Jakarta, Prohealth.id – Tenaga medis khususnya dokter tidak bisa mengeluarkan surat keterangan sakit tanpa ada bukti pemeriksaan medis yang sebenarnya kepada pasien. Jika hal tersebut dilakukan untuk kepentingan pasien, maka kode etik kedokteran telah dilanggar sehingga akan ada konsekuensi terhadap kedua belah pihak baik itu pasien maupun dokter.
Pada era perkembangan teknologi saat ini telah hadir telemedisin yakni layanan kesehatan berbasis teknologi. Melalui pelayanan tersebut para pasien bisa berkonsultasi secara virtual tanpa bertatap muka langsung. Meskipun praktik medis dilakukan secara daring, para dokter pun perlu menerapkan rangkaian kesehatan dan memperhatikan peraturan yang ada dalam undang-undang.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT, dalam konferensi pers kepada media menjelaskan bahwa aspek pengembangan telemedisin harus tetap memperhatikan disiplin kedokteran, aspek yang berkaitan dengan hukum dan aspek yang berkaitan dengan etika. Hal ini dilakukan dengan harapan agar tidak merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri.
“Pelayanan telemedisin juga menjadi suatu hal yang penting bagi profesi kami, dan jangan sampai nanti kemudian merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri. Maka dari itu kita pun harus melakukan satu upaya mengawal regulasi. Upaya yang harus diperhatikan yaitu dengan beberapa proses kesehatan yaitu dengan pemeriksaan kesehatan, rangkaian anamnesa, pemeriksaan fisik, dan kemudian penatalaksanaan,” ungkap dr. Adib Khumaidi dalam Media Briefing Virtual, Selasa, 27 Desember 2022 lalu.
Bersamaan dengan hal itu Ketua Bidang Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia (BHP2A IDI) Dr. dr. Beni Satria, M.Kes, S.H., M.H., menegaskan kepada seluruh dokter untuk tidak sembarangan mengeluarkan surat sakit online, karena prinsipnya surat keterangan diberikan bukan diminta. Ia juga mengingatkan kepada dokter yang masih mengeluarkan surat keterangan sakit sembarangan dengan tidak memeriksa kondisi fisik pasien secara langsung termasuk dalam pelanggaran Kode Etik Kedokteran pasal 7.
“Membuat surat keterangan bisa dikategorikan termasuk di dalam pelanggaran disiplin dokter yang sudah diatur di dalam Perkonsil Nomor 4 Pasal 3 ayat 2, dokter tersebut membuat surat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang dia ketahui secara benar dan patut itu bisa dikategorikan pelanggaran disiplin. Dalam ancamannya pun cukup serius bisa pencabutan STR dan SIP,” ungkap Beni Satria.
Kemudian ia juga menjelaskan tentang surat keterangan sakit atau surat sakit telah masuk ke dalam kelompok surat keterangan. Seseorang yang berwenang untuk mengeluarkan surat keterangan adalah kewenangan seorang dokter, dan dokter yang boleh mengeluarkan surat keterangan hanya dua dokter yaitu dokter Gigi dan Bidan bukan tenaga kesehatan.
Dua dokter ini boleh mengeluarkan surat keterangan karena sudah jelas diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Artinya tenaga kesehatan lainnya itu tidak punya kewenangan untuk memberikan surat keterangan.
Tahap-tahap dokter mengeluarkan surat keterangan
Lebih lanjut ia menjelaskan terkait ketentuan disiplin dokter di dalam pelanggaran disiplin dokter yang mungkin juga bisa terangkat termasuk juga ada ketentuan hukum etik disiplin hukum. Ini juga yang harus dipertimbangkan seorang dokter sebelum menerbitkan surat keterangan sakit.
Pada Pasal 7 Kode Etik Kedokteran Indonesia, telah dijelaskan bahwa seorang dokter wajib hanya memberikan surat keterangan yang telah diperiksa sendiri kebenaranya. Dalam memberikan surat keterangan medis/ahli atau ekspertis pendapat ahli apapun bentuk dan tujuannya dokter wajib mendasarkan isinya pada fakta medis yang diyakini benar sesuai dengan pertanggungjawaban profesinya sebagai dokter.
Beni juga menjelaskan pasal 35 ayat 1 terdapat rangkaian praktek kedokteran yang harus dilakukan oleh semua dokter sebelum menerbitkan surat keterangan dokter.
Pertama, dokter harus mewawancarai pasien dan mendengarkan keluhan sakit pasien seperti batkuk, demam dan sakit lainnya.
Kedua, dokter harus memeriksa pasien secara langsung menggunakan alat medis seperti jika pasien tersebut mengeluh sakit misalnya batuk berdahak. Dokter harus memeriksa paru-paru pasien dengan meletakkan stetoskop.
Ketiga, setelah pasien di wawancara dan diperiksa oleh dokter secara fisik, dokter akan menentukkan pemeriksaan penunjang. Contohnya dokter akan menganjurkan pasien cek laboratorium sesuai dengan semua diperiksa dan sesuai dengan wawancara pasien. Artinya pemeriksaan fisik itu harus dilakukan dari ujung kepala sampai kaki dan penunjang tergantung keluhannya seperti bisa melalui laboratorium, radiologi, rongsen atau CT-scan.
Keempat, tegaklah diagnosis yang dikeluarkan. Artinya, harus melihat diagnosisnya seperti tipes, pneumonia atau lainnya. Setelah itu mengecek diagnosis, dokter akan melihat kondisinya dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik, bronkitis, dan lainya. Jika diagnosisnya tegak dokter akan mengobati sesuai penatalaksanaan pengobatan pasien.
“Lalu dilihat lagi apakah pasien ini bisa berobat jalan, perlu rawat inap atau pasien perlu istirahat saja tidak perlu rawat inap yang penting istirahat selama beberapa hari saja, dan itu sudah ada ketentuan yang mengatur tergantung berat ringan kondisi pasien. Selanjutnya dokter akan meresepkan obat dan mengeluarkan surat keterangan dokter,” jelas Beni.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post