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pelaksana aturan tersebut sehingga penerapannya pun menjadi tidak maksimal.
Qanun Aceh No. 4 Tahun 2020 merupakan Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh. Qanun tersebut mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di wilayah Provinsi Aceh yang juga mengatur Larangan Menyelenggarakan Reklame Rokok pada Bab V Pasal 20, 21 dan 22.
Dalam hasil penelitian kolaborasi antara Indonesian Tobacco Control Research Network (ITCRN), Universitas Syiah Kuala, dan UIN Ar-Raniry Aceh menyatakan bahwa setelah dua tahun ditetapkannya aturan larangan iklan rokok dalam Qanun Aceh Nomor 4 tentang KTR tersebut ternyata penerapannya belum terlaksana dengan baik. Hal itu karena berdasarkan temuan penelitian menunjukkan masih sebanyak 177 ritel iklan rokok yang terpampang di sepanjang ruas jalan nasional dan provinsi di Banda Aceh.
Adapun menurut Koordinator Penelitian dan Advokasi dari Universitas Syiah Kuala, Rizanna Rosemary mengatakan ketentuan yang ada dalam Qanun Aceh No. 4 Tahun 2020 tidak diterjemahkan pada turunan di bawahnya sebagaimana layaknya Peraturan Daerah lainnya terkait KTR.
“Berbeda dengan Perda lainnya terkait KTR, penyelenggaraan larangan iklan rokok ini kemudian tidak diterjemahkan di aturan di bawahnya. Jadi ketika itu para anggota dewan atau tenaga ahli berkesimpulan bahwa penyelenggaraan tentang iklan rokok ini tetap berada di bawah Qanun dan kemudian akan diterjemahkan dan difermentasikan oleh Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA),” ujar Rizanna dalam Webinar Advokasi Larangan Iklan Rokok pada Rabu, 7 Desember 2022.
Sementara itu, Peneliti Sosial Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Rohani Budi Prihatin menilai adanya kelonggaran pada penerapan Qanun No. 4 Tentang KTR dalam mengendalikan iklan rokok di luar ruang di Kota Banda Aceh. Menurutnya, Qanun yang ada pada masing-masing Kabupaten/Kota tampak tidak selaras dengan yang ada di Pemerintahan Provinsi.
“Kadang apa yang ada di pusat sama yang di daerah dibaca kebalikan atau tidak keseluruhan apa yang diterapkan di provinsi akan dipatuhi oleh kabupaten atau kota. Secara sederhana Qanun yang ada di masing-masing kabupaten/kota harus senafas, selaras, seide, segaris dengan apa yang ada di pemerintahan provinsi sehingga kesannya seperti berjalan sendiri-sendiri,” ungkap Budi.
Dia melanjutkan, bahwa walaupun provinsi sudah menetapkan pembatasan iklan rokok, namun pada praktiknya pembatasan iklan rokok yang di Qanun ini tidak sendirinya berlaku di beberapa kabupaten/kota di Aceh.
“Sehingga kabupaten/kota tetap membutuhkan Perda lagi yang menginduk atau selaras dengan Qanun No.4,” sambung Budi.
Lebih lanjut, temuan penelitian kolaborasi tersebut juga menyatakan bahwa sebagian besar pemilik ritel yang pada kiosnya terdapat iklan rokok mengaku tidak mengetahui tentang Qanun KTR Aceh No. 4 Tahun 2022. Namun dari 177 ritel yang pada media luar ruangnya terdapat iklan rokok, hanya 11 orang pemilik ritel yang mengetahui adanya Qanun tersebut karena menerima surat edaran yang diberikan oleh pemerintah dan sebagian di antaranya mengetahui dari surat kabar. Sehingga hal itu menandakan tidak meratanya sebaran terkait aturan yang tertuang dalam Qanun KTR Aceh No. 4 Tahun 2022 tersebut.
Kemudian paparan iklan rokok yang ditemukan dalam penelitian tersebut mencapai 267 iklan. Adapun bentuk iklannya berupa baliho, banner, neon box, papan nama, poster, stiker dan wall painted (bangunan toko yang dicat merek rokok). Sebagian besar iklan tersebut didominasi oleh banner dan iklan yang berukuran sedang dan besar.
Menanggapi hal itu, Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh Supriady menyatakan bahwa masih perlu dilakukan sosialisasi lagi terkait penerapan Qanun KTR Aceh No. 4 Tahun 2020 di Kota Banda Aceh. Meski begitu, Supriady mengungkapkan bahwa penerapan Qanun KTR versi Kota Banda Aceh sendiri sudah berjalan pada tahap sidak dan akan melaksanakan Sidang Tipiring pada tahun depan.
“Masih dibutuhkan sosialisasi terkait Qanun KTR Provinsi terutama ke masyarakat luas, baik itu dari media sosial ataupun dalam pertemuan-pertemuan, jadi ini menjadi PR bersama,” jelas Supriady.
Walaupun di Aceh sudah ada Qanun KTR sendiri versi Kota Banda Aceh dan saat ini juga bukan pada tahap sosialisasi tapi pada tahap sidak kemudian direncanakan tahun depan itu pelaksanaan sidang tipiring itu akan dilakukan.
“Kemudian terkait dengan iklan memang kita belum masuk kepada Pemprov tentang pelarangan iklan karena di Qanun KTR kita sendiri juga larangan iklan itu hanya di 12 KTR tersebut belum di tempat-tempat yang lain,” ungkap Supriady.
Lebih lanjut, Supriady mengatakan penerapan KTR di Kota Banda Aceh sudah berjalan dengan baik dimana dalam penindakannya Pemkot Banda Aceh memberikan sanksi tegas yang di antaranya berupa sanksi administrasi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUM) Banda Aceh dan sanksi denda uang bagi ASN Kota Banda Aceh jika merokok di area KTR dengan pemotongan TPP 10 persen. Selain itu, Dinkes Kota Banda Aceh juga memberikan penghargaan bagi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang melaksanakan KTR dan memberikan sertifikat hitam bagi OPD yang tidak melaksanakan KTR.
Pasal 20 pada Qanun No. 4 Tahun 2020 Memicu Multitafsir
Menurut Budi, larangan menyelenggarakan reklame rokok yang tertuang dalam Qanun KTR Aceh No. 4 Tahun 2022 terkesan belum tegas. Ia menyatakan bahwa aturan tersebut seolah prinsipnya masih memperbolehkan iklan rokok dengan syarat.
“Sejak dari proposalnya, ada problematika tentang iklan rokok dalam Qanun No. 4 ini, sehingga akan ada semacam kedodoran dalam pelaksanaannya, karena apa yang tertulis dengan apa yang faktual terjadi di lapangan kira-kira lebih banyak variasi di lapangannya yang akan luar biasa susah dikendalikan. Kemudian memang Qanun No. 4 ini prinsipnya masih memperbolehkan iklan dengan syarat jadi belum memasuki apa yang kita sebut sebagai larangan iklan secara total,” ujar Budi.
Budi melanjutkan, dalam Pasal 20 Qanun KTR Aceh Tahun 2020 disebutkan bahwa pelarangan iklan rokok itu dilakukan jika iklannya berada di KTR seolah iklan rokok yang berada di luar KTR itu diperbolehkan. Kemudian disebutkan juga pelarangan iklan rokok berlaku apabila diletakkan di ruas jalan nasional atau provinsi sehingga menimbulkan tafsir bahwa iklan rokok yang diletakkan di jalan Kabupaten/Kota atau di jalan perumahan itu diperbolehkan.
Berdasarkan hal itu, Budi menyarankan dilakukannya revisi Pasal 20 dalam Qanun KTR Aceh No. 4 Tahun 2020. Ia berharap agar dalam revisinya lebih ditegaskan lagi terkait pelarangan iklan rokok di seluruh wilayah Provinsi Aceh benar-benar dilarang secara total.
Perlu Adanya Penegasan Kembali dalam Qanun
Provinsi Aceh yang dalam penerapan ketentuan hukumnya menerapkan syariat Islam, diharapkan dapat lebih mempertegas lagi terkait aturan-aturan larangan iklan rokok dan penerapan KTR. Menurut Budi, sebagai barang yang kena cukai, rokok dapat disejajarkan ketegasan aturannya dengan minuman beralkohol yang aturan peredaran dan pengiklanannya sudah ditegaskan di Indonesia.
“Daerah itu perlu diyakinkan dengan argumentasi yang kira-kira rokok itu sejajar dengan minuman alkohol karena ya pertama, dia barang yang kena cukai cukup tinggi sebesar 57 persen. Kedua, Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat islam, harusnya Aceh itu wilayah yang sangat tegas terhadap iklan rokok karena dipastikan tidak ada iklan bir tidak ada iklan minuman beralkohol tidak ada minuman turunan dari alkohol atau tercampur sedikit alkohol dan lain sebagainya jadi apa boleh buat kita sebut sebagai alkohol dengan rokok itu adalah satu tarikan nafas jika iklan minuman alkohol itu dilarang harusnya iklan rokok juga dilarang,” ujar Budi.
Budi menambahkan, dampak eksternalitas dari rokok yang lebih banyak dari minuman alkohol yakni rokok dapat membahayakan bagi orang-orang di sekitarnya. Sedangkan minuman alkohol yang hanya memberi dampak buruk bagi yang mengonsumsinya seharusnya sudah cukup menjadi alasan untuk Aceh segera menetapkan aturan yang tegas terkait dengan larangan iklan rokok.
“Rokok itu adalah bagian dari barang yang apabila dikonsumsi membahayakan si pemakainya dan lingkungan di sekitarnya. Rokok juga memiliki dampak yang sama bahkan alkohol, namun dampak eksternalitasnya lebih banyak rokok karena kalau alkohol diminum air minumnya yang mampu yang punya efek tapi kalau rokok yang merokok itu kena dampaknya yang di depan si perokok yang tidak merokok itu kena eksternalitasnya, itu dua kali lipat dari alkohol itulah kenapa kami lagi mendorong ini. Nah, suatu saat kami berharap Aceh kota yang sudah tidak ada lagi iklan rokok, karena iklan rokok itu iklan yang untuk mempengaruhi anak-anak untuk menjadi perokok pemula, kita berkejaran dengan industri rokok agar anak-anak menjadi pecandu rokok lebih awal,” ujar Budi.
Anak-anak Berhak untuk Tidak Melihat Iklan Rokok
Budi menyatakan, dalam penelitian tentang KTR yang pernah ia lakukan di 12 Kabupaten/Kota ditemukan adanya hubungan iklan rokok dengan sekolah. Penempatan iklan rokok yang seringkali nampak di dekat sekolah seolah menjadi tempat favorit bagi industri rokok dalam menargetkan anak sekolah untuk menjadi konsumen rokok sejak dini.
“Di mana ada sekolah di situ ada iklan atau baliho yang paling besar, itu selalu. Karena itu adalah taktik agar anak-anak mulai melihat iklan rokok dengan baliho besar yang di taruh di sekolahan, bahkan kalau perlu mereka itu akan menaruh baliho yang dari lapangan sekolah saja sudah kelihatan. Nah itu industri-industri berani bayar mahal karena itu lokasi favorit,” ujar Budi.
Lebih lanjut, Budi mendorong agar iklan rokok yang terpampang di dekat sekolah dapat ditindaklanjuti dengan melibatkan anak-anak. Menurutnya, anak-anak sendiri yang harus menurunkan iklan rokok karena anak-anak itulah yang perlu kita lindungi dari pengaruhnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post