Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan, Agus Suprapto, mengatakan salah satu upaya yang telah dilakukan oleh kementeriannya dengan upaya mendorong revisi Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pihaknya pun telah melobi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui Susiwijono Moegiarso sebagai Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk mendukung upaya perlindungan kepada anak dan pengarusutamaan isu kesehatan publik.
“Kami sampaikan perlu kita bersama-sama bisa mendorong merevisi PP 109/2012, untuk mengatur penjualan rokok ketengan, Pictorial Health Warning (PHW) pada kemasan rokok, serta mendorong industri ini tidak naik. Kalau mau makin naik harus jelas menjualnya jangan di Indonesia,” ujar Agus melalui sambungan telepon kepada Prohealth.id, 1 Desember 2022 lalu.
Agus pun menyoroti tentang industri rokok yang mematikan petani tembakau dengan mengandalkan bahan baku impor. Padahal Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan banyak kebijakan melalui Instruksi Presiden maupun Peraturan Presiden yang fokus dalam pengutamaan penggunaan bahan baku dalam negeri.
“Mari kita lihat di Inpres Nomor 2 Tahun 2022. Itu memuat penggunaan belanja dalam negeri harus sekian persen bahan baku dalam negeri, kalau mobil yang kandungan bahan bakunya dalam negerinya berapa persen, tapi ini soal rokok tidak dibahas, atau pola pikir saya yang salah menafsirkan Inpres itu. Menurut saya tidak juga,” kata Agus.
Agus pun berharap seluruh kementerian dan lembaga untuk ikut mendukung upaya perlindungan generasi muda dari bahaya zat adiktif seperti rokok. Ia mengatakan masih ada kementerian yang bergerak sendiri dengan lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan kesehatan publik.
Berikut petikan wawancara lengkap Irsyan Hasyim dari Prohealth.id dengan Agus Suprapto.
Bagaimana penerapan layanan berhenti merokok yang telah ditetapkan targetnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024?
Layanan berhenti merokok itu ada yang via telepon. Hotline layanan berhenti merokok, nomornya 08001776565. Ini di bawah bidang promosi kesehatan.
Ini yang yang online. Memang orang berhenti merokok itu bisa timbulnya tengah malam, bisa besok pagi, bisa sewaktu-waktu. Tapi sebetulnya di fasilitas layanan kesehatan itu juga ada layanan berhenti merokok.
Di setiap kabupaten itu ada tugasnya. Itu biasanya ada di setiap puskesmas. Cuma detailnya saya lupa, cuma jumlah kabupaten itu ditarget tahun 2024 itu 350 kabupaten/kota. Tetapi karena pandemi, tahun 2020 awal itu tidak berkembang. Waktu itu baru ada di 50 kabupaten/kota. Mungkin pas pandemi orang di rumah malah lebih banyak merokok. Bisa memberi contoh kepada anak-anak yang lagi di rumah karena tidak sekolah. Anak-anak bisa melihat orang banyak merokok. Itu tantangan saya kira, asumsi saya seperti itu.
Berarti ada potensi perilaku buruk orang tua dicontoh oleh anak?
Itu yang menurut saya salah satunya. Tapi saya tidak punya angka pastinya. Penelitian memang belum ada, jadi masih asumsi saya. Data pendukungnya sebenarnya ada. Jadi begini, kalau banyak merokok di rumah. Tidak ada kerja, suntuk malah merokok. Terus anaknya melihat.
Bagaimana dampaknya terhadap upaya pemenuhan layanan berhenti merokok?
Walaupun sebenarnya upaya dari layanan berhenti merokok itu ada sifatnya online dan ada yang sifatnya datang ke layanan. Waktu itu targetnya 2024 sekitar 350 kabupaten/kota punya layanan berhenti merokok. Tapi nampaknya angka terbaru belum dievaluasi lagi. Tahun 2020 stuck di angka 50 kabupaten/kota.
Bagaimana strategi kebijakan dari Kemenko PMK perihal penurunan tingkat prevalensi perokok anak yang terlihat signifikan?
Memang angka yang dikeluarkan memang cukup memprihatinkan. Bahwa umur 10-18 tahun sudah 9,1 persen jadi perokok. Pun kalau itu ditargetkan turun jadi 8,7 persen di tahun 2024. Kalau diikuti angka absolutnya sebenarnya nggak ada penurunan karena jumlah penduduk ikut naik. Jumlah penduduk Kelompok segini pasti naik juga. Kalau dipersentase angka 8,7 persen dan 9,1 di tahun 2024 sebetulnya nggak ada perubahan. Artinya yang sudah keluar dari umur 18 tahun artinya sudah dewasa. Sudah menjadi perokok permanen. Tapi dia kan masih ada perokok baru yang jumlahnya sama.
Kalau saya melihat target itu kurang tajam secara pribadi. Walaupun semakin tajam, semakin sulit kita untuk melakukannya. Tapi memang perlu komitmen. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kami sebagai Kemenko PMK biasa rapat dengan kementerian/lembaga.
Tentunya kementerian kesehatan nomor satu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu sangat konsen agar anak-anak kita ini tidak terpapar rokok dan menjadi perokok. Itu, Bu deputinya (Bidang Pemenuhan Hak Anak), Bu Agustina Erni sangat konsen, kemudian Kemendikbud Ristek, Kementerian Agama, BPOM, dan badan lain. Juga dengan mitra, saya salut mitra kami ini yang luar biasa bagaimana memperjuangkan anak-anak kita supaya tidak terpapar rokok, supaya anak-anak kita tidak menjadi perokok, saya akui kerja teman-teman mitra pengendalian tembakau, banyaklah sumbangsih mereka, saya akui.
Apa fokus utama kerja Kemenko PMK dalam upaya pengendalian tembakau?
Sasaran utamanya dulu itu bagaimana iklan di media sosial yang di media elektronik itu bisa dikurangi. Saat ini bisa setiap saat keluar (iklan pop-up), katanya itu sulit bagi teman Kominfo, tapi teman Kominfo sudah berjanji kepada kami. Ketika kami ajak rapat juga Kominfo untuk bisa melakukan take down iklan itu.
Kemudian keputusan terakhir itu bahwa harus ada usulan dari kementerian/ lembaga. Pada waktu itu sepakat dari kementerian PPA yang mengusulkan ke Kominfo. Sampai saat ini saya belum lihat suratnya tapi Bu Agustina sebagai Deputi kementerian PPA sudah berjanji membuat telaah hukum sehingga bisa diusulkan sehingga manjur bagi Kominfo untuk melakukan take down iklan rokok yang muncul setiap saat itu.
Apa melakukan take down iklan pop-up belum ada rujukan hukum sehingga menjadi celah yang digunakan oleh industri rokok untuk promosi yang berpotensi membahayakan generasi muda?
Saya lupa referensi hukum yang bisa dipakai. Tapi dalam penjelasan yang dilakukan oleh Kominfo sebenarnya usulan dan pelaporan yang ada sudah cukup untuk melakukan take down.
Sebetulnya beberapa aturan di PP 109 pun sudah cukup sebagai landasan hukum. Tapi selain itu, sesuatu yang menganggu kemaslahatan rakyat ,kemaslahatan orang banyak itu tidak harus ada UU yang secara khusus mengatur untuk bisa diberhentikan kalau itu membahayakan masyarakat banyak.
Sebetulnya itu jiwanya, prinsip keberpihakan kita sama-sama aja biar anak-anak tidak terpapar rokok dan menjadi perokok. Jadi Kementerian PPA sangat konsen untuk isu ini. Nanti saya bakal komunikasikan lagi dengan kementerian PPA, bagaimana keberlanjutan. Mereka sangat konsen terhadap perlindungan anak.
Untuk revisi PP 109/2012 sudah sejauh mana pembahasannya?
Uji publik sudah lama…sudah tidak berubah apa yang diuji publik pertama. Saya anggap itu uji publik awal. Saya anggap ada 4 hal yang dulu itu, misalnya penjualan ketengan tidak diperkenankan, pembatasan iklan, PHW menjadi 90 persen, dan rokok elektronik. Jadi apa yang dibahas diuji publik itu sudah diketahui semua orang. Kini tinggal menunggu komitmen bersama aja dan komitmen keberpihakan kita aja sebetulnya untuk revisi pp 109.
Apa hasil uji publik revisi PP 109?
Hasil uji publiknya itu saya sudah meminta Kemenkes sebagai pemrakarsa, abis ini mereka melanjutkan, kita merespon dari kemenkes sebagai pemrakarsa.
Di situ nanti mengatur rokok elektrik, vape, dan lainnya. Kalau lihat perkembangan di negara lain sudah tidak diperkenankan. Amerika pun saya dengar, meski menerima pada akhirnya melarang. Ini komitmen dan keberpihakan kita bersama-sama aja. Termasuk dari keluarga para industri rokok sendiri. Pas uji publik kita ketemu dengan petani, pengusaha tembakau, anak-anaknya mereka juga dilarang merokok. Begitulah yang terjadi kita ini.
Apa revisi PP 109 tidak bakal bersinggungan dengan kebijakan Kementerian Perindustrian yang malah mengeluarkan SNI bagi rokok elektronik?
Itulah di revisi PP disebutkan itu perlu diatur. Teknisnya itu nanti Kemperin dan Kemendag yang keluarkan.
Berarti regulasi Kemenperin mendahului?
Meskinya mereka tanya dulu Badan POM, tanya ke Kemenkes, dan pihak lain. Kan subjeknya di sini tidak hanya Kemenperin. Ada Kemenkes, ada BPOM, ada Kementerian PPPA.
Apakah ada koordinasi dengan Kemenko Perekonomian untuk mengatasi permasalahan seperti ini?
Pertama kami yakni Kemenkes, Kementerian PPPA, saya juga dan mitra sudah menghadap ke Sesmenko Perekonomian, Pak Susiwijono, waktu itu sebagai Plt Deputi bidang yang menangani produk tembakau. Kami sampaikan perlu bersama-sama agar mendorong merevisi PP 109, mengatur penjualan rokok ketengan, PHW, serta mendorong industri ini tidak naik. Kalau mau makin naik harus jelas menjualnya jangan di Indonesia.
Kayak gitu, sudah kami komunikasikan ke Kemenko Perekonomian. Pertemuannya sebelum uji publik. Kami juga sampaikan bakal mengajukan uji publik pertama revisi PP 109. Secara subtansi sudah lama ada. Ini bagian penting untuk meningkat kepedulian dan keberpihakan tentang perlindungan anak-anak dari asap rokok.
Jadi fokus saya komitmen terhadap generasi berikutnya. Kalau yang sudah tua memang kesenangannya itu, silakan saja merokok. Tapi jangan menyuruh cucunya untuk merokok.
Bagaimana Kemenko PMK menghadapi polemik terhadap wacana Revisi PP 109/2012?
Saya pun secara pribadi tidak mendorong penutupan petani maupun industri tembakau, sama sekali tidak. Kita hanya mendorong keseimbangan dari berbagai kepentingan. Tetap industrinya ada, tetap petaninya ada. Saya sayang terhadap petani Indonesia. Jangan sampai petani kita dikalahkan oleh produk tembakau impor.
Sudahlah, apa yang ada di tempat kita produksi, kemudian kita ekspor. Petani kita harus mendapatkan bagian dari DBHCHT untuk meningkatkan kualitas, untuk meningkatkan kuantitas tidak masalah. Jangan malah petani kita ditimbun sama tembakau pihak luar. Itu yang saya merasa kita tidak berpihak kepada bangsa kita.
Kita harus berpihak kepada petani kita, pada lahan kita, pada budaya menanam tembakau. Itu saja kalau tanpa impor sudah kemajuan yang luar biasa. Kemudian industri jangan menyasar kelompok anak-anak.
Bagaimana angka perokok di Indonesia?
Data terakhir sudah 70 juta yang merokok. Apakah mau 100 juta yang merokok, saya tanya begitu saja. Kalau 100 juta itu dua kali penduduk korea selatan, kalau 100 juta itu 20 kali penduduk aingapura. Apa maunya industri ini? Tahun lalu sekitar 60 juta, sekarang sudah 70 juta.
Itulah keprihatian kita semua. Keberpihakan terhdap paru-paru kita ini dipertanyakan. Luas paru-paru kita itu 150 meter persegi. Kalau jadi kebun rokok, itu bagaimana, yang tambah kaya kan itu pengusaha, kan di sini ada perokok, pengusaha, dan petani. Petani tidak kaya, pengusahanya yang makin raya.
Saya tetap berpihak kepada petani, tapi tata kelola dalam menyasar subjek ini.
Sekarang ini perusahaan rokok besar yang berkolaborasi dengan petani tinggal satu yang di Madura.
Dulu ada tiga. Alasannya produknya berkurang, saya akui produknya berkurang, tapi cara berproduksi anda bahannya apa.
Padahal presiden audah menekankan produk dalam negeri itu sebagian besar bertumpu dari bahan baku dalam negeri.
Apa sudah ada kebijakan Presiden Jokowi soal pengutamaan bahan baku dalam negeri?
Soal tembakau ini tidak pernah disentuh. Jadi kandungan dalam negeri tentang rokok tidak ada yang bahas. Saya terus terang rokok kita ini berapa persen memakai tembakau dalam negeri.
Kok yang impornya masih banyak. Coba nanti cari datanya. Harusnya instruksi presiden ini berlaku juga untuk tembakau.
Bagaimana bentuk regulasi soal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)?
Anda lihat di Inpres nomor 2 tahun 2022. Itu memuat penggunaan belanja dalam negeri sekian persen, tapi kalau mobil yang kandungan bahan bakunya dalam ngeri….tapi ini soal rokok tidak bahas, atau pola pikir saya yang salah menafsirkan Inpres itu. Menurut saya tidak juga. Kasian petani kita kalau kondisi terus seperti ini. Sekilo cuma di hargai berapa, Rp15000, atau Rp9000 kemarin itu. Seharusnya harga perekonomian mereka bisa sampai Rp30 ribu.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post