Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menemukan dalam riset terbaru bahwa ada pengaruh harga dan non harga, keduanya mempengaruhi kekambuhan perokok anak (smoking relapse). Studi ini menunjukkan bahwa angka smoking relapse pada anak masih memiliki proporsi 50% ke atas.
Smoking relapse merupakan kekambuhan untuk berperilaku merokok kembali setelah mencoba berhenti merokok. Zat nikotin dalam rokok yang bersifat adiktif berdampak munculnya efek ketagihan dan smoking relapse meskipun perokok telah memutuskan untuk berhenti merokok.
Kondisi ini juga rentan terjadi pada anak yang memiliki pengalaman merokok. Selain nikotin, masih terdapat berbagai faktor pemungkin dan faktor penguat anak-dengan-pengalaman-merokok, yang telah mencoba berhenti merokok, untuk kembali berperilaku merokok.
Risky Kusuma Hartono, Ph.D, salah satu tim riset PKJS-UI menyampaikan harga rokok murah merupakan faktor signifikan yang mendorong anak untuk kambuh merokok kembali. Ia menjelaskan, kenaikan harga pada pembelian rokok per bungkus menjadikan perilaku smoking relapse pada anak menurun lebih tajam dibandingkan pembelian rokok secara per batang.
Sementara faktor non-harga pendorong perilaku smoking relapse pada anak, yaitu pengaruh teman sebaya, penggunaan rokok elektronik, dan keterpaparan iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media. Oleh karena itu, kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang lebih kuat, baik dari sisi harga dan non-harga, harus terus didorong.
Dari dua hal tersebut, Risky menjelaskan itulah yang membuat prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun mengalami peningkatan dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Padalah pmerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah memiliki target penurunan prevalensi perokok pada anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen pada tahun 2024. Namun, upaya untuk menurunkan target prevalensi perokok anak tersebut masih menghadapi berbagai tantangan, di antaranya ancaman terjadinya smoking relapse tersebut.
Masih belum banyak studi yang mengeksplorasi faktor-faktor penyebab smoking relapse pada anak di Indonesia. Oleh karena itu, PKJS-UI telah melaksanakan studi kuantitatif menggunakan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) di Indonesia multi-tahun, yaitu 2006, 2009, 2014, dan 2019 secara pool panel untuk mengeksplorasi faktor yang memperkuat penyebab smoking relapse pada anak di Indonesia.
Identifikasi anak yang smoking relapse didapatkan dari pertanyaan pernah mencoba merokok, pernah mencoba berhenti merokok dalam 12
bulan terakhir, dan apakah saat ini sedang menjadi perokok. Konsep studi dikembangkan dengan pendekatan predisposing, enabling, dan reinforcing. Regresi logit digunakan untuk memprediksi kemungkinan seorang anak akan kembali merokok setelah berhenti berperilaku merokok.
Risky menggaris bawahi ada beberapa poin temuan dalam studi PKJS UI yang wajib menjadi perhatian pemerintah.
Pertama, angka smoking relapse anak masih relatif tinggi, yakni 50 persen ke atas pada 2009-2019.
Kedua, probabilitas smoking relapse pada anak berjenis kelamin laki-laki 0,225 (p<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan pada 2019, dan terjadi terutama pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu pada kelas 8 dan 9.
Ketiga, kenaikan harga rokok per bungkus maupun harga rokok per batang dapat menurunkan probabilitas anak untuk smoking relapse atau tidak kembali berperilaku merokok. Harga rokok lebih dari Rp2.100 per batang menurunkan peluang smoking relapse pada anak sebesar -0,037 (p<0,01). Sedangkan, harga rokok kategori lebih dari Rp31.000 per bungkus memiliki nilai probabilitas paling besar menurunkan peluang smoking relapse pada anak sebesar -0,279 (p<0,01).
Keempat, faktor non-harga, seperti pengguna rokok elektronik (0,129) dan teman sebaya perokok (0,110), berpeluang meningkatkan smoking relapse pada anak.
Kelima, terpapar iklan, promosi, dan sponsor rokok dari majalah, media sosial, TV, kegiatan olahraga, serta pemberian rokok gratis juga berasosiasi dengan smoking relapse pada anak.
Respon pemerintah
Renova Glorya Montesori Siahaan, selaku Perencana Ahli Madya/Koordinator Kesehatan Masyarakat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyampaikan pemerintah sangat mendukung berbagai upaya yang diarahkan untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Namun harus diakui untuk menurunkan prevalensi perokok anak tidak mudah. Apalagi, anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (selain akses dan harga). Padahal, banyak kajian yang sudah mendukung bahwa faktor harga secara strategis menurunkan prevalensi perokok anak. Faktor lain yang perlu diperdalam kata Renova yaitu mengatasi faktor kecanduan, misalnya akses upaya berhenti merokok. Selain itu, pengendalian pada tingkat keluarga juga perlu menjadi perhatian bersama.
Sementara itu, Sarno, selaku Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menambahkan bahwa studi ini menjadi rekomendasi dalam perumusan kenaikan cukai hasil tembakau. Ia menerangkan, Kementerian Keuangan tetap konsisten dalam menyikapi isu peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT), penyesuaian tarif CHT, Harga Jual Eceran (HJE), dan simplifikasi layer CHT sehingga harga rokok semakin tidak terjangkau.
Estimasi dampak dari usulan kebijakan CHT tahun 2023 dan 2024, yaitu diperkirakan prevalensi merokok anak turun menjadi 8,92 persen di 2023 dan 8,79 persen di 2024. Selain itu, indeks kemahalan rokok diperkirakan naik menjadi 12,46 persen di 2023 dan 12,35 persen di 2024.
“Kami juga melakukan penyesuaian dengan rokok elektronik sebesar 15 persen maupun pengolahan tembakau lainnya sebesar 6 persen setiap tahunnya untuk lima tahun ke depan. Ditambah, harga jual eceran minimum juga disesuaikan dengan pengembangan harga di pasaran,” jelas Sarno.
Tentang pelarangan penjualan rokok ketengan, termasuk pengaturan yang diusulkan oleh Kemenkeu juga sudah masuk dalam rancangan Peraturan Presiden mengenai peta jalan pengelolaan produksi hasil tembakau.
Sementara itu, Fitria Wiraswasti selaku Ketua Tim Bidang Barang Penting, Direktorat Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan mengatakan bahwa Kemendag sangat mendukung dengan adanya kajian ini.
“Terkait pelarangan penjualan rokok secara ketengan, kami akan mengkaji kembali di peraturan Kemendag. Terutama mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 Pasal 60 yang menyebutkan bahwa pengawasan terhadap produk tembakau yang beredar, promosi, dan pencantuman peringatan kesehatan dalam iklan dan kemasan produk tembakau dilaksanakan oleh Kepala Badan, termasuk berkoordinasi dengan Kemendag,” tambah Fitria.
Koordinator Profil Pelajar Pancasila dan Inklusivitas pada Pusat Penguatan Karakter, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Dian Srinursih menambahkan, memang tantangan dalam dunia pendidikan tentang kekambuhan merokok pada anak. Apalagi untuk menekan angka prevalensi perokok di usia sekolah (SD, SMP, SMA, dan sederajat), pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 64/2015 yang bisa dijadikan acuan oleh sekolah dalam pemberian pengawasan dan sanksi yang tegas kepada siswa.
Selain itu, Dinas Pendidikan berdasarkan laporan atau informasi berhak memberi teguran atau sanksi kepada kepala sekolah yang melanggar Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sekolah juga tidak boleh mencantumkan/membiarkan spanduk, papan, iklan/reklame, atau bentuk lainnya dari perusahaan rokok di lingkungan sekolah.
“Semua kembali ke pelaksana sekolah, dinas maupun pemerintah daerah. Ini menjadi tantangan untuk bisa sosialisasi kembali ke pelaksana untuk penerapan dan sanksi yang dituliskan dalam Permendikbud tersebut,” tutur Dian.
Langkah penting dan rekomendasi
Muhammad Abdul Rohman, S.E, anggota tim riset PKJS-UI lainnya menambahkan bahwa walaupun sama-sama terdapat kenaikan harga, pembelian rokok secara per bungkus menunjukkan kecenderungan penurunan smoking relapse yang lebih curam pada anak dibandingkan pembelian rokok secara ketengan. Hal ini menunjukkan bahwa pembelian rokok per bungkus memiliki dampak yang lebih besar dalam mencegah smoking relapse pada anak dibandingkan pembelian rokok batangan atau ketengan.
Oleh karena itu, studi ini memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah.
Pertama, studi ini mendukung pentingnya kenaikan cukai rokok yang telah ditetapkan pada 2023 dan 2024. “Namun, masih perlu adanya kenaikan harga rokok yang lebih tinggi lagi di tahun selanjutnya, dan disertai simplifikasi tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk mencegah smoking relapse pada anak dan mencapai target prevalensi perokok anak,” jelas Abdul Rohman.
Kedua, pemerintah harus melarang penjualan rokok secara batangan/ atau ketengan untuk mencegah smoking relapse dan mencapai target prevalensi perokok anak.
Ketiga, pemerintah harus melarang total iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media guna mendukung anak untuk konsisten berhenti berperilaku merokok.
Keempat, penggunaan rokok elektronik harus diatur lebih ketat dari sisi kebijakan harga maupun non-harga.
Kelima, pihak sekolah harus memberikan pengawasan dan sanksi yang tegas kepada siswa yang kedapatan merokok.
Ketua PKJS UI Aryana Satrya menambahkan masih banyak faktor
yang membuat anak akhirnya merokok kembali setelah sebelumnya berhenti merokok (smoking relapse). Studi ini juga menjadi pendorong untuk pemerintah dapat menerapkan kebijakan lainnya dalam memperkuat pengendalian konsumsi rokok di Indonesia menuju pencapaian target penurunan prevalensi perokok anak pada RPJMN 2024. Ini termasuk sejalan dengan kebijakan kenaikan cukai rokok di tahun 2023 dan 2024, yang diharapkan untuk tahun selanjutnya kenaikan harga rokok harus lebih tinggi.
Selain itu, studi ini menjadi bukti tambahan untuk memperkuat implementasi rencana pelarangan penjualan rokok ketengan di tahun 2023 yang dituangkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022.
“Kebijakan dari sisi non-harga yang perlu segera dilakukan ialah revisi Peraturan Pemerintah No. 109/2012. Kebijakan baik secara harga dan non harga harus terus dilakukan secara konsisten dan persisten,” tutur Aryana.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post