Walau terlihat sederhana, latto-latto merupakan permainan mengayunkan dua bola kecil yang dibenturkan tersebut membutuhkan keterampilan khusus.
Psikolog Klinis Anak yang juga merupakan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (FPsi UI), Efriyani Djuwita, S.Psi., M.Si., Psikolog., mengatakan, permainan tersebut mampu menimbulkan rasa penasaran dan memacu diri untuk menguasainya. Terlebih, jika orang-orang di sekitarnya banyak yang terampil memainkan latto-latto.
“Tren di masyarakat mengenai permainan ini, mampu menambah rasa penasaran dan ingin mencoba, sehingga pada akhirnya banyak kita jumpai anak-anak memainkan mainan ini di mana-mana,” ujar Efriyani melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Rabu (18/1/2023).
Lebih dari sekadar permainan, menurut Efriyani, permainan latto-latto ini dapat menimbulkan emosi positif bagi seseorang –terlebih pada anak-anak–, seperti emosi senang, karena merasa berhasil dan bangga karena mampu melakukannya. Hal ini menjadi salah satu emosi positif yang mungkin dirasakan anak saat berhasil memainkan latto-latto.
Dia menjelaskan karena permainan ini melibatkan keterampilan motorik dan fisik, maka anak dapat terlatih dalam aspek perkembangan tersebut. Dalam permainan ini, kontrol gerakan motorik tangan juga berperan sehingga gerakan latto-lattonya bisa berhasil.
“Jika dilihat lebih lanjut, dari aspek sosial, kegiatan bermain ini sedang marak dimainkan oleh semua orang, maka bisa menjadi suatu media yang dapat membantu interaksi sosial anak, seperti dengan cara bermain bersama. Selain itu, sense kompetisi juga dapat tumbuh pada anak,” sambung Efriyani.
Menurutnya, meskipun latto-latto merupakan permainan sederhana, tetapi perlu diperhatikan kesesuaiannya dengan usia anak. Untuk itu, diperlukan peran orang tua dalam mengedukasi dan mendampingi mereka saat bermain latto-latto. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah material mainan tersebut karena belum lama ini terdapat kasus anak yang harus dioperasi matanya akibat terkena pecahan latto-latto.
Ada beberapa tips dari psikolog UI ini.
Pertama tentunya, menyeleksi dulu apakah alat permainan ini sesuai dan cocok untuk anaknya.
Kedua, ketika orang tua sudah tahu mana permainan yang aman dan cocok untuk anaknya, orangtua bisa memberikan contoh bagaimana memainkannya terlebih dahulu jika anak memang mengalami kesulitan memainkannya.
“Di sini, orang tua bisa menjadi play leader dan kemudian secara perlahan membiarkan anak melakukan trial and error dan bermain dengan caranya. Orang tua juga bisa memberikan aturan kapan permainan ini bisa dimainkan dan dimana tempat yang aman dan cocok memainkannya,” ujar Efriyani.
Lebih lanjut Efriyani menambahkan, langkah selanjutnya yang harus dilakukan orang tua adalah orang tua bisa menjadi co-player, artinya orang tua bisa menjadi teman bermain anak. Terakhir, orang tua juga bisa memegang peran onlooker, yakni orang tua menjadi pengamat dan siap membantu jika anak memerlukan bantuan. Hal ini juga berarti, jika anak sudah terampil bermain latto-latto, orang tua tetap harus mengawasi.
Di sisi lain, lato-lato juga turut berpengaruh pada aturan beberapa sekolah di Indonesia. Seperti, Dinas Pendidikan (Disdik) kabupaten Bandung Barat yang melarang siswa Sekolah Dasar (SD) membawa mainan latto-latto ke sekolah.
Menanggapi tersebut, Efriyani menyampaikan bahwa aturan tersebut dilakukan sekolah karena beberapa hal, misalnya menganggu jalannya kegiatan sekolah, menimbulkan risiko kecelakaan, dan lain sebagainya.
“Sebenarnya, sekolah bisa memberikan ruang atau waktu tertentu untuk bermain mainan ini sehingga pengawasan dari pihak sekolah juga bisa optimal,” ujarnya.
Sebagai contoh, tidak setiap hari tapi ada hari tertentu anak-anak diperbolehkan membawa dan bermain di waktu dan tempat tertentu. Mekanisme tersebut bisa dibuat berbentuk kompetisi antarsiswa.
“Saya rasa, itu bisa menyenangkan dan bermanfaat untuk anak-anak. Intinya adalah karena ini ruang lingkupnya di sekolah, tentunya permainan ini harus bisa diawasi untuk tidak menimbulkan kecelakaan dan tentunya tidak menganggu aktivitas sekolah,” kata Efriyani.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post